- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
- PFI Kepri Sambangi KSOP Batam, Perkuat Sinergi dan Semangat Foto Jurnalistik Maritim
- Belajar dari Makkah: Potensi Bio-Energi di Balik Sistem Pengolahan Limbah Modern
Pasar Karbon Dinilai Belum Mampu Tekan Laju Pembabatan Hutan

Keterangan Gambar : Ilustrasi Konferensi Perubahan Iklim (COP30) di kota Belem, Brazil-JustCop
JAKARTA-Aktivis menilai praktik pasar karbon di Indonesia belum dapat menahan laju pembabatan hutan karena maraknya Proyek Strategis Nasional. Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI),Torry Kuswardono praktik pasar karbon di Indonesia lebih banyak berbasis offset, sehingga ektor hutan dan lahan menjadi ujung tombak karena mudah “dijual” sebagai penyerap karbon.
“Pemerintah bilang kita akan selamatkan 12
juta hektare hutan lewat pasar karbon. Tapi di sisi lain, kita masih kehilangan
hutan karena deforestasi yang disengajakan lewat proyek-proyek raksasa seperti
PSN,” terang dia dikutip Senin(9/11/2025).
Baca Lainnya :
- Aktivis Desak Pemerintah Serius Akui 1,4 juta Hektar Hutan Adat0
- Greenpeace Desak Komitmen Pemimpin ASEAN Tangani Kabut Asap Lintas Batas0
- KKP Tambah 1 Juta Ha Kawasan Konservasi Laut di 1 Tahun Pemerintah Prabowo0
- Belantara Foundation Dorong Koeksistensi Manusia-Gajah di IUCN World Conservation Congress 0
- Air Hujan di Jakarta Tercemar Mikroplastik: PATANI DKI Gagas Kampung Patani Bebas Plastik0
Ia memberi contoh slogan
jual karbon, selamatkan hutan, dan dapat
duit. Padahal sektor energi, terutama PLTU batu bara sebagai penyumbang emisi
terbesar belum ada tanda- tanda serius untuk segera dipensiunkan.
Menurut Torry, fokus kebijakan iklim Indonesia masih
berat sebelah: sektor energi yang menjadi sumber emisi utama justru belum
tersentuh secara serius, sementara hutan dijadikan “komoditas” untuk menarik
investasi dan pencitraan di forum global.
Pencapaian target iklim 1,5 derajat celcius bisa
dilakukan dengan kerjasama sukarela melalui mekanisme pasar (salah satunya
perdagangan karbon) dan non pasar. Salah satu mekanisme selain pasar yakni proyek
Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) untuk mengurangi emisi
dari pembabatan hutan dan penurunan
fungsi hutan di Kalimantan Timur.
Bagi Torry, ini menunjukkan inkonsistensi kebijakan.
“Hutan dijadikan komoditas. Padahal IPCC sudah bilang: hutan tidak bisa
diandalkan sebagai reset emisi terus menerus. Kalau terlalu kering, bisa
terbakar. Kalau terlalu basah, karbonnya larut dan hilang. Jadi stok karbon itu
bisa lenyap dalam satu musim kering ekstrem.”
Ia menambahkan, proses penyerapan karbon tidak instan.
“Tidak bisa diasumsikan bahwa setiap ton CO₂ yang kita lepas hari ini langsung
diserap hutan besok pagi. Ada delay time. Selama jeda itu, gas
rumah kaca tetap menumpuk di atmosfer.”
Problem terbesar dari pasar karbon, kata Torry, justru
terletak pada integritas datanya. Banyak proyek offset terbukti
melebih-lebihkan dampak mereka. “Studi internasional menunjukkan, over-crediting bisa
mencapai 30 hingga 100 persen. Artinya klaim penurunan emisi dua kali lipat
dari yang sebenarnya terjadi,” jelasnya.
Investigasi The Guardian (2023–2024)
menemukan bahwa sekitar 90 persen kredit REDD+ (Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation) tidak mewakili pengurangan emisi
nyata. “Direkturnya sampai mundur, metodologi diperbaiki. Tapi ini menunjukkan
bahwa sistemnya rapuh,” ujar Torry.
Selain itu, pasar karbon membuka peluang moral
hazard. Ketika harga kredit karbon murah, perusahaan lebih memilih membeli
kredit daripada benar-benar berinvestasi dalam teknologi bersih. “Daripada
ganti mesin atau beralih energi, yaudah beli offset saja,”
katanya. Akibatnya, fase transisi energi dan dekarbonisasi justru makin
lambat.
Padahal, kalau tujuan akhirnya adalah menahan kenaikan
suhu global di bawah 1,5°C, “kita harus turunkan emisi di sumbernya,” kata
Riko. “Kalau sektor energi tidak disentuh, semua ini hanya menunda krisis.”
Masalah lain adalah tata kelola. Sistem pengukuran dan
verifikasi emisi (MRV: Measurement, Reporting, Verification) di
Indonesia belum transparan. Data antar lembaga sering tidak sinkron, sementara
mekanisme akuntabilitas publik masih minim.
“Bahkan baseline emisi di sektor kehutanan masih jadi
perdebatan, Kalau baseline-nya saja belum solid, bagaimana kita mau
menjual kredit karbon ke luar negeri?. Kondisi ini rentan menimbulkan double
accounting, di mana satu penurunan emisi diklaim dua kali, oleh proyek dan
oleh negara. ” kata Riko.
Selain aspek teknis, pasar karbon juga punya dampak
sosial. Proyek offset di wilayah hutan sering bersinggungan
dengan masyarakat adat dan petani lokal. Banyak kasus di mana komunitas
kehilangan akses ke lahan tradisional karena diklaim sebagai area proyek
karbon.
“Kalau tidak diatur dengan baik, pasar karbon bisa
jadi bentuk baru kolonialisme ekologis. Hutan kita dijaga bukan untuk
rakyatnya, tapi untuk kompensasi polusi negara lain.” kata Torry.
Di tingkat global, sistem perdagangan karbon (Emission
Trading System / ETS) telah lebih matang di kawasan seperti Uni Eropa.
Tapi sistem itu dibangun di atas infrastruktur data yang kuat dan mekanisme
sanksi yang tegas. Pelaku usaha yang melanggar batas emisi harus membayar
mahal.
Peneliti Research Center for Climate Change
Universitas Indonesia, Riko
Wahyudi mengingatkan setiap penurunkan
emisi sebesar 122 juta ton CO2, akan ada result based payment dari
Bank Dunia sebesar USD 110 juta.
Indonesia meski telah memiliki pasar karbon, masih
jauh dari tahap itu. Tapi masih banyak regulasi turunan yang belum ada. Misalnya,
cap (batas) juga belum ditentukan sehingga perdagangan karbon dalam negeri
belum terjadi.
Menurut Riko, sistem pengukuran, pelaporan, dan
verifikasi emisi harus ketat, agar perdagangan karbon tidak menjadi celah
bisnis semata.
Insentif ini diberikan karena Indonesia berhasil
menurunkan emisi Emisi yang ditekan dicatat sebagai pencapaian target iklim
Indonesia.
“Bila menggunakan mekanisme perdagangan karbon, emisi
tidak dicatat sebagai pencapaian target, karena emisi yang dicegah “ditukar”
dengan emisi yang dijual,” terang dia.
Dalam perdagangan karbon ada dua istilah yang sering
tumpang tindih: offset dan
perdagangan karbon berdasarkan ambang batas (cap and trade). Offset karbon
adalah mekanisme kompensasi. Misalnya, sebuah perusahaan penerbangan tidak bisa
menurunkan emisinya langsung.
Maka ia membeli “kredit karbon” dari proyek yang
menanam hutan atau melestarikan gambut. Kredit itu dihitung berdasarkan berapa
banyak karbon yang bisa diserap proyek tersebut. Dengan membeli offset,
perusahaan seolah “menebus” emisi yang dihasilkannya.
Sementara perdagangan karbon berdasarkan batas (cap
and trade) lebih bersifat wajib. Pemerintah menetapkan batas atas
emisi (cap) untuk sektor tertentu — misalnya pembangkit listrik. Jika
satu PLTU mampu menekan emisi di bawah batas itu, kelebihannya bisa dijual ke
PLTU lain yang kelebihan emisi.
Pandangan keduanya menanggapi Konferensi Perubahan Iklim (COP30) yang
berlangsung 10-21 November 2025 mendatang di kota Belem, Brazil. Di Paviliun
Indonesia, yang resmi dibuka pada hari pertama pembukaan konferensi, isu
pendanaan dan perdagangan karbon menjadi tema utama. Bahkan Pemerintah
menyiapkan forum khusus untuk mempertemukan calon penjual dan calon pembeli
kredit karbon.
Narasi yang diusung pun terdengar menjanjikan:
menyelamatkan hutan sekaligus mendapatkan pemasukan lewat jual beli karbon.
Namun, perdagangan karbon tidak otomatis berarti penurunan emisi. Artinya,
pemanasan bumi yang terjadi akibat meningkatnya emisi tidak teratasi.
Perdagangan karbon merupakan salah satu aksi mitigasi
yang tercantum dalam Paris Agreement—perjanjian untuk menahan
kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius dibandingkan masa pra industri.
Jika batas kenaikan suhu terlewati, para ilmuwan memperingatkan akan terjadi
kekacauan ekosistem global: 8 persen spesies di bumi terancam punah, es di
kutub mencair yang memicu kenaikan muka air laut, dan intensitas cuaca ekstrem
seperti gelombang panas, kekeringan panjang, serta banjir bandang akan
meningkat drastis. (abdul aziz)
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

