- Terobos Genangan Banjir, Prabowo Tegaskan Pemerintah Senantiasa Hadir dan Membantu Masyarakat
- Mudik Lebaran PT KAI Sediakan 4,5 Juta Tiket, Sebanyak 2,7 Juta Kelas Ekonomi Tarif Terjangkau
- Mengangkat Lerak dari Tanah Cepu ke Panggung Global, Perkuat Ekonomi Petani Melalui Alira Alura
- KKP Luncurkan Dua Buku Kehidupan Masyarakat Pesisir
- KKP Genjot Produksi Perikanan Budi Daya Penuhi Kebutuhan Ramadan hingga Lebaran
- Kementerian PU Gerak Cepat Tangani Jalan Amblas di Lintas Jambi-Sumbar
- Percepat Swasembada Pangan, Mentan Amran Bidik Sumsel Jadi Tiga Besar Produsen Beras Nasional
- Banjir Jabodetabek Bukti Nyata Rentannya Indonesia dalam Ancaman Krisis Iklim
- Teknologi China Mencengkram Dunia, Kuasai 37 dari 44 Sektor Sains
- Keterlibatan Masyarakat Diperlukan dalam Membangun Lintasan Ikan
Greenpeace Soroti Pernyataan Kontradiktif Menteri ESDM Soal Pembatalan Pensiun Dini PLTU
.jpg)
JAKARTA – Pernyataan Menteri ESDM
Bahlil Lahadalia yang menyebut program pensiun dini PLTU jangan dipaksakan
karena keterbatasan anggaran justru menunjukkan komitmen pemerintah yang
setengah hati dalam mempercepat transisi energi. Pensiun dini PLTU adalah
langkah krusial untuk mengurangi emisi dan mencapai target net zero.
“Jika pemerintah serius dengan transisi energi, maka
seharusnya anggaran negara dan kebijakan fiskal diarahkan untuk mendukung
pengembangan energi terbarukan, bukan terus memberi subsidi pada batu bara,” ujar
Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Selama ini, berbagai insentif untuk industri batu bara,
termasuk royalti nol persen dan skema DMO (Domestic Market Obligation), justru
memperpanjang usia PLTU Batubara. Selain itu, pajak karbon yang seharusnya
diberlakukan untuk PLTU telah dibatalkan berkali-kali oleh Pemerintah.
Baca Lainnya :
- Negara0
- Pagar0
- Menakar Kunci Sukses Swasembada Pangan0
- Gebrakan 100 Hari, Presiden Prabowo Resmikan 37 Proyek Ketenagalistrikan Nasional0
- KKP Segel 453 Ton Bahan Baku Pakan Ikan dari Luar Negeri0
Hal ini sangat disayangkan mengingat pemberlakukan pajak
karbon bisa menjadi sinyal keseriusan Pemerintah dalam melakukan transisi
energi. Lebih dari itu, keterbatasan anggaran negara semakin memperjelas bahwa
transisi energi di Indonesia yang membutuhkan biaya besar ini perlu didukung
oleh pembiayaan swasta.
Namun, dengan pernyataan yang kontradiktif ini hanya akan
memberikan sinyal yang membingungkan bagi lembaga keuangan global yang
sebenarnya sangat dibutuhkan untuk mendukung transisi energi Indonesia. Sikap
tidak konsisten ini dapat merusak kepercayaan para investor dan semakin
memperlambat laju investasi bagi transisi energi.
Selain itu, pernyataan membingungkan lainnya juga
disampaikan oleh Menteri ESDM yang menyebut bahwa Indonesia perlu mengikuti
langkah negara maju khususnya Amerika Serikat yang akan keluar dari Perjanjian
Paris pada 2025. Sebaliknya, situasi ini justru harus menjadi pemicu bagi
Indonesia untuk memperkuat kerja sama dengan negara-negara maju lainnya yang
tetap berkomitmen terhadap transisi energi.
“Alih-alih menjadikan keluarnya AS sebagai alasan untuk
memperlambat transisi energi, Indonesia harus mengambil peluang untuk mencari
dukungan lebih besar dari negara-negara maju lainnya yang tetap berkomitmen
untuk dekarbonisasi sektor energi, seperti Uni Eropa, Jepang, bahkan China”,
tegas Bondan.
Pernyataan Menteri ESDM justru berlawanan dengan pesan yang
disampaikan Presiden Prabowo di forum G20. Pada forum tersebut, Presiden
menegaskan bahwa transisi energi merupakan prioritas bagi Indonesia. Jika
pemerintah ingin mempertahankan kredibilitasnya di mata dunia, maka kebijakan
transisi energi harus dijalankan dengan konsisten, bukan dengan sinyal yang
membingungkan.
Pemerintah seharusnya tidak hanya menunggu pendanaan dari
luar, tetapi juga berani mengambil langkah-langkah kebijakan yang progresif
untuk mendorong pensiun dini PLTU Batubara. Ini termasuk mengalihkan subsidi
energi fosil ke energi bersih, memperketat standar emisi bagi PLTU, mempercepat
reformasi di sektor kelistrikan agar lebih kompetitif bagi energi terbarukan,
serta memastikan transisi energi yang adil bagi masyarakat terdampak.
Jika pemerintah terus memberikan pernyataan dan aksi yang
bertentangan dengan komitmen transisi energi Indonesia yang telah disampaikan
di forum internasional, maka transisi energi di Indonesia hanya akan menjadi
janji kosong, sementara dampak krisis iklim dan polusi udara terus memburuk dan
merugikan masyarakat.
