- AHY: Indonesia Kaya Potensi Ekraf yang Bisa Tingkatkan Perekonomian
- Macan Tutul Jawa Puncak Predator di TN Ujung Kulon
- 5 Produk UMKM yang Punya Potensi Besar Ekspor ke Inggris
- Hub UMK Jakarta Raya Wujud Kontribusi PLN Dalam Pemberdayaan Ekonomi Lokal
- Presiden Prabowo Dorong Swasembada Pangan dan Ekonomi Biru Lewat Perikanan Budidaya
- Manfaatkan Energi Matahari, Petani Kopi Cuan Jutaan
- Kaktus Duri Menyengat, Kulit Glowing Sehat Terlihat!
- Kembalinya Candi Lumbung ke Desa Sengi
- Susu: Sapi dan Sastra
- Liverpool vs Man City, Laga Bergengsi Tim Papan Atas Liga Inggris
Putusan MK Kukuhkan Posisi dan Hak Pelaut Migran sebagai Pekerja Migran
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) pada memutuskan untuk
menolak permohonan uji materi Pasal 4 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Putusan ini
menegaskan hak konstitusionalitas pelaut migran, baik itu awak kapal niaga
maupun awak kapal perikanan, untuk mendapatkan pengakuan hukum dan pelindungan
dari negara sebagai bagian dari pekerja migran Indonesia.
Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa
dalil pemohon mengenai norma Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 18/2017 yang tidak
mengatur kategori Pekerja Migran Indonesia ke dalam dua jenis, yakni pekerja
migran berbasis darat dan laut, tidak beralasan menurut hukum. “Menolak
permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Hakim Ketua MK, Suhartoyo, di
Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024).
Sebagai Pihak Terkait dalam perkara ini, 6 (enam) serikat
pekerja dan 3 (tiga) kelompok masyarakat sipil, yang tergabung dalam Tim
Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI) mengapresiasi putusan MK tersebut. “Kami
mengapresiasi Mahkamah Konstitusi yang telah melakukan pertimbangan yang
menyeluruh dan konklusif sekaligus menunjukkan keberpihakan terhadap
pelindungan hak asasi manusia Pelaut Migran dengan mengukuhkan norma Pasal 4
ayat 1 huruf c UU 18/2017” ujar Kuasa Hukum TAPMI, Harimuddin SH
Baca Lainnya :
- AHY: Keterbukaan Informasi Fondasi Perkuat Demokrasi0
- Pilkada Serentak 2024: Upaya Merajut Sinergi dan Harmonisasi0
- Simak Panduan Cara Mendirikan Koperasi0
- Hizbullah dan Israel Sepakat Gencatan Senjata Selama 60 Hari0
- SBY: Saya Punya Kewajiban Moral Menyukseskan Dua Agenda Besar Presiden Prabowo 0
Sesuai UU PPMI, tata kelola pelindungan pelaut migran harus
menjamin penyelenggaraan pelindungan sejak sebelum, selama, hingga setelah
bekerja. Putusan MK ini memperjelas kedudukan bahwa Pelaut Migran merupakan
Pekerja Migran Indonesia yang telah diatur pada rezim regulasi ketenagakerjaan
UU 18/2017. Selain itu, Putusan MK ini memberi kejelasan kedudukan Pelaut
Migran dalam hukum internasional terutama dalam pelindungan Konvensi PBB
tentang Pelindungan Buruh Migran dan Keluarganya.
“Pun dalam putusan hari ini, MK menandakan berakhirnya
dualisme dan ego sektoral antar kementerian yang mengorbankan dan membiarkan
banyak Pelaut Migran bekerja tanpa pelindungan sejak 2 dekade terakhir,” ujar
Juwarih, Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Dipertahankannya ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI
sejalan dengan norma hukum internasional, diantaranya International Convention
on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their
Families (ICRMW). Ketentuan pelindungan pelaut migran dalam UU PPMI dan
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 menjadi praktik baik dalam
mengharmonisasikan standar-standar pelindungan dalam ICRMW, Work in Fishing
Convention (C-188), dan Maritime Labour Convention.
“Kepastian atas status hukum pelaut migran ini harus
diterjemahkan dalam perumusan dan implementasi kebijakan yang konkret dalam
melindungi pelaut kita di setiap tahapan migrasi,” kata Syofyan, Sekretaris
Jenderal Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI).
Langkah ini meliputi kebijakan di tingkat nasional, daerah
provinsi, daerah kabupaten/kota, dan desa, ratifikasi ILO C-188 dan penguatan
implementasi MLC 2006, serta pengembangan perjanjian bilateral. Kementerian
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia bertanggung jawab melanjutkan momentum ini
dengan memimpin dan/atau mengoordinasikan penetapan dan evaluasi kebijakan di
berbagai tingkatan pemerintahan untuk mewujudkan pelindungan pelaut migran
secara menyeluruh.
“Putusan ini tidak hanya menegaskan pelaut migran sebagai
pekerja migran Indonesia yang dilindungi oleh UU 18/2017, tetapi juga
memperingatkan Pemerintah Indonesia untuk senantiasa melindungi dan memenuhi
hak-hak pelaut migran, termasuk akses terhadap keadilan bagi mereka yang selama
ini mengalami eksploitasi dan pelanggaran HAM dan hak-hak perburuhan,” kata
Ketua Serikat Awak Kapal Perikanan Sulawesi Utara (SAKTI Sulut), Arnon Hiborang
“Selamat buat kawan-kawan pelaut baik kapal niaga maupun
kapal perikanan migran. Semoga dengan Adanya Putusan MK No. 127 ini,
kawan-kawan pelaut migran dapat lebih memperoleh pelindungan dari negara agar
kawan-kawan dapat terhindar dari job fiktif, manning agency nakal maupun
perusahaan-perusahaan nakal pemberi kerja,” kata Ketua Umum Serikat Pekerja
Pelaut Borneo Bersatu, Muhammad Adnan Tianotak.
“Buang ego kalian dengan tetap memegang slogan Pelaut
Pekerja Lex Specialis karena slogan Pekerja Lex Specialis hanyalah bualan
semata. Sekarang Saatnya kita kawal hasil Putusan MK ini, demi Masa depan
Pelaut Indonesia yang lebih bermartabat,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Pelaut Sulawesi Utara
(SPSU), Anwar Abdul Dalewa mengatakan, dengan adanya putusan MK yang menolak
permohonan pemohon dapat menyadarkan para manning agency perekrutan awak kapal,
baik perikanan maupun niaga, agar mengabaikan Surat Izin Usaha Perekrutan dan
Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dan segera beralih ke Surat Izin Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI).
“Dalam hal perizinan kiranya aparat yang berwenang melakukan
sidak keseluruhan manning agency yang belum memiliki SP3MI agar perusahaan
ditutup sampai memiliki SP3MI. Berhubung saat ini sudah ada kementerian yang
menaungi pekerja migran,” kata Anwar Abdul Dalewa.
“Kami mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi yang
menegaskan status pelaut sebagai pekerja migran dan memperkuat kehadiran negara
dalam pelindungan pelaut sebagai pekerja migran Indonesia,” kata Leonard
Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia.
“Putusan ini sangat penting dan strategis yang mempertegas
identitas pekerja perikanan migran. Selanjutnya, pemerintah perlu segera
menindaklanjuti putusan tersebut dengan segera menyusun regulasi dan program
yang berorientasi pada perlindungan pekerja perikanan migran secara holistik,”
kata Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)
Indonesia.
Setali tiga uang, Mas Achmad Santosa, Chief Executive
Officer Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengatakan, Mahkamah
Konstitusi telah menunjukkan keberpihakan terhadap pelindungan HAM pelaut
migran dengan mempertahankan Pasal 4 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (‘UU 18/2017’).
“Dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan standar pelindungan
pelaut migran dalam UU 18/2017 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022
tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal
Perikanan Migran, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia perlu
menyusun langkah aksi yang komprehensif dimulai dari penerbitan aturan teknis,
menyiapkan mekanisme koordinasi antar instansi pemerintahan di berbagai
tingkatan, kerja sama internasional, serta pengawasan penempatan pelaut migran
secara inklusif dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat,” papar dia,
TAPMI terdaftar sebagai Pihak Terkait atas pengujian
(judicial review) materiil Undang-Undang No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan
Pekerja Migran Indonesia di Mahkamah Konstitusi (MK) yang terdaftar dalam
perkara nomor: 127/PUU-XXI/2023.
TAPMI terdiri dari sembilan perwakilan organisasi pelaut dan
organisasi masyarakat sipil. yakni Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia
(SAKTI), Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Sulawesi Utara (SAKTI Sulut),
Serikat Pelaut Sulawesi Utara (SPSU), Pelaut Borneo Bersatu (PBB), Serikat
Pelaut Bulukumba (SPB), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Greenpeace
Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), dan Destructive Fishing
Watch (DFW) Indonesia. (end)