- Anggota ASPAI Se-Indonesia Uji Kompetensi Budidaya Anggur
- Mengintip Cara Anak Mengakrabi Kaki Seribu di Pemakaman
- 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer (1925-2025): Petani dan Biografi
- Pagar
- Mau Kuliah Gratis? Beasiswa Bank Indonesia 2025 Telah Dibuka, Ini Syaratnya!
- Air Terjun Weekacura, Hidden Gem di Sumba yang Punya Pesona Memanjakan Mata
- DWP Kemenkop dan LPDB Gelar Sosialisasi Perkoperasian dan Akses Pembiayaan Dana Bergulir di Cirebon
- Menakar Kunci Sukses Swasembada Pangan
- Patrick Pantera Negra Kluivert dan Memori Stadion Ernst Happel
- Pangan, Gizi dan Harapan
Indonesia: Susu dan Buku

Bandung Mawardi
Tukang Kliping, Bapak Rumah Tangga
Baca Lainnya :
- Trik Pengawetan Kayu Sengon untuk Menjaga Kualitasnya0
- Sipebi, Penyunting Ejaan Bahasa Indonesia0
- Mengubah Sampah Jadi Berkah0
- Eksplorasi Alam Semesta0
- Desa dan Bank0
SENIN, 6 Januari 2025, sejarah bertajuk makan bergizi gratis
digelar di Indonesia meski belum merata. Murid-murid di pelbagai tempat diajak
menikmati makanan gratis dijamin bergizi. Babak awal itu belum mendapat tepuk
tangan keras dan lama. Sekian keluhan, kritik, usulan, dan kecewa bermunculan
menjadi sokongan dalam pembenahan-pembenahan kebijakan “mahabesar” di bawah
rezim Prabowo-Gibran.
Di halaman depan Jawa Pos, 8 Januari 2025, tercetak judul
berita “Susu Tidak Harus Ada, Bisa Diganti Tahu Tempe”. Para pembaca lekas
paham. Keributan terjadi sejak akhir 2024 dipicu susu. Para pejabat memberi
penjelasan-penjelasan sering tak selaras dan kompak. Publik tergoda membuat
keramaian pendapat. Di hari bersejarah, ribuan murid belum dipastikan dapat
minum susu.
Juru Bicara Kantor Kepresidenan Adita Irawati menjelaskan:
“Ketersediaan susu jadi bahan evaluasi, tetapi mohon untuk bisa diperhatikan
bahwa ini tidak selalu harus ada. Yang penting kandungan gizi itu tercukupi.”
Keterangan resmi dari pemerintah menghasilkan konklusi: susu bisa diganti tahu
dan tempe.
Kendala dihadapi pemerintah berkaitan menus susu dan lokasi.
“Jika memang lokasi SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) jauh dari sentra
sapi atau sentra susu, boleh diganti dengan menu lain (Jawa Pos, 8
Januari 2025). Pembagian susu belum merata. Murid-murid belum kebagian susu
dianjurkan sabar, menghindari iri, dan membuang pesimis atas kebijakan
pemerintah.
Kita terbiasa kaget dan bingung saat mendapat
penjelasan-penjelasan dari pihak pemerintah secara lisan atau tulisan bertema
susu. Bingung kadang ditanggpi orang-orang dengan membuat lelucon diedarkan di
media sosial. Susu menjadi masalah terlalu sulit. Pemerintah belum sanggup
menjamin ketersediaan susu dalam ikhtiar pencapaian program makan bergizi
gratis. Susu tak sekadar masalah sapi. Susu itu anggaran.
Susu pun masalah Indonesia dan Amerika Serikat. Di Kompas,
26 November 2024, terbaca berita kecil tapi mengingatkan kesulitan dihadapi
pemerintah. Peristiwa terjadi di Hotel Westin, Jakarta, 21 November 2024. Duta
Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Kamala Sharin Lakhdhir memberi keterangan
mengenai kemungkinan kerja sama serius Indonesia-Amerika Serikat atas nama
susu. Pihak Amerika Serikat ingin dan berkepentingan mendidik atau melatih
peternak sapi penghasil susu di Indonesia.
Kita mengutip berita: “Pelatihan tersebut dinilai penting
untuk mendukung Indonesia agar mampu memproduksi lebih banyak susu yang akan
melengkapi program maknan bergizi.” Keinginan besar Amerika Serikat untuk
tampil dalam makan bergizi gratis di Indonesia berdasarkan sejarah. Di Amerika
Serikat, 1946, berlaku undang-undang tentang makan siang sekolah berongkos
rendah atau gratis.
Duta Besar Amerika Serikat menerangkan: “Susu telah menjadi
makanan pokok sejak saat itu, disajikan kepada setiap anak pada waktu makan
sarapan, makan siang, dan bahkan terkadang makan malam. Kita mulai menengok
sejarah Amerika Serikat. Di sana, susu tersedia dalam kepentingan pendidikan.
Pada abad XXI, Indonesia belum kepikiran jalinan susu, pendidikan, kesehatan,
dan martabat negara.
Kini, susu bukan sekadar berita atau kritik mengandung
lelucon di media sosial. Susu itu buku. Kita memerlukan beragam bacaan agar tak
kebingungan bila berdebat susu. Bacaan-bacaan bermutu menunjang pengetahuan
agar makan bergizi gratis mengharuskan atau tak mengharuskan tersedia susu
terpahamkan. Sejak akhir 2024, kita justru tak menemukan referensi atau
bibliografi berupa buku-buku disodorkan pemerintah atau digunakan orang-orang
masih rajin memberi kritik.
Pada 2013, terbit buku berjudul Don’t Drink Your Milk
susunan Frank A Oski. Di situ, ia melihat susu dan Amerika Serikat. Frank
mengaku “penentang” kebijakan pemerintah dan serbuan iklan susu. Ia
menjelaskan: “Pada April 1974, Komisi Perdagangan Federasi pernah mengajukan
keluhan terhadap Dewan Penasihat Produsen Susu California dan agensi
periklanannya. Dalam keluhannya, mereka mengutip slogan ‘semua orang butuh
susu’ sebagai representasi iklan yang salah, menyesatkan, dan menipu. Komisi
Perdagangan Federal menilai testimoni antusias beberapa selebriti tersebut
menyampaikan gambaran yang tidak akurat tentang nilai susu sebagai makanan.”
Keluhan ditanggapi dengan perubahan slogan: “susu memiliki sesuatu”. Kita
sedang membaca buku, bukan bermaksud lekas memastikan benar dan salah.
Buku berisi 164 halaman dapat dibaca untuk mendapat beragam
penjelasan, protes, argumentasi, pesimis, propaganda, dan perdebatan. Usaha
membaca buku berbeda dengan menikmati berita-berita pendek edisi cetak atau
digital. Pendapat atau sanggahan publik tergesa beredar di media sosial
cenderung makin ruwet. Susu memang sapi. Susu itu bisnis besar dan menggiurkan.
Susu itu iklan-iklan tak dijamin benar. Susu telanjur menjadi “mitos” dalam
keluarga demi sehat dan cerdas.
Kita berganti membuka buku berwarna putih berjudul Mitos-Fakta:
Susu dan Kesehatan Manusia (2016) susunan FG Winarno. Buku tipis tapi sesak
informasi. Bapak Ilmu Pangan itu menerangkan: “Susu bukan sekadar jenis
minuman, tetapi juga bagian dari fenomena kebudayaan yang tidak lekang oleh
waktu serta erosi sejarah peradaban manusia. Sebagai pangan manusia, susu telah
mengalami seleksi alam dan tetap diterima hingga saat ini. Peran susu sapi
dapat ditelusuri sejarahnya sejak beribu tahun yang lalu, tetapi mitos tentang
susu tetap bergema hingga saat ini meskipun rata-rata per kapita di berbagai
negara terus meningkat. Contohnya di Amerika Serikat, anak-anak mengonsumsi
rata-rata 0,94 liter susu sapi selama tahun 2011.” Kita makin diajak sepakat
jika susu itu Amerika Serikat. Indonesia belum memiliki sejarah panjang bertema
susu. Indonesia kebingungan dan kewalahan memikirkan susu itu lumrah.
Kita mampir dalam dua buku. Kebijakan pemerintah memerlukan
sodoran bibliografi. Murid-murid menjadi penikmat makan bergizi gratis berhak
mengetahui bacaan-bacaan bertema susu. Di sekolah, susu bisa menjadi tema untuk
diajarkan melalui pengisahan, menggambar, lagu, film, dan lain-lain. Kita belum
ingin terlalu ingin sibuk berdebat gara-gara penjelasan-penjelasan pemerintah.
Kita mendingan menanti susu itu buku agar terbaca beragam keterangan penting
dan argumentatif ketimbang sengketa pendapat tak berujung. Begitu.
