Aktivis Ragu Soal Komitmen Pengakuan Hutan Adat 1,4 Juta Ha

By PorosBumi 13 Nov 2025, 17:02:31 WIB Lingkungan
Aktivis Ragu Soal Komitmen Pengakuan Hutan Adat 1,4 Juta Ha

Keterangan Gambar : Ilustrasi hutan adat-JustCop


JAKARTA-  Aktivis  meragukan komitmen pemerintah untuk mempercepat pengakuan 1,4 juta hektara hutan adat seperti yang disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pada 4 November 2025 dalam pembukaan ajang konferensi iklim COP 30 di Brazil.

Pasalnya, kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran  dalam mengelola tanah dan hutan adat dinilai belum berpihak pada perlindungan hak-hak Masyarakat Adat dan adil berkelanjutan.

Aktivis Yayasan Pusaka Bentala Rakyat,Yokbeth Felle menilai pemerintah RI belum  serius dalam memenuhi, memajukan, menghormati, dan melindungi hak Masyarakat Adat.

Baca Lainnya :

Menurut Yokbeth, konsep penghormatan dan pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Adat seharusnya dimulai dari melihat kembali hubungan hubungan antara masyarakat adat, hutan, dan tanah.

“Ini merupakan ungkapan yang disampaikan oleh salah satu pemuda suku Moi di wilayah Sorong. Ia menegaskan bahwa kalau sampai tanah hilang, berarti marga yang meninggali tanah itu juga hilang,” kata Yokbeth dikutip Kamis(13/11/2025).

Yokbeth juga mencontohkan hubungan Perempuan adat di Suku Yei di Merauke, Papua Selatan, dengan alam. Salah satunya dengan pohon nibung atau yang disebut dengan tarek dalam bahasa suku Yei.

“Nibung ini dapat di hutan, makanya mama tidak suka dong (mereka) bongkar hutan,” kata Yokbeth menirukan ucapan Mama Alowisia, perempuan adat Suku Yei.

Nibung menjadi penting bagi Mama Alowisia karena nibung ini digunakan untuk menampung air pati sagu. Mama Alowisia tidak mau hutannya dibongkar karena ia akan kehilangan alat produksinya yang membantunya mempersiapkan bahan pangan bagi keluarga.

Ketika ada proyek ekstraktif di atas tanah mereka, Masyarakat Adat menjadi terasing dari alat produksinya sendiri karena dalam logika kapitalisme, hubungan Masyarakat Adat, hutan, dantanahnya adalah subjek dan objek.

“Selain itu, selama ini aturan-aturan yang diterbitkan oleh negara juga menciptakan regulasi yang melayani pasar, di atas negara ada modal, dan negara merasa menguasai Masyarakat Adat sebagai warga negara dan hutan adat sebagai hutan negara,” katanya.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat telah mendampingi dan mengurus penetapan hutan adat Komunitas Gelek Malak Kalawis Pasa di Sorong, Papua Barat Daya, sejak beberapa tahun yang lalu dan sub suku Afsya di Sorong Selatan. Pusaka dan Masyarakat Adat sudah mengajukan usulan penetapan hutan adat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. Proses ini membutuhkan waktu yang lama, biaya yang mahal, terutama karena jaraknya sangat jauh.

Dalam catatan Pusaka selama satu tahun kepemimpinan Prabowo-Gibran belum ada penetapan hutan adat di Papua. Capaian penetapan hutan adat di seluruh pulau Papua mulai 2016 hingga Oktober 2025 hanya mencapai angka 39.912 ha. Angka tersebut belum termasuk usulan hutan adat yang Pusaka dampingi yakni di Sorong dan Sorong Selatan. Ini ironis, setelah 13 tahun putusan Mahkamah Konstitusi, penetapan hutan adat di Papua baru hanya seluas 39,9 ribu hektare dari potensi luasan 12,466 juta hektar. Bandingkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk mendukung Proyek Ekstraktif di Provinsi Papua Selatan seluas 587.750 hektar yang kontradiktif dan berlangsung di wilayah adat.

“Jadi proses untuk memberikan izin pada proyek ekstraktif itu lebih cepat dibandingkan dengan memberikan pengakuan hutan adat. Bahkan Papua Selatan sebagai provinsi baru dipaksa untuk merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah untuk mempercepat kawasan budi daya seluas sepuluh juta hektare lebih untuk mengakomodasi perluasan proyek ekstraktif,” tuturnya.

 Aktivis Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Erasmus Cahyadi menambahkan, pengakuan hutan adat sendiri hanya sebagian dari permasalahan Masyarakat Adat yang kompleks. Hutan adat adalah salah satu bagian dari wilayah ulayat yang dimiliki oleh Masyarakat Adat.

Mereka seringkali menghadapi intimidasi dan kriminalisasi ketika ada perusahaan masuk ke dalam tanah ulayat tersebut. Padahal, kata Erasmus, Masyarakat Adat merupakan jawaban atas krisis iklim saat ini. Menurutnya, sejak lama Masyarakat Adat telah menjaga hutan dengan kearifan lokal mereka. “Yang dibutuhkan adalah jangan mengganggu praktik baik yang dilakukan oleh Masyarakat Adat. Jangan menganggap bahwa Masyarakat Adat itu terbelakang,” ujarnya.

Saat ini Kementerian Kehutanan telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penetapan Status Hutan Adat yang terdiri dari kementerian, akademisi, praktisi, serta mitra, termasuk organisasi masyarakat sipil.

Pemerintah menargetkan percepatan penetapan 1,4 juta hektare hutan adat hingga 2029 sebagai bagian integral strategi nasional memerangi kejahatan lingkungan dan memperkuat tata kelola hutan berbasis masyarakat. (abdul aziz)

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment