- Kisah Gayatri, Istri Raja Pertama Majapahit, Nenek Hayam Wuruk
- Ini Sejumlah Lokasi Berburu Matahari Terbit sambil Wisata Kuliner
- KKP Tangkap 2 Kapal Ikan Asal Malaysia di Selat Malaka
- Dari Pesisir Nusa Lembongan, PLN Bangun Kemandirian Ekonomi Melalui Rumput Laut
- Beras!
- BRIN Manfaatkan Drone LiDAR Pantau Keberhasilan Konservasi Hutan Mangrove
- Greenpeace Dukung Kongres Dunia Pertama Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dari Tiga Kawasan Hutan
- Tentang Sorgum dan Terigu
- Sebaran Kawasan Transmigrasi
- Pengembangan Tempat Wisata Religi di TN Ujung Kulon, Merangkai Sejarah dan Kelestarian Alam
Om Lay, Volunteer Jakarta Kibarkan Bendera Putih, Pulang Kampung ke Ambon
.jpg)
USIANYA memang tak lagi muda. Namun dedikasi, loyalitas dan
semangat untuk membantu sesama dengan menjadi volunteer (relawan) hingga
puluhan tahun, senantiasa membara di hati sanubari pria berdarah Ambon,
kelahiran Jakarta 24 April 1963 ini.
“Om Lay harus balik ke
Ambon. Om rasa, sudah cukup habiskan waktu dan membangun kehidupan di Jakarta. Tak
mudah menghadapi kerasnya Jakarta. Om kibarkan bendera putih,” tutur Om Lay yang
berdiri di tengah puluhan sahabatnya.
Malam itu, para sahabat sengaja menghadiri acara perpisahan dengan Om Lay, di Lokanita Cafe yang terletak di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Karena mau pulang kampung ke Ambon dan katanya tidak akan balik-balik lagi ke Jakarta, walhasil para sahabat mendaulat Om Lay untuk menyampaikan beberapa kata sekaligus salam perpisahan.
Baca Lainnya :
- Bill Gates: Dunia dan Indonesia0
- Peduli Kesehatan, Anggota Sevenist Club Periksa Gula Darah dan Gelar Seminar Kesehatan Jantung0
- Kemenag Karanganyar Borong Juara di Ajang Penyuluh Agama Islam Award Jateng 20250
- Dermaga Apung: Solusi Cerdas Atasi Pasang Surut Laut Indonesia? Ini Faktanya!0
- Pesan dari Galaksi Sebelah0
Om Lay tengah duduk dan ditunjuk ramai-ramai oleh para sahabat
Meski terlihat tenang,
namun gelayut kesedihan terpancar jelas di wajah pria bernama lengkap Nurdin Lessy
SH ini. Tidak seperti biasanya, nada suara Om Lay yang biasa lantang dan penuh
canda, kali ini terdengar sangat pelan. Kentara sekali, ia berusaha menahan gundah
dan kesedihan yang teramat dalam.
Tapi raut kesedihan itu
hanya sepintas. Setelah terdiam sesaat, Om Lay tetiba tersenyum lebar hingga
akhirnya larut dalam ceritanya yang penuh gurau dan sejuta kenangan bersama
sahabatnya. “Banyak hal lebih besar yang mesti Om Lay urus di Ambon, terutama
urusan keluarga. Orang tua dan saudara-saudara Om kan sudah meninggal semua, yang
tersisa tinggal Om seorang,” cetus anak bontot ini sedikit serius.
“Ya, selain urusan
keluarga Om juga akan mencoba membangun kehidupan dan harapan baru di Ambon. Bisa
jadi juga, aktivitas di Ambon nanti tidak beda-beda jauh dengan di Jakarta, masih
ikut bantu-bantu kegiatan sosial dan kemanusiaan,” kata Om Lay penuh semangat.
Bagi Om Lay, membantu sesama
yang membutuhkan dengan menjadi volunteer sepertinya sudah mendarah daging.
Makanya tak heran, sosok pria tangguh ini hampir selalu ada di setiap operasi besar
kemanusiaan dan bencana alam yang terjadi di Indonesia.
Diketahui, aktivis lingkungan
yang tergabung dalam organisasi SARMMI (SAR Mahasiswa Pencinta Alam
Muhammadiyah se-Indonesia) ini pernah terlibat dalam operasi kemanusiaan dan
bencana alam tsunami Aceh pada 2004-2005, serta bencana alam lainnya, seperti
gempa bumi, tanah longsor, banjir hingga kebakaran.
Tak hanya itu, Om Lay juga
tak pernah absen dalam setiap operasi penanganan dan bantuan bagi korban bencana
banjir Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, termasuk sejumlah operasi pencarian orang
yang meninggal, hilang atau tersesat di gunung. “Om Lay tanpa pamrih selalu
membantu yang membutuhkan,” ungkap Agus Supadmo, yunior Om Lay di Mapala Stacia
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
Di Mapala UMJ, Om Lay
termasuk salah satu perintis. Selama berkiprah di Stacia inilah, jiwa volunteer
Om Lay yang sudah lama ada, semakin terasah. “Lay itu orang yang selalu memikirkan
kebutuhan orang lain, namun nggak pernah menceritakan masalah pribadinya ke
orang,” kenang Al Fatih, salah satu perintis Mapala Stacia UMJ.
“Lay ini, orang yang
selalu siap setiap dimintai tolong, tidak ada kata tidak siap. Apalagi kalu
dimintai tolong untuk kegiatan kemanusiaan dan sosial, dia selalu tampil paling
depan. Entah, setelah dia pulang ke Ambon, siapa yang bisa gantikan dia. Stacia
kehilangan sosok hebat yang selalu bisa diandalkan,” ujar Muhadjir, perintis Stacia lainnya.
Penakluk Leuser yang
Tiga Kali Jadi Korban Penggusuran Jakarta
Pahit getir selama tinggal
dan menjalani hidup di Jakarta, mulai dari lahir hingga menjelang usia senja
sudah dirasakan Om Lay. Ia menjadi salah satu saksi hidup perkembangan Ibu Kota,
dan bahkan tiga kali menjadi korban penggusuran Ibu Kota.
Om Lay bercerita, dirinya
lahir dan bersekolah SD dan SMP di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Lalu, pindah
ke Matraman dan melanjutkan sekolah di MAN 5 Muhammadiyah, Tebet Timur. Karena
rumah orang tuanya digusur, akhirnya mereka pindah ke Tebet. Kemudian Om Lay kuliah
di Universitas Muhammadiyah Jakarta yang waktu itu masih berlokasi di daerah
Limau, Jakarta Selatan.
“Sebelum kuliah, saya sempat pulang ke kampung halaman orang tuanya di Ambon sekitar tahun 1984 - 1986. Setelah itu, saya balik lagi ke Jakarta dan kuliah di UMJ. Di Tebet, rumah orang tua saya terkena gusuran lagi, dan kami lalu pindah ke Depok. Karena digusur lagi, lalu pindah dan ngontrak di Tangerang, lalu ke Bogor dan terakhir di Bekasi,” tutur Om Lay.
Om Lay membelakangi kamera dan mengenakan kaos bertulisan SAR
Om Lay mengingat kembali
masa kuliahnya, yang ketika itu diajak saudaranya yang kuliah di Fisip UMJ. Om
Lay sendiri kuliah di Fakultas Hukum. “Waktu itu tak seperti sekarang, jalan
becek penuh dengan tanah belok atau lengket. Mungkin tak terbayangkan oleh anak
kuliahan sekarang, yang mungkin juga tak pernah merasakan hal seperti itu,”
kata Om Lay.
Selama kuliah, Om Lay gemar
berkegiatan outdoor dan kegiatan social. Para juniornya mengenang, sore hari di
kampus UMJ, biasanya Om Lay membuat perapian untuk menghangatkan tubuh. Waktu
itu kampus UMJ masih benar-benar hijau, ada kebun, hutan jati, dan banyak pohon
besar di beberapa sisi bangunan kampus.
Pada tahun 1989, Om Lay
mengikuti Ekspedisi di Tebing Lawe. Maklum darah muda, tak bisa diam, Om Lay
aktif menjadi atlet panjat tebing dan pernah menjadi panitia di kejuaraan
Panjat Dinding di Taman Mini Indonesia Indah, dan Kejuaraan Nasional Panjat
Dinding yang diselenggarakan Mapala Stacia UMJ di Kampus Cirendeu.
Pada tahun 1995, Om Lay bersama
rekan organisasinya melakukan penyusuran Pantai Ujung Kulon. Tak cukup sampai
di situ, di tahun 1999 Om Lay bersama Tim Mapala Stacia UMJ menggelar Ekspedisi
ke Gunung Leuser di Aceh. “Dulu satu tim tujuh orang. Saya, Azis, Widi, Fadlik,
Arif, Ucok dan Sulis melakukan Ekspedisi Gunung Leuser,” kenangnya.
Selam aktivitas
pendakian, juga mengidentifikasi tanaman dan membuat herbarium termasuk
melakukan pengamatan burung. “Jadi ekspedisi lebih lama karena aktivitas
tersebut. Kami di gunung 14 hari (belum dihitung perjalanan pulang pergi). Banyak
kisah yang kami Jalani. Leuser memang tak terlupakan,” tukasnya.
Om Lay memang petualang
dan volunteer sejati. Bahkan tak jarang ia mengorbankan kepentingan
pribadinya demi untuk membantu orang lain yang lebih membutuhkan. Anto, salah satu
rekan yang kerap satu tim dengan Om Lay dalam operasi SAR, tak segan mengakui sifat
dan karakter Om Lay ini.
“Om Lay memang sosok
Search, yang tak lelah melakukan (operasi) pencarian. Jadi (Om Lay) selalu
dicari orang karena berjiwa penolong. Dan tak pernah menolak ajakan orang yang
ingin melakukan kebaikan,” kata Anto, yang pernah menjabat Ketua Malimpa
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Kini, Om Lay sudah kembali
ke kampung halamannya di Ambon dan menegaskan tak akan balik lagi ke Jakarta. Meski
para sahabat mengaku sangat kehilangan dan seperti ada yang keberatan atas keputusan
yang dibuat Om Lay, namun pada akhirnya mereka mencoba untuk memaklumi. Pun Om
Lay sendiri, walau mengaku dirinya menyerah tinggal di Jakarta dan mengibarkan
bendera putih, namun sejatinya sosok murah hati ini telah banyak memenangkan
pertarungan besar selama menjalani hidup di Ibu Kota.
Memang, pertarungan
besar yang dimenangkan itu bukan semata buat kepentingan diri pribadi Om Lay,
namun untuk orang-orang yang selama ini membutuhkan uluran tangan atau bantuan
kemanusiaan. Lebih jauh lagi, Om Lay sudah memenangkan pertarungan ego,
kesombongan dan kerasnya Ibu Kota.
“Dari Om Lay, kami banyak
belajar bagaimana cara berbagi kepada sesama. Belajar bagaimana caranya merawat
komitmen, dedikasi, loyalitas dan semangat untuk lebih peduli terhadap
nilai-nilai kemanusiaan,” kata Aip, salah satu yunior Om Lay di Stacia UMJ. (fadlik
al iman)
