- Peduli Kesehatan, Anggota Sevenist Club Periksa Gula Darah dan Gelar Seminar Kesehatan Jantung
- Kemenag Karanganyar Borong Juara di Ajang Penyuluh Agama Islam Award Jateng 2025
- Muhammad Sirod: Penundaan Tarif AS-China Jeda Strategis, Bukan Damai Permanen
- Taman Bumi Meratus dan Kebumen bukan Sekadar Warisan Alam dan Budaya
- AHY: Pembangunan Infrastruktur Perkuat Pertahanan Negara
- Anak Perusahaan Sinarmas Group Kembali Gusur Tanah Petani di Tebo
- Wamentan dan Rektor IPB Luncurkan Benih Paten! Produktivitas Capai 12 Ton Per Hektare
- Belantara Foundation: Strategi Terpadu Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Sebuah Keharusan
- SBY: Krisis Iklim dan Krisis Lingkungan Itu Nyata
- Kembangkan Energi Transisi, Pertamina Dorong Kesejahteraan 408 Petani di Desa Uma Palak
Gas Bumi: Solusi Sementara atau Bukan Solusi Sama Sekali?

PERNAH nggak sih kamu mendengar
tentang gas bumi sebagai energi transisi yang lebih bersih dan ramah
lingkungan? Gampang banget untuk terjebak dalam narasi ini, apalagi kalau kita
sadar sedikit banget informasi yang dibagikan media tentang bahayanya gas
dibandingkan informasi soal batubara.
Pemerintah juga gencar banget menarasikan kalau gas bumi
adalah energi transisi sebelum kita bisa bisa benar-benar bersih. Tapi, apakah
gas bumi benar-benar solusi? Atau justru ini hanya strategi untuk
mempertahankan energi fosil, meskipun dengan wajah yang berbeda?
Laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Greenpeace Indonesia
dan CELIOS memberikan gambaran yang sangat menarik dan mungkin cukup
mengejutkan. Laporan ini mengungkapkan bahwa gas bumi yang selama ini dianggap
sebagai “energi yang lebih bersih” sebenarnya bukanlah solusi untuk masalah
perubahan iklim. Sebaliknya, gas bumi justru bisa jadi sebuah jebakan baru bagi
Indonesia dalam menghadapi krisis iklim dan ketergantungan terhadap energi
fosil.
Baca Lainnya :
- Jamal, Komandan Energi Terbarukan dari Dusun Bondan0
- Dorong Energi Bersih, Pertamina Manfaatkan Gas Suar Kilang Menjadi Listrik0
- Terbesar Sepanjang 15 Tahun Terakhir, PHE Catat Temuan Sumberdaya Kontigen0
- Greenpeace Soroti Pernyataan Kontradiktif Menteri ESDM Soal Pembatalan Pensiun Dini PLTU0
- Gebrakan 100 Hari, Presiden Prabowo Resmikan 37 Proyek Ketenagalistrikan Nasional0
Ada banyak hal yang perlu kita gali lebih dalam mengenai
narasi gas bumi sebagai energi transisi. Kita perlu memahami siapa saja yang
diuntungkan dari penggunaan gas bumi ini, serta mengapa kita harus lebih kritis
dalam menerima argumen yang menyebut gas bumi sebagai solusi energi masa depan.
Jangan sampai kita terjebak dalam narasi yang sebenarnya hanya menguntungkan
segelintir pihak, sementara dampaknya bisa merugikan banyak orang dan
lingkungan.
Gas Bumi Sebagai Solusi: Gimmick atau Kenyataan?
Pemerintah Indonesia, bersama dengan berbagai aktor
industri, sering sekali mengangkat gas bumi sebagai solusi energi yang lebih
bersih dan realistis. Mereka menganggap gas bumi sebagai “jalan tengah” yang
aman sebelum beralih sepenuhnya ke energi terbarukan seperti tenaga surya,
angin, dan lainnya. Gas bumi dianggap sebagai energi yang lebih ramah
lingkungan jika dibandingkan dengan batu bara yang emisinya sangat tinggi.
Namun, sejujurnya, narasi ini perlu kita pertanyakan. Gas
bumi memang lebih bersih dibanding batu bara, kalau kita hanya menghitung emisi
karbon dioksidanya saja—ini adalah bentuk greenwashing! Padahal gas bumi tetap saja sumber energi
fosil yang selain menghasilkan emisi karbon dioksida (CO₂).
Metana ini jauh lebih berbahaya karena efek pemanasan
globalnya bisa 82.5 kali lebih kuat dibandingkan CO₂. Parahnya lagi, methane
leakage atau kebocoran metana bisa terjadi di seluruh rantai pasok gas bumi —
dari ekstraksi, distribusi, hingga pembakaran. Dengan kebocoran metana ini,
total emisi gas bumi bahkan berpotensi lebih tinggi daripada batu bara,
menjadikannya pilihan energi yang tidak ramah iklim.
Jadi,gas bumi adalah bahan bakar fosil yang tetap saja
berkontribusi besar terhadap pemanasan global. Laporan Greenpeace dan CELIOS
bahkan menyebutkan bahwa, gas bumi tetap menghasilkan emisi yang sangat besar
dan bahkan jauh lebih berbahaya dalam jangka panjang.
Lalu, siapa yang diuntungkan dari narasi ini? Jawabannya
adalah: perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di industri energi fosil,
baik itu perusahaan minyak dan gas bumi nasional maupun investor asing yang
mendanai proyek-proyek energi gas bumi. Mereka berusaha untuk memperluas pasar
gas bumi di Indonesia dengan menggunakan narasi “gas bumi sebagai energi
transisi” sebagai alat untuk memperkenalkan gas bumi sebagai solusi energi masa
depan.
Gas Bumi dan Proyek Energi yang Mengancam
Lingkungan
Saat kita berbicara tentang gas bumi, ada banyak proyek
besar yang sedang berjalan di Indonesia. Proyek-proyek ini sering kali dibiayai
oleh investor asing dengan alasan untuk memperkuat ketahanan energi nasional.
Namun, jika kita cermati lebih dalam, proyek-proyek ini seringkali lebih
menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu ketimbang masyarakat Indonesia secara
keseluruhan.
Sebagai contoh, ada proyek pengembangan gas bumi di wilayah
Indonesia Timur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi industri dan
pembangkit listrik. Padahal, wilayah ini memiliki potensi besar untuk energi
terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, yang lebih murah dan jauh lebih
ramah lingkungan.
Bukannya fokus mengembangkan energi terbarukan, dana besar
malah dialihkan untuk proyek gas bumi yang belum tentu memberikan manfaat
langsung bagi masyarakat lokal dan semakin memperparah ketergantungan Indonesia
terhadap bahan bakar fosil.
Laporan ini juga mengungkapkan bahwa proyek gas bumi sering
kali dilaksanakan di daerah-daerah yang sangat sensitif secara ekologis. Dampak
buruk terhadap lingkungan ini bisa lebih parah dari yang kita bayangkan.
Misalnya, proyek gas bumi yang memperburuk kerusakan ekosistem pesisir, atau
merusak keanekaragaman hayati yang sangat penting bagi keseimbangan alam.
Selain itu, proyek gas bumi juga sering dilakukan tanpa
transparansi dan partisipasi yang cukup dari masyarakat setempat. Keputusan
tentang proyek-proyek ini sering kali dibuat tanpa melibatkan suara rakyat,
padahal mereka adalah pihak yang akan merasakan dampaknya dalam jangka panjang.
Sebagai contoh, perangkat pendukung Pembangkit Listrik
Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) milik PT Jawa Satu Power (JSP) pun mulai mengganggu
aktivitas nelayan. “Hasil tangkapan tahun 2017-2018 masih bagus. Pada 2020 tuh
udah menurun. Jaring-jaring nyangkut di pipa. Lagi jaring enak-enak eh
nyangkut. Ikannya hilang, jaringnya rusak,” ujar seorang nelayan bernama Waslim.
Kehadiran perangkat pendukung PLTGU juga menyebabkan
pendangkalan laut. Gelombang di laut pecah dan membahayakan nelayan. “Sekarang
dangkal jadi kan, ombak-ombak pada pecah. Banyak perahu-perahu kecil yang
terbalik kena ombak. Kalau ada angin dari utara itu jadi pecah,” kata Waslim.
Jika tak terbalik karena ombak pecah, nelayan juga berisiko
tertabrak oleh kapal besar yang membawa pekerja ke PLTGU JSP. Ini pernah
terjadi kepada Waslim pada 2020 silam. “Saya dulu pernah ditabrak kapal yang
pulang pergi antar pegawai, cuma dikasih ganti Rp200 ribu. Kecil banget,”
curhatnya.
Keuntungan untuk Beberapa Pihak, Kerugian untuk
Kita Semua
Penting untuk kita sadari bahwa proyek-proyek gas bumi di
Indonesia bukan hanya soal energi, tetapi juga soal ekonomi dan politik. Dalam
laporan tersebut, disebutkan bagaimana kebijakan fiskal dan regulasi yang
mendukung ekspansi gas bumi sering kali lebih berpihak pada kepentingan
industri daripada kebutuhan rakyat.
Subsidi energi yang seharusnya digunakan untuk mendukung
kebutuhan energi rumah tangga dan energi terbarukan, malah banyak mengalir
untuk mendukung sektor gas bumi industri. Seperti investasi riset dan
pengembangan untuk infrastruktur energi terbarukan, dukungan akses energi
bersih di daerah terpencil, dan lainnya.
Contohnya, dalam Danantara, sektor minyak dan gas bumi
diberi prioritas dalam pengembangan pembangkit energi, sementara energi
terbarukan yang lebih ramah lingkungan malah kalah bersaing. Hal ini mengarah
pada ketimpangan yang besar dalam kebijakan energi Indonesia, di mana energi
terbarukan yang seharusnya menjadi masa depan kita, justru terpinggirkan.
Rencana pembangunan infrastruktur untuk eksplorasi dan
eksploitasi gas bumi akan semakin bertambah banyak untuk mencapai target PLN
22GW di 2040. Seharusnya, kita tidak boleh berpikir pendek. Yang penting adalah
apakah energi itu berkelanjutan, ramah lingkungan, dan tidak merugikan generasi
mendatang.
Transisi Energi yang Sejati: Membangun Masa
Depan Berkelanjutan
Melihat semua fakta ini, kita perlu bertanya: apakah kita
ingin terus terjebak dalam ketergantungan terhadap energi fosil lainnya,
ataukah kita siap untuk beralih ke energi terbarukan yang lebih bersih dan
berkelanjutan? Energi terbarukan seperti tenaga surya, dan angin, memiliki
potensi luar biasa untuk menggantikan sumber energi fosil yang merusak
lingkungan dan memperburuk krisis iklim.
Bagaimanapun, kita harus paham bahwa masa depan energi
Indonesia ada di tangan kita. Transisi energi bukan hanya soal mengubah
teknologi, tetapi juga soal mengubah cara kita berpikir dan memprioritaskan
masa depan yang lebih baik.
Kita perlu menuntut pemerintah untuk fokus mengembangkan
energi terbarukan dan konsisten dalam membuat kebijakan yang berpihak pada
keberlanjutan dan keadilan energi. Indonesia bisa menjadi negara yang memimpin
transisi energi global jika kita memilih jalan yang benar, bukan terjebak dalam
transisi palsu yang hanya menguntungkan beberapa pihak saja.
Dengan memahami lebih dalam tentang apa yang sedang terjadi
di balik narasi gas bumi, kita bisa mulai mendorong perubahan yang lebih baik.
Jangan biarkan kepentingan jangka pendek menghalangi kita untuk mewujudkan masa
depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Mari bergerak bersama untuk transisi
energi yang sesungguhnya!
