- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
Kacapi Buhun hingga Carita Pantun, Keluhuran Nilai Masyarakat Banten
LIMA warisan budaya asal Lebak
Banten, yakni kacapi buhun, golok Sajira, kue jojorong, carita pantun Baduy,
dan Gotong Toapekong 12 Tahunan, ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak Benda
oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Sertifikat atas penetapan
Warisan Budaya tak Benda itu diterima langsung Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al
Muktabar dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon, pada acara Apresiasi Warisan Budaya
Indonesia tahun 2024.
Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar mengucapkan syukur dan
menyebut bahwa pencapaian itu merupakan hasil kolaborasi dan sinergi semua
pihak terkait, mulai dari pelaku seni, komunitas dan pihak-pihak lainnya. "Terima
kasih atas telah ditetapkannya lima Warisan Budaya tak Benda asal Provinsi
Banten. Ini merupakan hasil kolaborasi dan sinergi semua pihak terkait, mulai
dari pelaku seni, komunitas dan pihak-pihak lainnya," katanya dalam
keterangan resminya yang dikutip dari Indonesia.go.id.
Mari kita mengenal lebih jauh satu per satu dari kelima
warisan budaya asal Lebak, Banten itu. Yang pertama adalah alat musik
tradisional yang dinamai kacapi buhun. Sebagaimana halnya kecapi yang menjadi
alat musik tradisional di daerah lain, alat musik berdawai atau bersenar khas
Baduy itu juga dimainkan dengan cara dipetik.
Baca Lainnya :
- Sapta Pala SMAN 7 Jakarta Kirim Relawan ke Lokasi Bencana Alam di Sukabumi 0
- Perkuat Toleransi Beragama, IPARI Karanganyar Gelar Bakti Religi Membersihkan Rumah Ibadah0
- Wamentan Dorong Optimasi Lahan Rawa 106.000 Ha dan 150.000 Ha Cetak Sawah Baru di Sumsel0
- Lucu dan Gemoynya Anak Badak Jawa Menyusu ke Induknya0
- Sosialisasikan 4 Pilar Kebangsaan di Deliserdang, Ijeck: Ini Kewajiban Kami0
Namun, nada-nada yang dihasilkan oleh kacapi buhun memiliki
perbedaan dengan alat musik kecapi pada umumnya. Sebab, pada alat musik itu
tidak ada tingkatan nada atau nadanya tidak tertentu. Alhasil, pemain kacapi
buhun relatif menggunakan perasaan dalam melantunkan bebunyian dari alat musik
itu.
Karena keunikannya itu, hingga kini diketahui bahwa hanya
ada 20 lagu yang dapat diiringi oleh kacapi buhun. Dan ke-20 lagu yang
merupakan warisan turun-temurun kokolot Baduy atau leluhur itu antara lain
adalah kembang kacang, ngala parasi, suluh kadu, cina modar, mulung picung,
rancag perang, kawuruhan, kangkung kayang, munggal iris, piit mandi, guguritan,
pengirihan rayon, racik numbang, dagang kembang, dan ganjur perang.
Sebagai alat musik tradisional, kacapi buhun tidak dianggap
sebagai alat musik belaka oleh masyarakat suku Baduy. Kelompok masyarakat adat
Sunda yang mendiami wilayah pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten itu
bahkan memandang kacapi buhun sebagai alat musik yang sakral.
Hal itu lantaran pembuatan alat musik tersebut dilakukan
melalui sebuah ritual iringan. Berbahan baku utama kayu lame, proses pembuatan
sebuah kacapi buhun sendiri setidaknya menelan waktu hingga dua minggu. Oleh
karena mengandung sifat sakral, kacapi buhun juga acap digunakan sebagai sarana
dalam sejumlah ritual adat. Di antaranya, ritual saat hendak menanam padi,
membangun rumah, atau untuk acara tertentu seperti pernikahan.
Dari ukurannya, kacapi buhun relatif berbeda dengan alat
musik petik sejenisnya. Kacapi buhun berukuran lebih kecil, sehingga bisa
dipetik sambil dibawa-bawa oleh pemainnya. Sedangkan untuk jumlah senarnya,
kacapi buhun memiliki 12 senar, atau lebih banyak dari kecapi biasanya, yang
hanya memiliki tiga, enam, ataupun delapan senar.
Dari sudut fungsinya, kacapi buhun termasuk dalam kategori
instrumen tunggal, alias tidak bisa dimainkan dengan diiringi bersama dengan
alat musik lainnya. Kacapi buhun hanya bisa dimainkan dengan iringan pantun
kuno.
Kendati kurang begitu dikenal luas, kacapi buhun nyatanya
telah dijadikan sebagai salah satu suvenir khas Baduy. Dengan harga jual mulai
dari Rp700 ribu hingga Rp1 juta per unitnya, alat musik yang diperjualbelikan
sebagai suvenir itu tetap dibuat dengan menggunakan banyak tahapan ritual
maupun pembacaan mantra-mantra.
Kudapan Tamu Sultan
Warisan budaya kedua yang juga ditetapkan sebagai Warisan
Budaya tak Benda adalah penganan yang dikenal dengan nama Jojorong. Kudapan
ringan khas Lebak itu acap menjadi hidangan bagi para tamu kesultanan.
Jojorang terbuat dari tepung beras dan santan kelapa. Di
bagian tengahnya, terdapat gula aren, yang menjadikan kue bertekstur lembut dan
pulen itu memiliki rasa yang manis dan gurih. Berbahan santan, membuat jojorong
harus langsung disantap ketika disajikan.
Tempat atau mangkuk kue jojorang berbentuk persegi dan
terbuat dari daun pisang. Di setiap ujung daun pisang itu diikat menggunakan
tusuk gigi. Kue jojorong sendiri dapat ditemukan di banyak tempat di wilayah
Kabupaten Lebak dan Pandeglang. Apalagi, saat digelar acara hajatan di daerah
Banten, terutama Kabupaten Lebak dan Pandeglang.
Pada acara sunatan atau pernikahan, jojorong menjadi sajian
tuan rumah bagi para tamu yang disandingkan dengan makanan trandisional lain.
Meski begitu, ketika Ramadan tiba, pencinta jojorong akan lebih mudah menemukan
kue tersebut. Sebab, jojorang juga menjadi makanan yang wajib ada saat menemani
masyarakat Banten berbuka puasa.
Carita pantun Baduy merupakan tradisi lisan masyarakat adat
Baduy yang juga ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya tak Benda. Di
kalangan masyarakat dengan populasi 26.000 jiwa dan yang mendiami pedalaman di
kawasan paling barat Pulau Jawa itu, tradisi lisan itu akan dibawakan pada saat
dilangsungkan acara ritual maupun adat.
Tradisi tersebut memadukan bentuk pantun—puisi tradisional
Melayu yang biasanya terdiri dari empat baris dengan rima—dengan narasi cerita
rakyat. Melalui carita pantun Baduy masyarakat setempat menyampaikan
cerita-cerita mitos, legenda, sejarah, dan ajaran moral yang penting untuk
identitas mereka. Dengan gaya penyampaian yang khas dan struktur yang terjaga,
carita pantun tidak hanya berfungsi sebagai media pendidikan. Melainkan juga,
sebagai sarana pelestarian budaya.
Warisan budaya berikutnya adalah golok Sajira yang merupakan
paduan dari karya seni dan senjata khas masyarakat Lebak, Banten. Dalam dunia
penempaan logam Kampung Lembur Sawah, yang merupakan sebuah desa di Kecamatan
Sajira, Lebak, Banten, memang dikenal sebagai tempat awal berkembangnya sentra
pembuatan golok.
Seni tempa logam di Sajira itu bahkan telah tercatat dalam
dokumen Belanda pada 1983, yang membuktikan keberadaan gozali atau para pande
di kawasan itu. Penempaan logam untuk dibuat sebagai senjata di Sajira bahkan
sempat diperhitungkan oleh Belanda sebagai salah satu titik alutsista
perlawanan masyarakat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, khususnya di
Banten.
Sajira sendiri merupakan salah satu dari 28 kecamatan yang
ada di Lebak, yang memiliki luas 10.259 hektare dan berada pada ketinggian
sekitar 240 Mdpl. Uniknya selain keberadaan pande besi, wilayah Sajira juga
dikenal sebagai sentral kerajinan ukir (marangi). Oleh karena itulah, sejak
lama gagang golok maupun sarung golok dari Sajira memiliki ciri khas sendiri
yang membedakan dengan benda sejenis yang berasal dari luar wilayah Sajira.
Gagang golok Sajira lazimnya terbuat dari bahan utama berupa
tanduk kerbau atau kayu keras. Sajira yang berada di dataran tinggi memang
dikenal memiliki kekayaan flora, antara lain yang menghasilkan kayu-kayu keras
seperti kayu nagasari, asam jawa, johar, sawo, gadog, dan kijulan. Dengan
tanduk atau kayu, gagang atau sarung golok Sajira didesain dengan berbagai
jenis motif yang menggambarkan filosofi kehidupan masyarakat sehari-hari di
sana.
Warisan budaya lainnya yang juga ditetapkan sebagai Warisan
Budaya tak Benda adalah Gotong Toapekong 12 Tahunan. Aktivitas budaya itu
merupakan ritual konik khas kebudayaan Tionghoa (Cina Benteng) yang dirayakan
oleh masyarakat Tionghoa yang mendiami kawasan Banten, khususnya di Tangerang.
Diselenggarakan setiap 12 tahun sekali. dalam
penyelenggaraan ritual itu akan digelar arak-arakan patung bersejarah, di
antaranya Dewi Kwan Im Hud Couw. Perayaan tersebut biasanya akan menyedot
perhatian dan dihadiri oleh ribuan masyarakat, baik dari kalangan Tionghoa atau
lainnya, yang ada di Banten maupu luar Banten.
Fondasi Nilai Luhur
Terkait dengan penetapan warisan budaya tersebut, Menteri
Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan warisan budaya bukan sekadar peninggalan masa
lalu. Warisan budaya merupakan aset yang tidak ternilai yang menjadi identitas
dan jati diri bangsa.
Pemajuan kebudayaan, menurut Menteri Fadli, menjadi pondasi
dalam pengembangan nilai-nilai luhur budaya bangsa, memperkaya keberagaman,
memperkokoh persatuan dan kesatuan. Dan sebagai wujud komitmen Presiden RI
Prabowo Subianto, dalam melindungi, mengembangkan memanfaatkan dan membina
kebudayaan untuk kemajuan kebudayaan Indonesia, dibentuklah Kementerian
Kebudayaan.
“Sebagai bangsa yang dianugerahi kekayaan budaya luar biasa,
kita punya tanggung jawab besar menjaga, melestarikan, memperkenalkan, dan
mempromosikan warisan budaya ini kepada dunia,” kata Menteri Fadli.
Melalui Apresiasi Warisan Budaya Indonesia 2024 tersebut,
Menteri Fadli berharap, bisa menjadi momentum penting untuk mengingatkan kita
semua betapa berharganya kekayaan budaya Indonesia. Sementara itu, sebelumnya,
Direktur Perlindungan Kebudayaan Judi Wahiudin dalam laporannya menuturkan,
Apresiasi Warisan Budaya Indonesia Tahun 2024 merupakan puncak rangkaian
kegiatan Penetapan Warisan Budaya tak Benda Indonesia dan Cagar Budaya
Peringkat Nasional.
Selanjutnya, Judi mengatakan, sejumlah Warisan Budaya tak
Benda yang ditetapkan telah melewati sejumlah tahapan penilaian. Mulai dari
prasidang, verifikasi, kajian dan sidang yang dilakukan oleh tim ahli yang
membidanginya. "Pada 2024 ini usulan Warisan Budaya tak Benda yang masuk
sejumlah 668 usulan, setelah melalui serangkaian penilaian dan sidang
penetapan. Maka sebanyak 272 ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak Benda
Indonesia, sehingga jumlah Warisan Budaya tak Benda Indonesia yang telah ditetapkan
sejumlah 2.213," kata dia.
Sedangkan, pada 2024 terdapat 17 sertifikat cagar budaya
peringkat nasional yang diberikan, mencakup kategori benda, struktur, bangunan,
situs dan kawasan. Sehingga saat ini ada 228 objek yang telah ditetapkan
sebagai cagar budaya peringkat nasional.
Penulis: Ratna Nuraini
Redaktur: Taofiq Rauf