- Terobos Genangan Banjir, Prabowo Tegaskan Pemerintah Senantiasa Hadir dan Membantu Masyarakat
- Mudik Lebaran PT KAI Sediakan 4,5 Juta Tiket, Sebanyak 2,7 Juta Kelas Ekonomi Tarif Terjangkau
- Mengangkat Lerak dari Tanah Cepu ke Panggung Global, Perkuat Ekonomi Petani Melalui Alira Alura
- KKP Luncurkan Dua Buku Kehidupan Masyarakat Pesisir
- KKP Genjot Produksi Perikanan Budi Daya Penuhi Kebutuhan Ramadan hingga Lebaran
- Kementerian PU Gerak Cepat Tangani Jalan Amblas di Lintas Jambi-Sumbar
- Percepat Swasembada Pangan, Mentan Amran Bidik Sumsel Jadi Tiga Besar Produsen Beras Nasional
- Banjir Jabodetabek Bukti Nyata Rentannya Indonesia dalam Ancaman Krisis Iklim
- Teknologi China Mencengkram Dunia, Kuasai 37 dari 44 Sektor Sains
- Keterlibatan Masyarakat Diperlukan dalam Membangun Lintasan Ikan
Kontaminasi Mikroplastik di Tubuh Manusia Berdampak Negatif ke Fungsi Kognitif

JAKARTA – Kontaminasi mikroplastik
dalam tubuh manusia tak hanya jadi ancaman lingkungan, namun juga bisa membawa
dampak serius terhadap fungsi kognitif otak. Tidak adanya standar pengujian
mikroplastik dalam pangan dan lingkungan semakin memperparah kontaminasinya di
dalam tubuh manusia.
Laporan Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD), bertajuk Policy Scenarios for Eliminating Plastic
Pollution by 2040 menemukan adanya peningkatan sampah plastik di seluruh
dunia hingga dua kali lipat, dari 213 juta ton menjadi 460 juta ton, sepanjang
tahun 2000 sampai 2019.
Masalah sampah plastik pun jadi masalah di dalam negeri.
Menurut Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH), terdapat total 41,07 juta ton sampah di tahun 2023.
Baca Lainnya :
- Muara Sungai di Semenanjung Ujung Kulon Ditutup0
- Hizbul Wathan UMJ Aksi Pungut Sampah dan Praktik Pembuatan Eco Enzyme0
- Gletser Dunia Kehilangan 6,5 Triliun Ton Es dalam 23 Tahun, Ternyata Ini Penyebabnya 0
- Naluri Fauna Indonesia Dorong Kesadaran Bela Negara Lewat Pelestarian Lingkungan Berbasis Teknologi0
- Hujan Asam Berpotensi Merusak Lingkungan dan Infrastruktur0
Sebanyak 7,86 juta ton atau hampir 20 persen dari total
sampah adalah sampah plastik. Meski ada sampah yang dikelola, sebagian besar
sampah di Indonesia pun hanya berakhir di tempat pembuangan sampah atau
ditimbun, sementara sisanya mencemari lingkungan termasuk lautan.
“Produksi sampah plastik yang terus meningkat, tanpa
diimbangi pengelolaan yang mumpuni telah menyebabkan pencemaran mikroplastik di
berbagai aspek lingkungan –air, tanah, udara dan produk konsumsi seperti ikan,
daging dan garam. Kondisi ini semakin
meningkatkan kekhawatiran akan
resiko kontaminasi mikroplastik pada manusia,” kata Afifah Rahmi Andini,
Peneliti Plastik Greenpeace Indonesia.
Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari kontaminasi
mikroplastik di dalam tubuh manusia, Greenpeace Indonesia bersama Universitas
Indonesia melakukan studi kolaboratif untuk mendalami dampak mikroplastik
terhadap kesehatan, terutama penurunan fungsi kognitif.
Tahap pertama studi ini dilakukan melalui survei untuk
mengidentifikasi kelompok masyarakat yang rentan terhadap paparan mikroplastik
dan pola konsumsi plastik pada 562 responden di Jakarta, Bogor, Depok, dan
Tangerang melalui kuesioner. Di tahap kedua, penelitian dilakukan dengan
analisis kadar mikroplastik dalam urin, darah, dan feses para partisipan yang
terpilih untuk melihat hubungan antara kadar mikroplastik dalam tubuh dan
fungsi kognitif mereka.
Studi yang dilakukan pada Januari 2023-Desember 2024 ini
menemukan mikroplastik pada 95 persen sampel dari 67 partisipan dengan kadar
per sampel darah berkisar antara 0-7.35 partikel per gram (p/g). Mikroplastik
juga ditemukan dalam sampel urin partisipan dengan jumlah sekitar 0-0,33
partikel per mililiter (p/mL), serta pada feses dengan jumlah sekitar 0-44.35
partikel per gram (p/gr).
Penelitian ini juga menemukan bahwa PET (Polyethylene
Terephthalate) adalah jenis mikroplastik yang paling banyak mengontaminasi
tubuh partisipan, dengan total 204 partikel terdeteksi. PET dapat bersumber
dari penggunaan kemasan plastik sekali pakai seperti botol minuman, kemasan
makanan siap saji, botol produk perawatan tubuh, hingga serat pakaian dan
karpet.
Partikel mikroplastik yang berukuran tak lebih besar dari 5
milimeter dapat dengan mudah menyebar melalui rantai makanan, proses pengolahan
limbah yang tidak sempurna, atau konsumsi makanan laut yang terkontaminasi.
Ahli Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI),
dr Pukovisa Prawirohardjo, Sp.S(K)., Ph.D. mengatakan, hasil studi kolaborasi
yang tengah dilakukan peer review ini menemukan bahwa partisipan dengan pola
konsumsi plastik sekali pakai yang tinggi memiliki risiko mengalami penurunan
fungsi kognitif hingga 36 kali lipat.
“Kami menemukan hubungan yang berarti antara fungsi kognitif
dengan paparan mikroplastik. Gangguan fungsi kognitif yang dialami partisipan
penelitian mencakup diantaranya pengaruh pada kemampuan berpikir, mengingat,
dan mengambil keputusan,” ujarnya.
Diketahui, fungsi kognitif partisipan dianalisis menggunakan
Montreal Cognitive Assessment Indonesia (MoCA-Ina) dan dilakukan bersama tim
dokter dari Divisi Neurobehavior Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM).
Untuk mengurangi kontaminasi mikroplastik dalam lingkungan
dan mengurangi dampaknya bagi kesehatan, Juru Kampanye Plastik Greenpeace
Indonesia Ibar F. Akbar mengatakan, pemerintah dan produsen perlu mengambil
langkah untuk mengurangi kontaminasi mikroplastik dalam lingkungan yang
memiliki dampak buruk ke kesehatan manusia.
“Pemerintah perlu memperbaiki sistem pengelolaan sampah
berbasis pemilahan, mempercepat dan memperluas larangan plastik sekali pakai,
melarang mikroplastik primer, serta mendorong transisi ke sistem kemasan guna
ulang (reuse) untuk mengurangi pencemaran dan dampak lingkungan,” ujarnya.
Ia menambahkan, pemerintah juga perlu menetapkan standar
pengujian mikroplastik yang ketat serta ambang batas kontaminasi dalam produk
pangan dan lingkungan. Di sisi lain, produsen juga perlu mengurangi produksi
dan distribusi plastik sekali pakai secara signifikan sebagai bentuk tanggung
jawab mereka untuk mengelola sampah plastik yang telah mereka produksi.
“Produsen harus segera beralih ke sistem kemasan guna ulang
(reuse) dan isi ulang (refill). Produsen juga perlu meningkatkan transparansi
komposisi plastik dalam produknya serta peta jalan pengurangan sampah oleh
produsen,” kata Ibar. (hendri irawan)
