- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
- PFI Kepri Sambangi KSOP Batam, Perkuat Sinergi dan Semangat Foto Jurnalistik Maritim
- Belajar dari Makkah: Potensi Bio-Energi di Balik Sistem Pengolahan Limbah Modern
Aktivis Desak Pemerintah Serius Akui 1,4 juta Hektar Hutan Adat

Keterangan Gambar : Ilustrasi Hutan Adat -JustCop
JAKARTA- Masyarakat sipil
mengingatkan target pengakuan hutan adat seluas 1,4 juta hektare mesti dicapai
dengan menghentikan perampasan hutan adat yang terus dilanggengkan di pelbagai
wilayah Indonesia.
Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL sekaligus
Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), Torry Kuswardono mengatakan target
tersebut tidak akan ada artinya apabila perampasan hutan adat terus terjadi di
pelbagai wilayah Indonesia. “Percuma mengakui 1,4 juta hektare hutan adat,
tetapi proyek-proyek raksasa mencaplok tanah ulayat yang jauh lebih luas ketimbang
angka itu,” tulis Torry dalam keterangan resmi, Senin(9/11/2025).
Ia
menjelaskan,proyek-proyek raksasa tersebut seperti lumbung pangan atau food
estate, hutan energi dan karbon serta industri ekstraktif. Salah satu
contoh perampasan hutan adat yang terjadi adalah di Merauke, Papua Selatan.
Proyek food estate yang dibungkus dengan nama Proyek Strategis Nasional
(PSN) menggusur hutan adat yang selama ini didiami suku Yei dan Malind Anim.
Begitu pula yang terjadi di Halmahera Timur, Maluku Utara. Warga Maba Sangaji
yang menolak proyek tambang justru dikriminalisasi.
Baca Lainnya :
- Greenpeace Desak Komitmen Pemimpin ASEAN Tangani Kabut Asap Lintas Batas0
- KKP Tambah 1 Juta Ha Kawasan Konservasi Laut di 1 Tahun Pemerintah Prabowo0
- Belantara Foundation Dorong Koeksistensi Manusia-Gajah di IUCN World Conservation Congress 0
- Air Hujan di Jakarta Tercemar Mikroplastik: PATANI DKI Gagas Kampung Patani Bebas Plastik0
- Cesium-137 Menyusup ke Rantai Pangan: WALHI Desak Revisi Regulasi Limbah0
Senada,
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat
(BRWA) Kasmita Widodo menyatakan wilayah adat yang tumpang-tindih dengan
kawasan konservasi.
“Kondisi
tersebut memicu beberapa pemerintah daerah jadi tidak confident mengakui
wilayah adat dan Masyarakat Adat.”
Kasmita
mencontohkan kasus di Colol, wilayah adat yang didominasi perkebunan kopi
rakyat di Manggarai Timur, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebagian wilayah
perkebunan kopi dan
kampung
di Colol tumpang-tindih dengan Taman Wisata Alam Ruteng, kawasan konservasi
seluas lebih dari 32 ribu hektare.
Ketiadaan
pengakuan terhadap wilayah adat dan
Masyarakat Adat Colol memicu konflik berkepanjangan, termasuk tewasnya enam
petani kopi dalam peristiwa yang disebut “Rabu Berdarah” pada 2004 serta
kriminalisasi terhadap Mikael Ane, seorang tokoh adat setempat.
Rekognisi
terhadap wilayah adat dan Masyarakat Adat ditetapkan melalui peraturan daerah
dan produk kebijakan yang diterbitkan pemerintah daerah. Sementara wilayah
konservasi berada di bawah wewenang Direktorat Jenderal Konservasi, Sumber Daya
Alam dan Ekosistem Kementerian Kehutanan.
Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) untuk Politik dan Hukum, Erasmus Cahyadi Terre memandang target
penetapan hutan adat sebesar 1,4 juta hektare hingga empat tahun ke depan masih
merupakan angka yang kecil jika dibandingkan dengan potensi hutan adat yang
ada.
“Saat
ini terdapat 33 juta hektare wilayah adat yang teregistrasi dalam sistem Badan
Registrasi Wilayah Adat. Dan untuk mengakui wilayah adat tersebut pemerintah
perlu meningkatkan komitmen dengan membangun suatu sistem kerja terpadu dan
lintas kementerian termasuk dengan Pemerintah Daerah, dan juga mengubah
regulasi yang selama ini memang telah terbukti menghambat pengakuan Masyarakat
Adat dan hutan adat,” katanya.
Ia
mendesak pemerintah turut memikirkan resolusi konflik perampasan hutan adat
berkepanjangan di Indonesia. Menurutnya, pemerintah mesti menjamin perlindungan
bagi Masyarakat Adat seumur hidup dan tanpa pamrih menjaga hutan mereka.
Di
Papua, hutan adat suku Yei dan Malind Anim di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua
Selatan menjadi target proyek ekstraktif yang berwujud industri bioetanol.
Hutan adat setempat dipandang sebagai objek dan alat produksi komersial.
Sementara di Papua Selatan tidak satupun ada peraturan daerah tentang Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat diterbitkan sejak proyek perampasan
skala luas seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) hingga
berlanjut PSN Pangan dan Energi yang mencakup Merauke, Boven Digoel dan Mappi.
Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka
Bentala Rakyat, Franky Samperante mendesak pemerintah tak
lagi menggunakan Masyarakat Adat sebagai alat diplomasi dalam perundingan
politik dan negosiasi pendanaan berskala internasional.
Sebaliknya, pemerintah harus secara konkret memenuhi hak hidup dan menjamin
perlindungan sepenuhnya bagi Masyarakat Adat.
Salah
satu yang mendesak adalah mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat
Adat untuk mengakhiri rezim pengakuan bersyarat yang menghambat perlindungan
hak asasi manusia khususnya Masyarakat Adat dan sumber-sumber kehidupannya
Desakan
itu merespons pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dalam United for
Wildlife Global Summit dan High-Level Ministerial Roundtable di Rio de Janeiro,
Brasil, pada 5 November 2025.
Dalam
kedua pertemuan itu, Raja Juli Antoni menyatakan pemerintah mengakui dan
mengalokasikan sebesar 1,4 juta hektare hutan untuk Masyarakat Adat hingga
empat tahun mendatang.
Secara
keseluruhan, pemerintah melalui Satuan Tugas Hutan Adat menargetkan penetapan
240 hutan adat seluas 3,9 juta hektare hingga 2029.
"Target
tersebut merupakan bagian dari kepedulian Presiden Prabowo Subianto terhadap
lingkungan sekaligus masyarakat yang selama ini termarginalkan,” kata Juli.
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

