- OJK Akan Tata Ulang Perijinan Perusahaan Gadai
- Jadi Pembina Kawasan Sungai Cipinang, MIND ID Komitmen Dukung Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan
- Wujudkan Ekonomi Kerakyatan, MIND ID Dorong 10.000 UMK Naik Kelas
- Masyarakat Adat Masukih Tolak Penambangan Emas Ilegal di Hutan Adat Kalimantan Tengah
- Cegah Tragedi Berulang, Kementerian PU Periksa Struktur Bangunan Dua Pesantren Besar di Jatim
- Survei Litbang Kompas: 71,5 Persen Puas dengan Kinerja Kementan
- Pertamina Wujudkan Transformasi Bisnis Berkelanjutan Melalui BBM Ramah Lingkungan
- Merawat Tradisi Penyembuhan Dayak Taboyan: Jaga Keseimbangan Alam, Roh, dan Manusia
- Mantan Bos BEI Minta Purbaya Jelaskan Definisi Saham Gorengan
- Israel Disebut Akan Tarik Mundur Pasukan Sepenuhnya Dari Gaza Dalam 24 Jam
Merawat Tradisi Penyembuhan Dayak Taboyan: Jaga Keseimbangan Alam, Roh, dan Manusia
.jpg)
JAKARTA –Masyarakat Dayak Taboyan di
pedalaman Kalimantan Tengah masih teguh menjaga tradisi penyembuhan yang
diturunkan leluhur mereka, meskipun arus modernisasi sudah mendominasi
pengobatan medis berbasis teknologi. Di wilayah yang akses kesehatannya
terbatas, Balian-sebutan untuk penyembuh tradisional, tetap menjadi sandaran
utama warga dalam menghadapi berbagai penyakit, baik fisik maupun gangguan
jiwa.
Para periset Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PR AK) BRIN
mendiskusikan hal tersebut dalam sesi diskusi “Pengobatan Tradisional
Masyarakat Dayak Taboyan Kalimantan Tengah”, Kamis (9/10). Dalam
paparannya, Setyo Boedi Oetomo membahas eksistensi pengobatan tradisional dayak
dalam konteks masyarakat pedalaman Kalimantan Tengah sub etnis Dayak Tabayon.
Ia menjelaskan bahwa di sana masih melakukan praktik
pengobatan tradisional berbasis kepercayaan lokal Kaharingan. Praktik ini masih
diterapkan di Desa Panaen, Kecamatan Teweh Baru, Kabupaten Barito Utara. Desa
tersebut terletak sekira sembilan jam perjalanan darat dari Palangka Raya,
melewati jalan Trans-Kalimantan yang sebagian rusak akibat aktivitas tambang
dan perkebunan sawit.
Baca Lainnya :
- Tinjau SMA Pradita Dirgantara, AHY: Sekolah Garuda Infrastruktur Masa Depan Indonesia0
- Perkuat Verifikator Hutan Adat, Komitmen Kemenhut Percepat Penetapan Hutan Adat di Indonesia0
- Rumah: Kekuasaan dan Kenangan0
- Bea Cukai Batam Gulung Sindikat Penyelundupan Narkoba, Emas, dan Handphone0
- Masyarakat Adat Tolak Munculnya Organisasi Tongkonan Adat Sang Torayan0
“Pengobatan tradisional di pedalaman masih sangat dibutuhkan
karena keterbatasan fasilitas medis modern,” ujar Boedi. Diimbuhkannya, rumah
sakit terdekat saja berjarak ratusan kilometer, sehingga balian dan bidan
kampung menjadi penolong utama warga.
Boedi lalu menuturkan perjalanan menuju lokasi penelitian di
sana yang penuh tantangan, seperti jalan berlubang, jembatan kayu sederhana,
hingga risiko longsor dan gangguan satwa liar. Namun, sambutan masyarakat yang
ramah membuat tim peneliti mudah diterima.
Untuk dapat diterima masyarakat, tim peneliti menerapkan
pendekatan partisipatif dengan melibatkan peneliti lokal sebagai mediator
budaya. Mereka menginap di rumah tokoh adat dan mengikuti tata cara adat saat
memasuki hutan, termasuk membawa sesajen kecil berupa paku, beras, dan uang
logam sebagai simbol izin kepada roh penjaga alam.
“Pendekatan ini penting agar masyarakat merasa dihormati dan
bersedia berbagi pengetahuan tanpa curiga,” jelasnya. Ia menekankan bahwa
penelitian ini bukan untuk eksploitasi, melainkan pendokumentasian pengetahuan
lokal.
Selanjutnya, Mustolehudin membahas prosesi ritual pengobatan
tradisional Dayak Taboyan. Ia menguraikan bahwa ritual pengobatan tradisional
Dayak Taboyan dipimpin oleh balian bakawat, bentuk lokal dari tradisi
penyembuhan Dayak. Diungkapkannya, peran balian zaman dahulu dapat dilakukan
oleh laki-laki (balian dawo) maupun perempuan (balian dadas).
Ritual biasanya berlangsung selama tiga hari dua malam,
dengan berbagai perlengkapan seperti campuran bahan lokal seperti kelapa tua,
beras serta sesaji berupa telur, janur, bunga, dan patung kecil dari adonan
tepung beras (saradiri) yang menjadi media pemindahan penyakit.
Upacara diiringi musik tradisional berupa kendang dan gong,
menambah suasana magis di sekitar rumah balian. Simbol-simbol seperti tangga
balian dan penegen ringin melambangkan hubungan antara dunia manusia dan roh
leluhur. Setelah ritual selesai, makanan persembahan seperti ayam rebus,
lemang, dan kue tradisional disantap bersama sebagai bagian dari rasa syukur.
“Keberhasilan pengobatan sangat bergantung pada keyakinan
pasien,” jelas Mustolehudin. Dalam kepercayaan Dayak, disebutnya, penyembuhan
terjadi ketika keseimbangan antara manusia dan roh telah dipulihkan.
Menariknya, dalam praktik pengobatan, banyak mantra yang
menggunakan idiom Islam seperti basmalah dan syahadat. Hal ini menunjukkan
adanya sinkretisme antara ajaran Islam dan tradisi Kaharingan. Itu mencerminkan
dinamika spiritual yang lentur dan adaptif.
Lalu, Joko Tri Haryanto membahas eksistensi roh-roh dalam
pengobatan tradisional suku Dayak Tabayon. Dijelaskannya, kepercayaan terhadap
roh dan makhluk halus dalam masyarakat Dayak Taboyan bukan sekadar simbol,
melainkan bagian dari sistem kosmologi yang hidup. Mereka meyakini adanya tiga
lapisan dunia: dunia atas (tempat para dewa), dunia tengah (tempat manusia),
dan dunia bawah (tempat roh jahat atau kunyang).
“Penyakit dalam pandangan mereka bukan hanya persoalan
biologis, tetapi tanda rusaknya relasi manusia dengan alam dan roh penjaga,”
terang Joko. Karena itu, balian berfungsi sebagai mediator spiritual yang
menegosiasikan pemulihan keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib.
Dalam praktik sehari-hari, masyarakat selalu meminta izin
sebelum mengambil hasil hutan atau menebang pohon. Mereka percaya, jika tidak
dilakukan dengan hormat, seseorang bisa terkena “kepohonan”. Maksudnya,
penyakit akibat gangguan roh karena melanggar pantangan adat.
Salah satu contoh yaitu kayu bajakah yang kini dikenal luas
karena berkhasiat sebagai antikanker, juga berakar dari pengetahuan lokal Dayak
Taboyan. Namun, bagi mereka, kayu ini hanya berkhasiat jika diambil dengan izin
dan niat baik, tanpa itu bajakah dianggap tidak memiliki daya penyembuh.
Melalui penelitian ini, BRIN berupaya mendokumentasikan
sekaligus menegaskan bahwa pengobatan tradisional Dayak Taboyan bukan sekadar
warisan budaya, tetapi sistem pengetahuan yang menyatukan tubuh, jiwa, dan
alam.
“Dalam dunia yang semakin modern, pengetahuan lokal seperti
ini penting untuk dipahami, bukan diromantisasi atau dieksploitasi,” tegas
Joko. Karena, tradisi penyembuhan mereka mengajarkan kita tentang keseimbangan,
penghormatan terhadap alam, dan pentingnya spiritualitas dalam menjaga
kesehatan.
Dengan demikian, di tengah keterpencilan geografis dan
tekanan modernisasi, masyarakat Dayak Taboyan tetap menjadi penjaga warisan
pengetahuan leluhur. Ini sebagai sebuah sistem yang bukan hanya menyembuhkan
tubuh, tetapi juga merawat harmoni antara manusia, alam, dan roh. (Sur/
ed:And)
