- Hilirisasi Grup MIND ID, Transformasi Pertambangan Berbasis Nilai Tambah
- Cerita Eks Wartawan Jualan Cabai yang Diborong Mentan Amran dari Daerah Bencana Aceh
- Kepungan Bencana Ekologis dan Keharusan Reformasi Fiskal Sektor Ekstraktif
- Pertumbuhan Ekonomi 2026 Ditaksir 5 Persen, WP Badan Harus Siap Diperiksa
- Ikhtiar Nyata SDG Academy Indonesia: Konektivitas Data, Kebijakan, dan Kepemimpinan
- Kembangkan Potensi Anak, LPAM Mirabel dan Ilmu Politik UNY Gelar Peringatan Hari Ibu
- Sambut Nataru dan HAB Kemenag ke-80, PD IPARI Karanganyar Bersih-Bersih Rumah Ibadah Lintas Agama
- Penguatan Sektor Riil Kunci Capai Target Pertumbuhan Ekonomi 5,4 Persen di 2026
- Musim Mas Dukung Pemkab Deli Serdang Hadirkan Ruang Publik Bersama melalui Pembangunan Alun-Alun
- Sidang Pengeroyokan di Tanjungpinang, Korban Soroti Terdakwa Tak Ditahan
Indonesia Perlu Pastikan Infrastruktur Hingga Protokol Tanggap Darurat Hadapi Risiko Hidrometeorolog

Keterangan Gambar : ilustrasi badai tropis- Media sosial Arcanda Tahar
JAKARTA- Indonesia perlu
memastikan ketangguhan infrastruktur, tata ruang, dan protokol tanggap darurat
di semua tingkatan dalam
menghadapi bencana alam dan kerusakan lingkungan hidup agar menekan dampak
sosial dan ekonomi.
Terlebih Indonesia berada
dalam jalur risiko hidrometeorologi yang kompleks dan membutuhkan pendekatan
mitigasi berbasis data ilmiah, tata kelola ruang adaptif, dan komunikasi krisis
yang efektif.
Menurut
Board of Experts Prasasti Center for Policy Studies, Arcandra Tahar sekaligus
pakar energi Indonesia, siklon tropis yang melintasi wilayah utara Indonesia
perlu dipahami dalam konteks ilmiah jangka panjang.
Baca Lainnya :
- KPOP4PLANET Indonesia Desak Hana Bank Hentikan Pembiayaan Batu Bara0
- Pakar Hukum Ini Ingatkan Praktik Kejahatan Berlindung Dibalik Bencana 0
- Banjir Longsor di Batangtoru, Sumut: Sudah Lama Diingatkan, Sangat Nyata, Semua Bergeming0
- IDXCarbon Catat Permintaan 2,75 Juta Ton kredit Karbon Selama COP 30 di Brazil0
- Telkomsel Kembali Gelar Jaga Bumi, Tanam 12.731 Pohon Baru dan Serap 824 Ton Emisi Karbon 0
“Jika kita melihat data lintasan badai selama 150 tahun, Sumatera bagian utara hingga Selat Malaka memang pernah dilintasi tropical storm. Ini menunjukkan bahwa fenomena seperti ini bukan anomali tunggal, melainkan bagian dari return period alam. Kejadiannya dapat berulang setiap beberapa puluh tahun,” jelas Arcandra dalam keterangan resmi, Rabu(10/12/2025).
Dia
menambahkan bahwa berdasarkan skala Saffir–Simpson, peristiwa ini dikategorikan
sebagai tropical storm karena
kecepatan anginnya berada di kisaran 35–40 mph atau lebih kuat dibanding tropical depression, tetapi belum
mencapai kategori topan atau hurricane. “Untuk memitigasi bencana
dalam kondisi ekstrem, analisa meteorologi dan oseanografi dengan return period
100 tahun kita gunakan untuk mendesain bangunan laut dan pantai. Siklon tropis
baru-baru ini adalah pengingat bahwa Indonesia perlu memastikan ketangguhan
infrastruktur, tata ruang, dan protokol tanggap darurat di semua tingkatan yang
menyesuaikan situasi terbaru ini,” ujarnya.
Arcandra
juga menekankan bahwa perubahan iklim hanyalah salah satu variabel yang
mempengaruhi dampak bencana.
“Perubahan
iklim bisa memperkuat intensitas kejadian ekstrem, tetapi faktor-faktor lokal
seperti kerentanan Daerah Aliran Sungai (DAS), degradasi hutan, dan konversi
lahan sangat menentukan besarnya dampak. Negara-negara yang terbiasa menghadapi
badai seperti Jepang, Taiwan, Cina, dan Filipina, menunjukkan bahwa disiplin
tata ruang, konservasi lingkungan, serta kesiapsiagaan masyarakat sama
pentingnya dengan teknologi meteorologi.”papar
dia.
Executive
Director Prasasti, Nila Marita menyampaikan
bahwa siklon
tropis yang melanda Sumatera menunjukkan bahwa kita sudah memasuki era risiko
baru.
“Indonesia
memiliki fondasi sistem peringatan dini yang kuat melalui BMKG, dan langkah
berikutnya adalah memastikan bahwa data ilmiah, kebijakan tata ruang,
infrastruktur, komunikasi krisis, dan kesiapsiagaan daerah berjalan dalam satu
kesatuan,” ungkap Nila. Selain risiko meteorologis, Prasasti menyoroti
pentingnya komunikasi krisis yang lebih responsif dan terkoordinasi. “Informasi
teknis dari BMKG perlu diterjemahkan menjadi pesan operasional yang mudah
dipahami masyarakat. Ketikaterjadi bencana, kecepatan dan keselarasan pesan
antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sangat menentukan efektivitas
respons,” ujar Nila.
Nila
menambahkan penguatan fungsi Crisis
Communication Center yang sudah ada akan sangat membantu masyarakat untuk
mengetahui perkembangan terbaru, langkah-langkah tanggap darurat yang sedang
berlangsung, dan bagaimana mengakses bantuan secara timely. Nila menekankan,
”Efektivitas pusat komunikasi ini dapat meminimalisir kesimpangsiuran data dan
informasi di di publik, meningkatkan koordinasi antar instansi dan masyarakat,
serta mengurangi potensi disinformasi di tengah situasi darurat.”
Prasasti
menyampaikan sejumlah langkah yang dapat melengkapi berbagai upaya pemerintah
yang telah berjalan untuk memperkuat ketahanan nasional
Pertama, ,engadopsi teknologi yang dapat memantau dan
memperkirakan datangnya badai sekaligus memodelkan secara numerik arah pergerakan
badai. Teknologi ini sudah biasa digunakan di negara maju seperti Amerika
Serikat dalam memantau arah dan intensitas hurricane sehingga mitigasi bencana
bisa dilaksanakan sedini mungkin.
Kedua, memperkuat pemanfaatan data pemantauan badai
dalam tata ruang dan perencanaan pembangunan. Teknologi di bidang meteorologi
yang semakin maju membuka peluang untuk memperkuat integrasi antara data
meteorologi dengan zonasi rawan bencana dan rencana pembangunan di tingkat
pusat dan daerah.
Ketiga, meninjau kembali standar desain infrastruktur
berdasarkan skenario ekstrem. Pendekatan ini dapat melengkapi langkah
pemerintah dalam memastikan bahwa infrastruktur vital seperti drainase,
bendungan, proteksi pesisir dan pelabuhan tetap tangguh terhadap kejadian
ekstrem.
Keempat, menyelaraskan protokol komunikasi krisis
nasional lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, serta memperkuat Crisis Communication Center di lokasi
bencana. Upaya ini memastikan bahwa informasi dari berbagai kementerian/lembaga
dan pemerintah daerah dapat diterjemahkan menjadi instruksi praktis yang jelas
dan tersampaikan secara konsisten kepada publik.
Kelima, memperkuat mitigasi
berbasis ekosistem dan masyarakat. Rehabilitasi DAS, restorasi pesisir,
perlindungan hutan, dan penataan ruang adaptif dapat memperkecil dampak
kejadian ekstrem, termasuk dalam konteks evakuasi dan perlindungan kelompok
rentan.
Keenam,
memperluas dukungan bagi pemerintah daerah untuk menindaklanjuti peringatan
dini. Hal ini mencakup penyusunan SOP tanggap darurat, edukasi publik, simulasi
kesiapsiagaan komunitas, serta penguatan kapasitas teknis agar informasi dari
BMKG dapat diterjemahkan menjadi tindakan cepat di lapangan.
Padangan tersebut menanggapi dampak Badai Siklon Tropis
yang melanda Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat
yang dikenal sebagai Siklon Tropis Senyar mengakibatkan hujan ekstrem, banjir,
dan angin kencang di beberapa provinsi, serta menimbulkan dampak sosial dan
ekonomi yang signifikan.
Pada
10 Desember, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan tercatat
969 orang meninggal dan 262 orang hilang. Badai ini merupakan salah satu dari
dua Tropical Cyclone(TC) yang
terbentuk di utara Indonesia.
.jpg)
1.jpg)

.jpg)

6.jpg)
.jpg)
1.jpg)
.jpg)

.jpg)

