Indonesia: Susu dan Buku

By PorosBumi 14 Jan 2025, 05:48:16 WIB Tilikan
Indonesia: Susu dan Buku

Bandung Mawardi

Tukang Kliping, Bapak Rumah Tangga

 

Baca Lainnya :

SENIN, 6 Januari 2025, sejarah bertajuk makan bergizi gratis digelar di Indonesia meski belum merata. Murid-murid di pelbagai tempat diajak menikmati makanan gratis dijamin bergizi. Babak awal itu belum mendapat tepuk tangan keras dan lama. Sekian keluhan, kritik, usulan, dan kecewa bermunculan menjadi sokongan dalam pembenahan-pembenahan kebijakan “mahabesar” di bawah rezim Prabowo-Gibran.

Di halaman depan Jawa Pos, 8 Januari 2025, tercetak judul berita “Susu Tidak Harus Ada, Bisa Diganti Tahu Tempe”. Para pembaca lekas paham. Keributan terjadi sejak akhir 2024 dipicu susu. Para pejabat memberi penjelasan-penjelasan sering tak selaras dan kompak. Publik tergoda membuat keramaian pendapat. Di hari bersejarah, ribuan murid belum dipastikan dapat minum susu.

Juru Bicara Kantor Kepresidenan Adita Irawati menjelaskan: “Ketersediaan susu jadi bahan evaluasi, tetapi mohon untuk bisa diperhatikan bahwa ini tidak selalu harus ada. Yang penting kandungan gizi itu tercukupi.” Keterangan resmi dari pemerintah menghasilkan konklusi: susu bisa diganti tahu dan tempe.

Kendala dihadapi pemerintah berkaitan menus susu dan lokasi. “Jika memang lokasi SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) jauh dari sentra sapi atau sentra susu, boleh diganti dengan menu lain (Jawa Pos, 8 Januari 2025). Pembagian susu belum merata. Murid-murid belum kebagian susu dianjurkan sabar, menghindari iri, dan membuang pesimis atas kebijakan pemerintah.

Kita terbiasa kaget dan bingung saat mendapat penjelasan-penjelasan dari pihak pemerintah secara lisan atau tulisan bertema susu. Bingung kadang ditanggpi orang-orang dengan membuat lelucon diedarkan di media sosial. Susu menjadi masalah terlalu sulit. Pemerintah belum sanggup menjamin ketersediaan susu dalam ikhtiar pencapaian program makan bergizi gratis. Susu tak sekadar masalah sapi. Susu itu anggaran.

Susu pun masalah Indonesia dan Amerika Serikat. Di Kompas, 26 November 2024, terbaca berita kecil tapi mengingatkan kesulitan dihadapi pemerintah. Peristiwa terjadi di Hotel Westin, Jakarta, 21 November 2024. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Kamala Sharin Lakhdhir memberi keterangan mengenai kemungkinan kerja sama serius Indonesia-Amerika Serikat atas nama susu. Pihak Amerika Serikat ingin dan berkepentingan mendidik atau melatih peternak sapi penghasil susu di Indonesia.

Kita mengutip berita: “Pelatihan tersebut dinilai penting untuk mendukung Indonesia agar mampu memproduksi lebih banyak susu yang akan melengkapi program maknan bergizi.” Keinginan besar Amerika Serikat untuk tampil dalam makan bergizi gratis di Indonesia berdasarkan sejarah. Di Amerika Serikat, 1946, berlaku undang-undang tentang makan siang sekolah berongkos rendah atau gratis.

Duta Besar Amerika Serikat menerangkan: “Susu telah menjadi makanan pokok sejak saat itu, disajikan kepada setiap anak pada waktu makan sarapan, makan siang, dan bahkan terkadang makan malam. Kita mulai menengok sejarah Amerika Serikat. Di sana, susu tersedia dalam kepentingan pendidikan. Pada abad XXI, Indonesia belum kepikiran jalinan susu, pendidikan, kesehatan, dan martabat negara.

Kini, susu bukan sekadar berita atau kritik mengandung lelucon di media sosial. Susu itu buku. Kita memerlukan beragam bacaan agar tak kebingungan bila berdebat susu. Bacaan-bacaan bermutu menunjang pengetahuan agar makan bergizi gratis mengharuskan atau tak mengharuskan tersedia susu terpahamkan. Sejak akhir 2024, kita justru tak menemukan referensi atau bibliografi berupa buku-buku disodorkan pemerintah atau digunakan orang-orang masih rajin memberi kritik.

Pada 2013, terbit buku berjudul Don’t Drink Your Milk susunan Frank A Oski. Di situ, ia melihat susu dan Amerika Serikat. Frank mengaku “penentang” kebijakan pemerintah dan serbuan iklan susu. Ia menjelaskan: “Pada April 1974, Komisi Perdagangan Federasi pernah mengajukan keluhan terhadap Dewan Penasihat Produsen Susu California dan agensi periklanannya. Dalam keluhannya, mereka mengutip slogan ‘semua orang butuh susu’ sebagai representasi iklan yang salah, menyesatkan, dan menipu. Komisi Perdagangan Federal menilai testimoni antusias beberapa selebriti tersebut menyampaikan gambaran yang tidak akurat tentang nilai susu sebagai makanan.” Keluhan ditanggapi dengan perubahan slogan: “susu memiliki sesuatu”. Kita sedang membaca buku, bukan bermaksud lekas memastikan benar dan salah.

Buku berisi 164 halaman dapat dibaca untuk mendapat beragam penjelasan, protes, argumentasi, pesimis, propaganda, dan perdebatan. Usaha membaca buku berbeda dengan menikmati berita-berita pendek edisi cetak atau digital. Pendapat atau sanggahan publik tergesa beredar di media sosial cenderung makin ruwet. Susu memang sapi. Susu itu bisnis besar dan menggiurkan. Susu itu iklan-iklan tak dijamin benar. Susu telanjur menjadi “mitos” dalam keluarga demi sehat dan cerdas.

Kita berganti membuka buku berwarna putih berjudul Mitos-Fakta: Susu dan Kesehatan Manusia (2016) susunan FG Winarno. Buku tipis tapi sesak informasi. Bapak Ilmu Pangan itu menerangkan: “Susu bukan sekadar jenis minuman, tetapi juga bagian dari fenomena kebudayaan yang tidak lekang oleh waktu serta erosi sejarah peradaban manusia. Sebagai pangan manusia, susu telah mengalami seleksi alam dan tetap diterima hingga saat ini. Peran susu sapi dapat ditelusuri sejarahnya sejak beribu tahun yang lalu, tetapi mitos tentang susu tetap bergema hingga saat ini meskipun rata-rata per kapita di berbagai negara terus meningkat. Contohnya di Amerika Serikat, anak-anak mengonsumsi rata-rata 0,94 liter susu sapi selama tahun 2011.” Kita makin diajak sepakat jika susu itu Amerika Serikat. Indonesia belum memiliki sejarah panjang bertema susu. Indonesia kebingungan dan kewalahan memikirkan susu itu lumrah.

Kita mampir dalam dua buku. Kebijakan pemerintah memerlukan sodoran bibliografi. Murid-murid menjadi penikmat makan bergizi gratis berhak mengetahui bacaan-bacaan bertema susu. Di sekolah, susu bisa menjadi tema untuk diajarkan melalui pengisahan, menggambar, lagu, film, dan lain-lain. Kita belum ingin terlalu ingin sibuk berdebat gara-gara penjelasan-penjelasan pemerintah. Kita mendingan menanti susu itu buku agar terbaca beragam keterangan penting dan argumentatif ketimbang sengketa pendapat tak berujung. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment