Om Lay, Volunteer Jakarta Kibarkan Bendera Putih, Pulang Kampung ke Ambon

By PorosBumi 23 Mei 2025, 15:40:25 WIB Inspiring
Om Lay, Volunteer Jakarta Kibarkan Bendera Putih, Pulang Kampung ke Ambon

USIANYA memang tak lagi muda. Namun dedikasi, loyalitas dan semangat untuk membantu sesama dengan menjadi volunteer (relawan) hingga puluhan tahun, senantiasa membara di hati sanubari pria berdarah Ambon, kelahiran Jakarta 24 April 1963 ini.

“Om Lay harus balik ke Ambon. Om rasa, sudah cukup habiskan waktu dan membangun kehidupan di Jakarta. Tak mudah menghadapi kerasnya Jakarta. Om kibarkan bendera putih,” tutur Om Lay yang berdiri di tengah puluhan sahabatnya.

Malam itu, para sahabat sengaja menghadiri acara perpisahan dengan Om Lay, di Lokanita Cafe yang terletak di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Karena mau pulang kampung ke Ambon dan katanya tidak akan balik-balik lagi ke Jakarta, walhasil para sahabat mendaulat Om Lay untuk menyampaikan beberapa kata sekaligus salam perpisahan.

Baca Lainnya :


Om Lay tengah duduk dan ditunjuk ramai-ramai oleh para sahabat


Meski terlihat tenang, namun gelayut kesedihan terpancar jelas di wajah pria bernama lengkap Nurdin Lessy SH ini. Tidak seperti biasanya, nada suara Om Lay yang biasa lantang dan penuh canda, kali ini terdengar sangat pelan. Kentara sekali, ia berusaha menahan gundah dan kesedihan yang teramat dalam.

Tapi raut kesedihan itu hanya sepintas. Setelah terdiam sesaat, Om Lay tetiba tersenyum lebar hingga akhirnya larut dalam ceritanya yang penuh gurau dan sejuta kenangan bersama sahabatnya. “Banyak hal lebih besar yang mesti Om Lay urus di Ambon, terutama urusan keluarga. Orang tua dan saudara-saudara Om kan sudah meninggal semua, yang tersisa tinggal Om seorang,” cetus anak bontot ini sedikit serius.

“Ya, selain urusan keluarga Om juga akan mencoba membangun kehidupan dan harapan baru di Ambon. Bisa jadi juga, aktivitas di Ambon nanti tidak beda-beda jauh dengan di Jakarta, masih ikut bantu-bantu kegiatan sosial dan kemanusiaan,” kata Om Lay penuh semangat.

Bagi Om Lay, membantu sesama yang membutuhkan dengan menjadi volunteer sepertinya sudah mendarah daging. Makanya tak heran, sosok pria tangguh ini hampir selalu ada di setiap operasi besar kemanusiaan dan bencana alam yang terjadi di Indonesia.

Diketahui, aktivis lingkungan yang tergabung dalam organisasi SARMMI (SAR Mahasiswa Pencinta Alam Muhammadiyah se-Indonesia) ini pernah terlibat dalam operasi kemanusiaan dan bencana alam tsunami Aceh pada 2004-2005, serta bencana alam lainnya, seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir hingga kebakaran.

Tak hanya itu, Om Lay juga tak pernah absen dalam setiap operasi penanganan dan bantuan bagi korban bencana banjir Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, termasuk sejumlah operasi pencarian orang yang meninggal, hilang atau tersesat di gunung. “Om Lay tanpa pamrih selalu membantu yang membutuhkan,” ungkap Agus Supadmo, yunior Om Lay di Mapala Stacia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Di Mapala UMJ, Om Lay termasuk salah satu perintis. Selama berkiprah di Stacia inilah, jiwa volunteer Om Lay yang sudah lama ada, semakin terasah. “Lay itu orang yang selalu memikirkan kebutuhan orang lain, namun nggak pernah menceritakan masalah pribadinya ke orang,” kenang Al Fatih, salah satu perintis Mapala Stacia UMJ.

“Lay ini, orang yang selalu siap setiap dimintai tolong, tidak ada kata tidak siap. Apalagi kalu dimintai tolong untuk kegiatan kemanusiaan dan sosial, dia selalu tampil paling depan. Entah, setelah dia pulang ke Ambon, siapa yang bisa gantikan dia. Stacia kehilangan sosok hebat yang selalu bisa diandalkan,” ujar Muhadjir, perintis Stacia lainnya.

 

Penakluk Leuser yang Tiga Kali Jadi Korban Penggusuran Jakarta

Pahit getir selama tinggal dan menjalani hidup di Jakarta, mulai dari lahir hingga menjelang usia senja sudah dirasakan Om Lay. Ia menjadi salah satu saksi hidup perkembangan Ibu Kota, dan bahkan tiga kali menjadi korban penggusuran Ibu Kota.

Om Lay bercerita, dirinya lahir dan bersekolah SD dan SMP di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Lalu, pindah ke Matraman dan melanjutkan sekolah di MAN 5 Muhammadiyah, Tebet Timur. Karena rumah orang tuanya digusur, akhirnya mereka pindah ke Tebet. Kemudian Om Lay kuliah di Universitas Muhammadiyah Jakarta yang waktu itu masih berlokasi di daerah Limau, Jakarta Selatan.

“Sebelum kuliah, saya sempat pulang ke kampung halaman orang tuanya di Ambon sekitar tahun 1984 - 1986. Setelah itu, saya balik lagi ke Jakarta dan kuliah di UMJ. Di Tebet, rumah orang tua saya terkena gusuran lagi, dan kami lalu pindah ke Depok. Karena digusur lagi, lalu pindah dan ngontrak di Tangerang, lalu ke Bogor dan terakhir di Bekasi,” tutur Om Lay.


Om Lay membelakangi kamera dan mengenakan kaos bertulisan SAR


Om Lay mengingat kembali masa kuliahnya, yang ketika itu diajak saudaranya yang kuliah di Fisip UMJ. Om Lay sendiri kuliah di Fakultas Hukum. “Waktu itu tak seperti sekarang, jalan becek penuh dengan tanah belok atau lengket. Mungkin tak terbayangkan oleh anak kuliahan sekarang, yang mungkin juga tak pernah merasakan hal seperti itu,” kata Om Lay.

Selama kuliah, Om Lay gemar berkegiatan outdoor dan kegiatan social. Para juniornya mengenang, sore hari di kampus UMJ, biasanya Om Lay membuat perapian untuk menghangatkan tubuh. Waktu itu kampus UMJ masih benar-benar hijau, ada kebun, hutan jati, dan banyak pohon besar di beberapa sisi bangunan kampus.

Pada tahun 1989, Om Lay mengikuti Ekspedisi di Tebing Lawe. Maklum darah muda, tak bisa diam, Om Lay aktif menjadi atlet panjat tebing dan pernah menjadi panitia di kejuaraan Panjat Dinding di Taman Mini Indonesia Indah, dan Kejuaraan Nasional Panjat Dinding yang diselenggarakan Mapala Stacia UMJ di Kampus Cirendeu.

Pada tahun 1995, Om Lay bersama rekan organisasinya melakukan penyusuran Pantai Ujung Kulon. Tak cukup sampai di situ, di tahun 1999 Om Lay bersama Tim Mapala Stacia UMJ menggelar Ekspedisi ke Gunung Leuser di Aceh. “Dulu satu tim tujuh orang. Saya, Azis, Widi, Fadlik, Arif, Ucok dan Sulis melakukan Ekspedisi Gunung Leuser,” kenangnya.

Selam aktivitas pendakian, juga mengidentifikasi tanaman dan membuat herbarium termasuk melakukan pengamatan burung. “Jadi ekspedisi lebih lama karena aktivitas tersebut. Kami di gunung 14 hari (belum dihitung perjalanan pulang pergi). Banyak kisah yang kami Jalani. Leuser memang tak terlupakan,” tukasnya.

Om Lay memang petualang dan volunteer sejati. Bahkan tak jarang ia mengorbankan kepentingan pribadinya demi untuk membantu orang lain yang lebih membutuhkan. Anto, salah satu rekan yang kerap satu tim dengan Om Lay dalam operasi SAR, tak segan mengakui sifat dan karakter Om Lay ini.

“Om Lay memang sosok Search, yang tak lelah melakukan (operasi) pencarian. Jadi (Om Lay) selalu dicari orang karena berjiwa penolong. Dan tak pernah menolak ajakan orang yang ingin melakukan kebaikan,” kata Anto, yang pernah menjabat Ketua Malimpa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

Kini, Om Lay sudah kembali ke kampung halamannya di Ambon dan menegaskan tak akan balik lagi ke Jakarta. Meski para sahabat mengaku sangat kehilangan dan seperti ada yang keberatan atas keputusan yang dibuat Om Lay, namun pada akhirnya mereka mencoba untuk memaklumi. Pun Om Lay sendiri, walau mengaku dirinya menyerah tinggal di Jakarta dan mengibarkan bendera putih, namun sejatinya sosok murah hati ini telah banyak memenangkan pertarungan besar selama menjalani hidup di Ibu Kota.

Memang, pertarungan besar yang dimenangkan itu bukan semata buat kepentingan diri pribadi Om Lay, namun untuk orang-orang yang selama ini membutuhkan uluran tangan atau bantuan kemanusiaan. Lebih jauh lagi, Om Lay sudah memenangkan pertarungan ego, kesombongan dan kerasnya Ibu Kota.

“Dari Om Lay, kami banyak belajar bagaimana cara berbagi kepada sesama. Belajar bagaimana caranya merawat komitmen, dedikasi, loyalitas dan semangat untuk lebih peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan,” kata Aip, salah satu yunior Om Lay di Stacia UMJ. (fadlik al iman)





Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment