- Peduli Kesehatan, Anggota Sevenist Club Periksa Gula Darah dan Gelar Seminar Kesehatan Jantung
- Kemenag Karanganyar Borong Juara di Ajang Penyuluh Agama Islam Award Jateng 2025
- Muhammad Sirod: Penundaan Tarif AS-China Jeda Strategis, Bukan Damai Permanen
- Taman Bumi Meratus dan Kebumen bukan Sekadar Warisan Alam dan Budaya
- AHY: Pembangunan Infrastruktur Perkuat Pertahanan Negara
- Anak Perusahaan Sinarmas Group Kembali Gusur Tanah Petani di Tebo
- Wamentan dan Rektor IPB Luncurkan Benih Paten! Produktivitas Capai 12 Ton Per Hektare
- Belantara Foundation: Strategi Terpadu Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Sebuah Keharusan
- SBY: Krisis Iklim dan Krisis Lingkungan Itu Nyata
- Kembangkan Energi Transisi, Pertamina Dorong Kesejahteraan 408 Petani di Desa Uma Palak
Foto Itu...

Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
PARA pembaca dua jilid tebal berjudul Di Bawah Bendera Revolusi mengingat pemikiran-pemikiran Soekarno saat masih muda dan tampil sebagai penguasa. Ia rajin membuat tulisan untuk dicetak atau bekal mengadakan pidato-pidato. Dua jilid dokumentasi bagi kita ingin mengenang arus pemikiran Soekarno dan menilik cuilan-cuilan biografis.
Kita pun menemukan halaman-halaman memuat gambar dan foto. Buku tak mutlak cuma tulisan. Pembaca tergoda pesona Soekarno saat muda. Foto-foto itu berwarna hitam-putih tapi memberi “terang” masa lalu saat Soekarno bertumbuh dalam lakon kolonial. Ia berada dalam laju modernitas. Kesadaran mendokumentasi diri melalui foto-foto mengesankan keparlentean, keintelektualan, dan keanggunan.
Soekarno tentu tak melulu foto. Kita sekadar melihat foto-foto itu mengetahui babak-babak ia menjadi murid di sekolah, studi teknik di Bandung, dan menghadiri acara-acara politik. Foto-foto biasa mendapat keterangan satu atau dua kalimat.
Kita mungkin tak terlalu menagih keterangan gara-gara kagum melihat tampang cakep dan pilihan busana di raga Soekarno. Wajah itu seperti tanda atas nasib Indonesia. Soekarno jarang berwajah murung. Di foto, wajah itu memberi petunjuk ia memang lumrah membentuk diri sebagai pemikir dan penguasa.
Di buku berbeda berjudul Memoir, kita membaca biografi Mohammad Hatta. Pembaca lega ikut mengetahui Hatta melalui foto-foto silam berhasil dirawat dan dicetak dalam buku. Lelaki santun dan rapi. Ia terlihat berwajah serius. Kacamata makin memberi pesan mengenai Hatta sebagai “manusia-buku”. Kita terbiasa mengingat tulisan-tulisan Hatta ketimbang ratusan foto.
Di hadapan kamera, tingkah Hatta tampak berbeda dengan Soekarno. Kita pastikan Soekarno mengerti keampuhan potret. Ia selalu membuat perhitungan matang saat berada di depan kamera. Hasrat berfoto menghasilkan pesona-pesona menguak asmara, politik, sejarah, dan lain-lain. Indonesia turut dibentuk oleh album Soekarno, Hatta, dan para tokoh mengalami masa-masa hidup dalam keajaiban kamera.
Pada masa berbeda, Indonesia terlalu foto. Para presiden, menteri, gubernur, artis, jenderal, penguasaha, dan lain-lain membikin Indonesia berlimpahan foto. Mereka mengadakan foto dalam jumlah tak terbatas digunakan dalam pelbagai kepentingan. Konon, foto memberi dampak penting atas kehormatan dan peruntungan. Soekarno dan Hatta tak mengalami episode foto-foto terlalu mendikte dan mengelabui Indonesia.
Kita masih mengingat foto-foto tersaji demi kemenangan dalam hajatan demokrasi. Foto mengisahkan penguasa atau pejabat menunaikan kerja-kerja besar atas nama Indonesia. Di situasi berbeda, foto-foto mengungkan alur korupsi, skandal asmara, paham keagamaan, dan keserakahan bisnis. Foto terlalu penting saat ditampilkan di media cetak dan digital. Keributan terparah terjadi di media sosial saat ribuan orang sibuk memikirkan foto-foto berkaitan kekuasaan dan industri hiburan.
Pada saat publik masih keranjingan membaca koran, tabloid, dan majalah, sajian foto-foto menentukan opini dan permainan curiga. Para jurnalis berperan besar dalam menghasilkan foto-foto dalam kepentingan pers. Foto-foto istimewa dinantikan orang-orang agar makin mengenali tokoh-tokoh sedang digosipkan di seantero Indonesia dan peristiwa-peristiwa terheboh.
Pada masa lalu, kita mengenali jurnalis suguhkan foto-foto apik: Ed Zulverdi, Lukman Setiawan, Kartono Riyadi, dan lain-lain. Di buku berjudul Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern susunan Atok Sugiarto, kita mengetahui keseriusan dan kesaktian foto-foto mengiringi arus sejarah di Indonesia.
Foto-foto makin penting dalam lakon kekuasaan dan hiburan di Indonesia abad XXI. Foto di koran, tabloid, dan majalah mendapat saingan dengan produksi foto melimpah dan sebaran di pelbagai situs atau media sosial. Foto-fotoc gampang mengalami pengeditan membuat kita “terkecoh” atau bingung.
Di hadapan foto, orang-orang berpolemik tentang asli atau palsu. Suasana makin rumit bila mengetahui pamrih-pamrih sebaran foto. Setiap hari, kesibukan dan kerepotan membahas foto terjadi menimbulkan murung, kecewa, sesalan, sombong, tobat, kagum, girang, dan lain-lain.
Foto-foto bukan sekadar untuk dilihat. Kita boleh iri dengan ikhtiar Francis Gouda dalam buku berjudul Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Bermula foto-foto lama, ia mengetahui keluarga dan menguak sejarah Indonesia masa kolonial.
Jumlah foto terbatas tapi memberi panggilan sejarah. Foto tak terbiarkan sebagai lembaran-lembaran tersimpan di buku album atau dipajang di dinding. Francis Gouda mafhum jika foto-foto itu referensi mengandung misteri-misteri. Pengembaraan dan tasfir diadakan agar foto-foto mengesahkan biografi (keluarga) dan sejarah (Indonesia).
Kita tergoda foto-foto lama. Kangen foto dan silam saat keributan bersumber foto di Indonesia makin membara. Kita belum berurusan asli dan palsu atau benar dan salah. Polemik berdasarkan foto telah memberi lelah dalam membuka ingatan atau pengawetan makna. Kita berada dalam pelik-pelik foto berbarengan nafsu di depan kamera tak pernah padam. Begitu.
