Menkeu, Teori dan Kebijakan Tarif

By PorosBumi 21 Apr 2025, 13:32:07 WIB Tilikan
Menkeu, Teori dan Kebijakan Tarif

M Ghaniey Al Rasyid

Penulis lepas, pengeliping dan penikmat sastra, tinggal di Surakarta

 

Baca Lainnya :

DI sebuah ruangan nan cukup pepat, Sri Mulyani berdiri di hadapan Kabinet Merah Putih menyinggung kebijakan tarif Amerika Serikat. Ia menggambarkan bagaimana kebijakan tarif itu berimbas kepada nilai perdagangan internasional.

Syahdan, kebijakan itu digaungkan seperti visi Thrump untuk Amerika. Adalah membikin ‘Amerika Jaya Kembali.’ Meski demikian beberapa pengamat cukup getir meniliknya. Pasalnya dengan kebijakan tarif itu beberapa negara yang sempat berkongsi dengan Amerika Serika bakal di bebenkan tarif beberapa persen apabila mengekspor ke negeri paman sam itu.

Kebijakan Amerika itu disinyalir untuk mengurangi ketergantungan negaranya atas komoditas dari luar negaranya, dan yang paling utama ialah menunjukan taringnya di kancah dunia. Kebijakan Tarif itu bukan perkara remeh. Sri Mulyani berdiri di hadapan kabinet memperbincangkan sikap Indonesia atas kebijakan itu.

Beberapa pakar mencoba menerka dan menyuguhkan gagasan yang dikemas melalui esai. Sambil memperbaiki kacamatanya, Sri Mulyani bergumam bahwa teori-teori yang melekat di dalam esai-esai itu, tak lagi cukup menyelesaikan permasalahan kebijakan tarif trump itu. Kita dipahamkan dari sebuah peristiwa dalam sejarah ekonomi kita. Pelbagai tantangan aral melintang menguji republic ini untuk menghadapinya.

Dunia sempat mengalami krisis ekonomi depresi besar pada 1930. Situasi itu seperti halnya namanya –depresi, membikin beberapa perbankan lumpuh, dan perekonomian hampir tersendat melahirkan kekacauan. Pengangguran merebak, harga kebutuhan pokok tak lagi terjangkau, dan matematikawan yang gundah kemudian menerjemahkan krisis agar kelak di masa depan tak jatuh di lubang yang sama.

Irving Fisher begitu mencintai matematika. Ia mengotak-atik rumus, guna menyelesaikan permasalahan depresi besar. Saat depresi besar menyeruak, mulanya ia percaya, bahwa pasar dapat menyelesaikan permasalahan perekonomian tanpa campur tangan siapapun termasuk negara.

Fisher sempat mengernyitkan dahi seraya menerka kembali anggapannya. Nampaknya, pasar bisa hanyut diambang keserakahan. Para pemilik modal yang jumawa itu ingin meraup untung besar di balik kertas saham. Melalui analisa aljabarnya, Fisher mendorong status negara untuk tegas menjadi kran perekonomian di antara para praktisi ekonomi yang haus akan laba.

Meski demikian, Fisher selalu menundukkan kepalanya ketika ia mencoba menyuguhkan teori Hakekat Persamaan Pertukaran yang dikemas melalui aljabar. Singkatnya logika matematika itu menganalisa total uang berpindah tangan di dalam ekonomi sama dengan nilai total barang dan jasa yang dijual.

Lebih lanjutnya, ia juga membicarakan dominasi dollar terhadap emas. Melalui analisa Fisher itu, dominasi emas dialihkan kepada selember kertas bernama dollar untuk menyeragamkan nilai tukar di seluruh penjuru dunia guna mengatasi krisis dolar saat depresi besar 1930.

Nama Fisher dalam haribaan ekonomi di Amerika cukup harum. Berkat gagasan Fisher, dolar menjadi nilai tukar prestisius di kancah internasional. Gagasan Fisher teringat cukup kontroversial. Pasalnya, melalui telaahnya dolar distatuskan sebagai rujukan perekonomian dunia menggantikan nilai tukar emas.

Kiwari, dolar cukup terusik oleh pelbagai manuver dari beberapa negara pesaingnya. Mereka berkumpul membicarakan menyoal pengaruh dalam perekonomian dunia. Pembentukan BRICS konon membikin dolar Amerika mewanti-wanti gerak-geriknya.

Fisher menyadari bahwa ekonom itu tak luput dari kelemahan seperti galibnya manusia. Fisher menyampaikan tentang perbedaan cara pandang ekonom. Seorang ekonom akademisi umumnya sangat terbuka, sangat mungkin secara tidak sadar terbawa oleh bias masyarakat di tempat mereka tinggal.

Sedangkan praktisi ekonomi yang misalnya tinggal di kantor Wall Street akan memberikan sudut pandang ekonomi ala Wall Street, begitu pula dengan ekonom di universitas negeri, mereka akan mendukung kepentingan-kepentingan kementrian sebagai basis analisisnya.

Melalui pelbagai tafsir itu, Fisher tak memungkiri adanya pelbagai macam sudut pandang menyuguhkan ide menyoal ekonomi. Syahdan, gagasan ekonomi sering kali dalam posisi sangkal menyangkal. Para pemikir terus memperbarui gagasannya agar disesuaikan dengan situasi yang tengah dihadapi. Lalu bagaimana menyikapi Kebijakan Tarif Trump?

Esai Goenawan Moehammad sempat menyitir, bahwa ekonom mengalami kegusaran dalam Catatan Pinggir, (Tempo, 07 November 1991). Alih-alih ingin menyelesaikan permasalahan ekonomi, malah ia kadang kali tak tepat sasaran bahkan tak banyak memperkeruh situasi. Variabel ekonomi tidak berdiri secara tunggal, akan tetapi bersanding dengan pelbagai komponen lainnya seperti, aspek sosial sampai politik.

Kita melihat beberapa pemikir ekonomi seperti Douglas North peraih nobel 1993, di mana ia menjabarkan ekonomi melibatkan aspek sosial berupa pranata sosial. Gagasan North bukan main pengaruhnya. Secara terang-terangan peraih Nobel Ekonomi 2024, adalah Daren Acemoglu dan Joan Robinson sebagai ilmuwan politik, mengakui ia terpikat atas analisa North dalam menilik sebab-musabab ketimpangan, munculnya negara miskin dan kaya.

Daron Acemoglu piawai dalam mengolah statistika serta rumus perekonomian. Sedangkan Joan Robinson tak kalah piawai dalam pembacaan dinamika politik. Keduanya menerima penghargaan nobel ekonomi 2024, melalui karya pentingnya berjudul Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (Crown Bussiness Press, 2012).

Buku itu menyampaikan fakta bahwa telaah perekonomian melibatkan aspek lainnya seperti politik, sosial dan budaya. Buku gubahan Daron Acemoglu dan Joan Robinson lebih tebal menyoal situasi politik dan ekonomi pada akhir abad ke-20.

Syahdan, di abad ini kebijakan ekonomi makro kiranya kurang lengkap bila hanya meletakan sudut pandang ekonomi dalam menelisik situasi perekonomian seperti yang pernah disinggung Martin Staniland mengenai Ekonomi dan Politik (Rajawali Press, 2003). Bila kita menilik peraih nobel sebelumnya, pada tahun 2005 Thomas C. Schelling dan Robert J. Schelling memperkenalkan cara kerja ekonomi bernama Game Theory.

Game Theory hadir sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan konflik seperti konflik dagang dan bisnis. Schelling memperkenalkan teori ini saat meletupnya perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet. Lebih lanjut, ia menjabarkan isu kunci antara lain; keamanan global dan stabilitas ekonomi global.

Aumann dan Schelling menegaskan bahwa teorinya itu menitikberatkan agar menjauhi konflik dan memperkuat kolaborasi. Perundingan dipilih daripada berselisih. Berselisih membikin sengsara daripada duduk semeja menentukan kerja sama. Namun realitas bergerak menciptakan kondisi lainnya. Amerika Serikat tetap kukuh menetapkan kebijakan tarif meskipun tengah memendingnya selama sembilan puluh hari.

Kebijakan ini seperti seseorang yang frustasi dan mengancam siapapun yang tak tunduk atas rasa frustasinya itu. Dalam hal ini, Badan Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) perlu menjadi mediator mendapatkan solusi terbaik untuk mengatasi kemungkinan terburuk atas situasi ekonomi makro dari beberapa negara yang mendapatkan beban tarif Impor Trum. Sekian.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment