- Anggota ASPAI Se-Indonesia Uji Kompetensi Budidaya Anggur
- Mengintip Cara Anak Mengakrabi Kaki Seribu di Pemakaman
- 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer (1925-2025): Petani dan Biografi
- Pagar
- Mau Kuliah Gratis? Beasiswa Bank Indonesia 2025 Telah Dibuka, Ini Syaratnya!
- Air Terjun Weekacura, Hidden Gem di Sumba yang Punya Pesona Memanjakan Mata
- DWP Kemenkop dan LPDB Gelar Sosialisasi Perkoperasian dan Akses Pembiayaan Dana Bergulir di Cirebon
- Menakar Kunci Sukses Swasembada Pangan
- Patrick Pantera Negra Kluivert dan Memori Stadion Ernst Happel
- Pangan, Gizi dan Harapan
Jika Pohon Mati, Kita Pun Mati
.jpg)
Muhamad Burhanudin
Manajer Kebijakan Lingkungan Hidup Yayasan
KEHATI
Baca Lainnya :
- Keluarga Besar Mapala Stacia UMJ Bertambah 25 Anggota Baru0
- Indonesia: Susu dan Buku0
- Trik Pengawetan Kayu Sengon untuk Menjaga Kualitasnya0
- Sipebi, Penyunting Ejaan Bahasa Indonesia0
- Mengubah Sampah Jadi Berkah0
“If the trees die, we die”. Jika Anda menonton film Avatar
(2009), pasti paham bahwa kutipan itu menjadi inti dari narasi film tersebut.
Pesan itu disampaikan melalui karakter Neytiri yang sering menekankan
keterhubungan semua kehidupan di Pandora. Dari frasa itu, keseluruhan film tersebut
hendak menegaskan bahwa menghancurkan alam—yang diwakili oleh pepohonan dan
ekosistem Pandora—akan mengarah pada kehancuran semua kehidupan, termasuk
manusia.
Bagi kehidupan di bumi, pesan tersebut benar belaka. Pohon
adalah produsen utama dalam ekosistem. Mereka mengubah energi matahari menjadi
energi kimia berupa glukosa yang menjadi sumber makanan bagi makhluk hidup.
Lebih dari itu, pohon adalah penyedia habitat bagi semua makhluk hidup,
pelindung tanah, penyedia oksigen, penyimpan air, pencegah banjir, sumber
nutrisi organik, sekaligus simbol peradaban dan budaya dalam lintasan sejarah
umat manusia.
“Pohon barangkali bersifat fana, namun keberadaannya
menentukan keberlanjutan siklus alam yang abadi”. Begitu filsuf Prancis Albert
Camus menggambarkan betapa pentingnya pohon dalam karyanya The Myth of Sisyphus
(1942).
Pohon juga penyerap karbon yang efektif. Pohon dewasa
rata-rata menyerap sekitar 22 kilogram karbon dioksida per tahun. Dalam masa
hidupnya, satu pohon dapat menyerap sekitar 1 ton karbon dioksida
(Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC Special Report on Climate
Change and Land, 2019). Satu hektar hutan tropis dapat menyerap sekitar 50-200
ton karbon per tahun, tergantung densitas dan jenis vegetasinya.
Deforestasi dan Krisis Iklim
Laporan IPCC bulan Mei 2023 lalu menyebutkan, aktivitas
manusia terutama melalui produksi emisi gas rumah kaca (GRK) telah menyebabkan
pemanasan global dengan suhu rata-rata permukaan global pada periode 2011-2020
1,1 derajat celcius lebih tinggi daripada 1850-1900. Dari angka tersebut, suhu
permukaan global dalam dua dekade pertama abad ke-21 (2001-2020) adalah 0,99
derajat celcius lebih tinggi dari 1850-1900. Diperkirakan, hilangnya pepohonan
global, terutama akibat deforestasi sejak tahun 1850, turut menyumbang kenaikan
suhu global hingga sekitar 0,3-0,5 derajat celcius.
Pada tahun 2023, Global Forest Watch mencatat, kehilangan
hutan primer tropis mencapai 3,7 juta hektar, setara dengan hilangnya area
seluas 10 lapangan sepak bola setiap menit. Meskipun angka ini menunjukkan
penurunan 9% dibandingkan tahun 2022, tingkat kehilangan hutan primer tropis
tetap signifikan. Kehilangan hutan primer tropis pada tahun 2023 tersebut
diperkirakan menghasilkan emisi karbon dioksida 2,4 gigaton, setara dengan
hampir setengah dari emisi bahan bakar fosil tahunan di Amerika Serikat (World
Resources Institute, 2024).
Jika deforestasi terus berlanjut pada tingkat saat ini,
menurut IPCC, diperkirakan suhu global dapat meningkat tambahan 0,1-0,3 derajat
celcius pada tahun 2100, diluar dampak dari emisi lain. Hilangnya pepohonan
global tidak hanya menyebabkan kenaikan suhu langsung, tetapi juga memperburuk
dampak perubahan iklim lainnya, seperti krisis air dan penurunan keanekaragaman
hayati.
Tingkat kepunahan keanekaragaman hayati global terbukti
sekitar 100 hingga 1.000 kali tingkat kepunahan rata-rata selama puluhan juta
tahun terakhir dan terus meningkat dari waktu ke waktu. The Intergovernmental
Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) tahun
2019 menyebut, kehilangan keanekaragaman hayati menjadi satu dari tiga bencana
paling mematikan bagi planet bumi atau triple planetary crisis, di samping
polusi serta kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.
Sebagai negara megabiodiversitas, Indonesia menghadapi
ancaman signifikan terhadap spesies pohon, bahkan, mengarah kepada kepunahan.
Pada tahun 2019, 135 spesies pohon di Indonesia diklasifikasikan di ambang
kepunahan (critically endangered) dan masuk ke dalam IUCN Red List of
Threatened Species.
Sebanyak 350 spesies dipterocarp—spesies yang sangat penting
bagi kelangsungan hutan hujan tropis—juga terancam dalam kepunahan dengan tanpa
upaya konservasi yang signifikan (Botanic Gardens Conservation International,
2023). Tidak hanya di kawasan hutan, krisis biodiversitas, termasuk pepohonan
di dalamnya, juga terjadi di perkotaan.
Ledakan jumlah penduduk menjadi masalah utama. Pada tahun
2023, dari sekitar 277,5 juta penduduk di Indoneisa, 57% tinggal di perkotaan,
sisanya di perdesaan. Angka ini meningkat daripada tiga tahun sebelumnya yang
sekitar 56,7% (2020), dan diproyeksikan mencapai 66,6% tahun 2035.
Proporsi tersebut diprediksikan akan meningkat menjadi 70%
pada tahun 2045 dengan total jumlah penduduk diperkirakan mencapai 320 juta
jiwa (BPS, 2023). Bertambahnya populasi mendorong perluasan kawasan perkotaan
untuk permukiman dan kegiatan sosial ekonomi, yang kerapkali menggantikan
habitat alami dan ruang terbuka hijau (RTH) dengan infrastruktur beton.
Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR) 2021, penyusutan RTH berlangsung secara signifikan di perkotaan di
Indonesia. Di Jakarta, misalnya, RTH hanya mencakup sekitar 5,18% dari total
luas kota, jauh dari target 30% yang diamanatkan Undang Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang.
Sementara, Kota Semarang dan Kota Bandung masing-masing
mencapai 15% dan 12,25% (Buku Informasi Statistik Infrastruktur PUPR, 2021).
Angka ini kontras dengan Kota Singapura yang mengalokasikan 47% wilayahnya
untuk ruang hijau. Penyusutan RTH ini berisiko mengurangi kualitas lingkungan
hidup perkotaan, memperburuk polusi udara, serta mengurangi ruang rekreasi dan
resapan air yang sangat dibutuhkan oleh penduduk kota. Selain itu, kekurangan
ruang hijau dapat memperburuk efek perubahan iklim dan menurunkan daya tahan
kota terhadap bencana alam, seperti banjir.
Holistik dan Kolaboratif
Mengatasi krisis biodiversitas dan semakin langkanya pohon,
memerlukan pendekatan yang holistik dan kolaboratif di tingkat lokal, nasional,
dan global. Pertama, melindungi hutan yang tersisa. Kebijakan moratorium
deforestasi yang sudah dikeluarkan pemerintah harus secara konsistem
dijalankan. Upaya pengalihfungsian hutan, terutama hutan primer, untuk tujuan
apapun harus dicegah, termasuk untuk food estate.
Kedua, restorasi ekosistem. Langkah ini termasuk memulihkan
hutan yang rusak dengan teknik rehabilitasi dan pengelolaan air, serta
mendorong sistem pertanian yang mengintegrasikan pepohonan dengan tanaman dan
peternakan untuk meningkatkan keberlanjutan (agroforestry).
Ketiga, penguatan kebijakan dan penegakan hukum yang adil
dan tegas, termasuk ketegasan dalam menghukum pelaku deforestasi ilegal,
perdagangan satwa liar, ataupun pelaku alih fungsi RTH yang tak sesuai dengan
peruntukannya. Langkah ini juga perlu diimbangi dengan insentif untuk komunitas
lokal maupun masyarakat urban yang menjaga hutan dan menanam pohon di lahannya.
Keempat, pemberdayaan komunitas lokal. Mengakui hak atas
tanah masyarakat adat dan lokal adalah langkah yang sangat penting dan sesuai
amanat konstitusi. Selain itu, masyarakat adat, dengan kearifan lokalnya,
seringkali menjadi penjaga hutan yang efektif.
Kelima, penguatan riset, teknologi, dan kolaborasi
internasional. Riset tidak hanya sangat penting bagi pengembangan metode
penanaman pohon, tetapi juga sebagai landasan penyusunan kebijakan publik yang
komprehensif. Sementara, kolaborasi internasional terutama sangat dibutuhkan
untuk mendorong sumber daya pendanaan dan kerja sama perlindungan ekosistem
lintas batas.
Keenam, pendidikan dan kesadaran publik. Kampanye nasional
untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya biodiversitas dan peran pohon
dalam mitigasi perubahan iklim sangat diperlukan. Kesadaran rendah dari
masyarakat dan dunia usaha berkontribusi besar pada memburuknya biodiversitas
di Indonesia.
Biodiversitas, termasuk pohon, harus dipandang sebagai aset
bersama yang berkontribusi langsung bagi kualitas hidup dan keberlanjutan
kehidupan. Edukasi dalam hal ini termasuk tentang jenis, spesies, jasa
ekosistem, bagaimana cara melindunginya, dan mengapa kelestariannya penting.
Enam pendekatan tersebut memerlukan komitmen dari berbagai
pihak, mulai dari pemerintah, organisasi non-pemerintah, sektor swasta, hingga
individu. Selain komitmen, hal yang sangat penting adalah menjaga api
keasadaran: “If the trees die, we die”.
Selamat Hari Gerakan Sejuta Pohon 2025. Mari menanam pohon.
