- Anggota ASPAI Se-Indonesia Uji Kompetensi Budidaya Anggur
- Mengintip Cara Anak Mengakrabi Kaki Seribu di Pemakaman
- 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer (1925-2025): Petani dan Biografi
- Pagar
- Mau Kuliah Gratis? Beasiswa Bank Indonesia 2025 Telah Dibuka, Ini Syaratnya!
- Air Terjun Weekacura, Hidden Gem di Sumba yang Punya Pesona Memanjakan Mata
- DWP Kemenkop dan LPDB Gelar Sosialisasi Perkoperasian dan Akses Pembiayaan Dana Bergulir di Cirebon
- Menakar Kunci Sukses Swasembada Pangan
- Patrick Pantera Negra Kluivert dan Memori Stadion Ernst Happel
- Pangan, Gizi dan Harapan
Lindungi Hak Nelayan Tradisional dan Pulihkan Ekosistem Teluk Balikpapan
.jpg)
JAKARTA – Sidang gugatan yang diajukan
oleh Kelompok Kerja Pesisir (Pokja Pesisir) terhadap Keputusan Menteri
Perhubungan No KM 54 Tahun 2023 kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) Jakarta Timur. Keputusan tersebut menetapkan lokasi pelabuhan di
perairan Teluk Balikpapan untuk mendukung pembangunan pelabuhan alih-muat antar
kapal (Ship To Ship–STS).
Kebijakan ini menuai penolakan luas karena dianggap
mengancam kehidupan ribuan nelayan tradisional dan merusak ekosistem strategis
Teluk Balikpapan. Dalam sidang ini, dua nelayan teluk Balikpapan, Fadlan dan
Darwis, menyampaikan kesaksian bahwa 10.000 nelayan yang menggantungkan hidup
pada Teluk Balikpapan akan sengsara jika Keputusan Menteri terkait izin STS
tidak dicabut.
Disebutkan, begitu pelabuhan beroperasi maka kapal yang
tongkang memuat batu bara jumlahnya akan melonjak puluhan kali lipat. Selama
ini dengan satu perusahaan saja yang memiliki pelabuhan STS di Teluk
Balikpapan, itu sudah merampas ruang tangkap dan membahayakan keselamatan
nelayan yang sedang melaut.
Baca Lainnya :
- Greenpeace Asia Tenggara Umumkan Transisi Kepemimpinan0
- Belantara Foundation Tanam Pohon di Lahan Gambut Bersama Mitra dan Gapoktanhut Wono Lestari0
- Gunung Wato-wato Ruang Hidup Tersisa: Hentikan Seluruh Proses Perizinan PT Priven Lestari0
- Mengubah Sampah Jadi Berkah0
- Dicari, Periset Ekspedisi Biodiversitas di Kalimantan0
Teluk Balikpapan bukan sekadar tempat mencari nafkah, tetapi
juga menjadi sumber penghidupan berkelanjutan bagi komunitas nelayan. Fadlan
membagikan kisahnya tentang bagaimana kekayaan laut Teluk Balikpapan
memungkinkannya membiayai pendidikan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi.
“Saya tidak punya tabungan atau penghasilan tetap. Ketika
anak saya butuh biaya kuliah, saya tinggal melaut. Dalam satu atau dua hari,
hasil tangkapan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka,” ungkapnya.
Kesaksian ini memperlihatkan bahwa Teluk Balikpapan adalah
sumber daya yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat nelayan
tradisional. Namun, keputusan pemerintah yang membuka ruang bagi pembangunan
pelabuhan STS dinilai hanya menguntungkan segelintir pihak tanpa
mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang meluas.
Perairan Teluk Balikpapan Kawasan Ekologis
Strategis
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Timur, Fathur
Roziqin Fenn, menekankan pentingnya Teluk Balikpapan sebagai kawasan ekologis
strategis. Kawasan ini memiliki peran vital sebagai feeding ground, nursery
ground, dan spawning ground bagi berbagai spesies laut. Selain
itu, ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan berfungsi sebagai benteng alami
yang melindungi pesisir dari abrasi serta dampak krisis iklim.
Namun, pembangunan pelabuhan batu bara yang dimulai sejak
2017 telah menimbulkan ancaman serius terhadap kelangsungan ekosistem dan
kehidupan nelayan. Aktivitas alih muat kapal besar mengganggu area pemijahan
dan pembesaran ikan.
Selain itu, mangrove yang menjadi penyangga utama lingkungan
ikut terdegradasi, mempercepat kerusakan lingkungan. Limbah kapal, termasuk
batu bara yang tercecer, ban bekas, kaleng, dan sampah lainnya, mencemari
perairan Teluk Balikpapan. Hal ini tidak hanya mengotori laut, tetapi juga
merusak alat tangkap ikan nelayan.
“Lalu lintas kapal besar telah menghancurkan ratusan bagang
(alat tangkap ikan tradisional), dan sekarang hanya tersisa satu bagang yang
masih beroperasi,” jelas Fathur. Akibatnya, nelayan terpaksa melaut lebih jauh
dengan biaya operasional yang lebih tinggi, sementara hasil tangkapan terus
menurun.
Keputusan Menteri Perhubungan No KM 54 Tahun 2023 juga
dinilai cacat secara administratif dan bertentangan dengan peraturan daerah.
Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kalimantan Timur telah menetapkan Teluk
Balikpapan sebagai Zona Tangkap Nelayan. Namun, keputusan KM 54 mengabaikan
ketentuan ini dengan menjadikan wilayah yang sama sebagai kawasan pelabuhan.
Mappaselle, perwakilan dari Pokja Pesisir yang merupakan
Lembaga Anggota WALHI di Kalimantan Timur, menjelaskan bahwa dokumen keputusan
tersebut mengandung kesalahan administratif. Surat yang mencantumkan titik
koordinat ruang tangkap nelayan disalahartikan sebagai rekomendasi untuk
pengalihan fungsi ruang laut. Hal ini menunjukkan kurangnya kecermatan dalam
proses pengambilan keputusan.
Selain itu, keputusan ini melanggar tiga asas penting dalam
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), yaitu kepastian hukum,
kecermatan, dan ketelitian. Dampak dari kebijakan ini meluas pada aspek sosial
dan ekonomi. Pendapatan nelayan menjadi tidak menentu, sehingga mereka
kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk biaya pendidikan
anak-anak mereka.
Minimnya pengakuan terhadap kearifan lokal juga menjadi
sorotan. Sistem pengelolaan wilayah berbasis tradisi, yang selama ini menjaga
keseimbangan ekosistem Teluk Balikpapan, terpinggirkan oleh kebijakan
pembangunan yang cenderung berpihak pada industri ekstraktif.
Menurut Fathur, hingga saat ini tidak ada bentuk
pertanggungjawaban dari pihak swasta maupun pemerintah terkait dampak-dampak
yang dirasakan masyarakat. “Kebijakan yang tidak berpihak pada ekosistem dan
masyarakat tradisional hanya akan mempercepat kerusakan lingkungan dan
memperparah ketimpangan sosial di wilayah ini,” tegasnya.
Teluk Balikpapan Sumber Kehidupan yang Harus
Dilindungi
Teluk Balikpapan bukan hanya kawasan perairan yang kaya
keanekaragaman hayati, tetapi juga menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat
pesisir. Melindungi kawasan ini bukan hanya soal keberlanjutan lingkungan,
tetapi juga memastikan keadilan sosial bagi masyarakat yang bergantung pada
kekayaan alamnya.
Adam Kurniawan, Kepala Divisi Publik Engagement WALHI
Nasional, menegaskan bahwa, nelayan adalah penjaga utama ekosistem perairan
Teluk Balikpapan. “Penting bagi kita untuk menghormati dan melindungi ruang
tangkap mereka demi keberlanjutan sumber penghidupan nelayan tradisional.”
Jika kerusakan ini terus berlanjut, Teluk Balikpapan
berisiko kehilangan keanekaragaman hayatinya. Hal ini tidak hanya akan
berdampak pada nelayan, tetapi juga pada keberlanjutan ekologi kawasan tersebut
secara keseluruhan. Limbah batu bara yang selama ini menjadi masalah utama bukan
satu-satunya ancaman.
Keberadaan pelabuhan baru ini akan meningkatkan aktivitas
alih muat kapal yang membawa komoditas lain, menciptakan alur pelayaran yang
lebih masif. Kerusakan Teluk Balikpapan adalah ancaman nyata bagi masa depan
ekosistem dan kehidupan ribuan nelayan tradisional.
“Koalisi Nelayan Teluk Balikpapan mengajak semua pihak untuk
bergabung dalam perjuangan ini dan mendukung upaya untuk melindungi Teluk
Balikpapan,” ujar Adam Kurniawan.
Gugatan terhadap KM 54 Tahun 2023 bukan hanya upaya hukum,
tetapi juga simbol perlawanan masyarakat nelayan terhadap kebijakan negara yang
mengabaikan hak-hak mereka. Teluk Balikpapan harus dilindungi demi
keberlanjutan ekosistem dan keadilan bagi masyarakat lokal.
Melalui gugatan ini, WALHI dan Pokja Pesisir menuntut
pemerintah untuk mencabut Keputusan KM 54 Tahun 2023. Langkah ini penting untuk
melindungi hak nelayan tradisional, memulihkan ekosistem Teluk Balikpapan, dan
menciptakan kebijakan yang lebih berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan
keadilan sosial.
