Indonesia Perlu Pastikan Infrastruktur Hingga Protokol Tanggap Darurat Hadapi Risiko Hidrometeorolog

By PorosBumi 10 Des 2025, 15:18:25 WIB Infrastruktur
Indonesia Perlu Pastikan Infrastruktur Hingga Protokol Tanggap Darurat Hadapi Risiko Hidrometeorolog

Keterangan Gambar : ilustrasi badai tropis- Media sosial Arcanda Tahar


JAKARTA- Indonesia perlu memastikan ketangguhan infrastruktur, tata ruang, dan protokol tanggap darurat di semua tingkatan dalam menghadapi bencana alam dan kerusakan lingkungan hidup agar menekan dampak sosial dan ekonomi.

Terlebih Indonesia berada dalam jalur risiko hidrometeorologi yang kompleks dan membutuhkan pendekatan mitigasi berbasis data ilmiah, tata kelola ruang adaptif, dan komunikasi krisis yang efektif.

Menurut Board of Experts Prasasti Center for Policy Studies,  Arcandra Tahar sekaligus pakar energi Indonesia, siklon tropis yang melintasi wilayah utara Indonesia perlu dipahami dalam konteks ilmiah jangka panjang.

Baca Lainnya :

“Jika kita melihat data lintasan badai selama 150 tahun, Sumatera bagian utara hingga Selat Malaka memang pernah dilintasi tropical storm. Ini menunjukkan bahwa fenomena seperti ini bukan anomali tunggal, melainkan bagian dari return period alam. Kejadiannya dapat berulang setiap beberapa puluh tahun,” jelas Arcandra dalam keterangan resmi, Rabu(10/12/2025).

Dia menambahkan bahwa berdasarkan skala Saffir–Simpson, peristiwa ini dikategorikan sebagai tropical storm karena kecepatan anginnya berada di kisaran 35–40 mph atau lebih kuat dibanding tropical depression, tetapi belum mencapai kategori topan  atau hurricane. “Untuk memitigasi bencana dalam kondisi ekstrem, analisa meteorologi dan oseanografi dengan return period 100 tahun kita gunakan untuk mendesain bangunan laut dan pantai. Siklon tropis baru-baru ini adalah pengingat bahwa Indonesia perlu memastikan ketangguhan infrastruktur, tata ruang, dan protokol tanggap darurat di semua tingkatan yang menyesuaikan situasi terbaru ini,” ujarnya.

Arcandra juga menekankan bahwa perubahan iklim hanyalah salah satu variabel yang mempengaruhi dampak bencana.

“Perubahan iklim bisa memperkuat intensitas kejadian ekstrem, tetapi faktor-faktor lokal seperti kerentanan Daerah Aliran Sungai (DAS), degradasi hutan, dan konversi lahan sangat menentukan besarnya dampak. Negara-negara yang terbiasa menghadapi badai seperti Jepang, Taiwan, Cina, dan Filipina, menunjukkan bahwa disiplin tata ruang, konservasi lingkungan, serta kesiapsiagaan masyarakat sama pentingnya dengan teknologi meteorologi.”papar dia.

Executive Director Prasasti,  Nila Marita menyampaikan bahwa siklon tropis yang melanda Sumatera menunjukkan bahwa kita sudah memasuki era risiko baru.

Indonesia memiliki fondasi sistem peringatan dini yang kuat melalui BMKG, dan langkah berikutnya adalah memastikan bahwa data ilmiah, kebijakan tata ruang, infrastruktur, komunikasi krisis, dan kesiapsiagaan daerah berjalan dalam satu kesatuan,” ungkap Nila. Selain risiko meteorologis, Prasasti menyoroti pentingnya komunikasi krisis yang lebih responsif dan terkoordinasi. “Informasi teknis dari BMKG perlu diterjemahkan menjadi pesan operasional yang mudah dipahami masyarakat. Ketikaterjadi bencana, kecepatan dan keselarasan pesan antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sangat menentukan efektivitas respons,” ujar Nila.

Nila menambahkan penguatan fungsi Crisis Communication Center yang sudah ada akan sangat membantu masyarakat untuk mengetahui perkembangan terbaru, langkah-langkah tanggap darurat yang sedang berlangsung, dan bagaimana mengakses bantuan secara timely. Nila menekankan, ”Efektivitas pusat komunikasi ini dapat meminimalisir kesimpangsiuran data dan informasi di di publik, meningkatkan koordinasi antar instansi dan masyarakat, serta mengurangi potensi disinformasi di tengah situasi darurat.”

Prasasti menyampaikan sejumlah langkah yang dapat melengkapi berbagai upaya pemerintah yang telah berjalan untuk memperkuat ketahanan nasional

Pertama,  ,engadopsi teknologi yang dapat memantau dan memperkirakan datangnya badai sekaligus memodelkan secara numerik arah pergerakan badai. Teknologi ini sudah biasa digunakan di negara maju seperti Amerika Serikat dalam memantau arah dan intensitas hurricane sehingga mitigasi bencana bisa dilaksanakan sedini mungkin.

Kedua,  memperkuat pemanfaatan data pemantauan badai dalam tata ruang dan perencanaan pembangunan. Teknologi di bidang meteorologi yang semakin maju membuka peluang untuk memperkuat integrasi antara data meteorologi dengan zonasi rawan bencana dan rencana pembangunan di tingkat pusat dan daerah.

Ketiga,  meninjau kembali standar desain infrastruktur berdasarkan skenario ekstrem. Pendekatan ini dapat melengkapi langkah pemerintah dalam memastikan bahwa infrastruktur vital seperti drainase, bendungan, proteksi pesisir dan pelabuhan tetap tangguh terhadap kejadian ekstrem.

Keempat,  menyelaraskan protokol komunikasi krisis nasional lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, serta memperkuat Crisis Communication Center di lokasi bencana. Upaya ini memastikan bahwa informasi dari berbagai kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dapat diterjemahkan menjadi instruksi praktis yang jelas dan tersampaikan secara konsisten kepada publik.

Kelima, memperkuat mitigasi berbasis ekosistem dan masyarakat. Rehabilitasi DAS, restorasi pesisir, perlindungan hutan, dan penataan ruang adaptif dapat memperkecil dampak kejadian ekstrem, termasuk dalam konteks evakuasi dan perlindungan kelompok rentan.

Keenam, memperluas dukungan bagi pemerintah daerah untuk menindaklanjuti peringatan dini. Hal ini mencakup penyusunan SOP tanggap darurat, edukasi publik, simulasi kesiapsiagaan komunitas, serta penguatan kapasitas teknis agar informasi dari BMKG dapat diterjemahkan menjadi tindakan cepat di lapangan.

Padangan tersebut menanggapi dampak  Badai Siklon Tropis yang melanda Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang dikenal sebagai Siklon Tropis Senyar mengakibatkan hujan ekstrem, banjir, dan angin kencang di beberapa provinsi, serta menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan.

Pada 10 Desember, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan tercatat 969 orang meninggal dan 262 orang hilang. Badai ini merupakan salah satu dari dua Tropical Cyclone(TC) yang terbentuk di utara Indonesia.

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment