- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
Totalitas Gestianus Sino Bertani di Atas Batu Karang
“KALAU dibiarkan begini terus lahan ini juga akan
begini terus. Tidak bisa menghidupi. Kita harus berpikir bagaimana tanah tempat
kita tinggal itu bisa menghidupi diri kita”. Gestianus Sino mengenang bagaimana
ia memulai usahanya sendirian.
Bermodal ijazah kuliah yang digadaikan, ia membuka lahan
kritis penuh batu karang menjadi ladang pertanian terintegrasi yang subur.
Gestianus atau akrab disapa Gesti adalah sosok petani milenial dari Flores Nusa
Tenggara Timur. Ia sukses membangun dan mengembangkan pertanian organik
terintegrasi di kebun GS Organik miliknya di Penfui Timur, Kabupaten Kupang
NTT. Keberhasilannya mengolah kebun di lahan kritis mampu menepis stigma
tentang petani di NTT.
“Petani itu sering dianggap miskin, bodoh, tidak punya masa
depan. Tetapi kami bisa membuktikan bahwa itu tidak benar. Dengan kerja keras
dan inovasi, pertanian bisa sangat menjanjikan karena semua orang butuh makan,”
kata Gesti. Di lahan yang semula penuh batu karang, Gesti berhasil
mengembangkan metode pertanian organik terintegrasi, yaitu menggabungkan
pertanian, perikanan dan peternakan.
Baca Lainnya :
- Penyederhanaan Regulasi Pupuk Subsidi Masuk Tahap Final dan Segera Diajukan ke Presiden0
- Sawah: Pekerjaan dan Pangan0
- Kebun dari Limbah Galon: Inovasi FTUI dengan Koperasi SAS di Desa Sukajaya0
- Greenpeace Daftarkan Gugatan Intervensi dalam Perkara Kabut Asap di Sumsel0
- Sejarah Asal Mula dan Jenis Tanaman Cabai0
Tahun 2024 ini, Gesti mendapatkan penghargaan KEHATI Award
untuk kategori Agriculture. Dewan juri menganggap Gesti berhasil membangun
pertanian organik dengan segala kekurangan dan kesulitan lahan yang dimiliki.
Gesti juga berjuang untuk mempertahankan pangan di lingkungan yang ekstrim, dan
ia juga kemudian memanfaatkan keanekaragaman pangan lokal di NTT.
Menurut salah satu Juri sektor Agriculture, Rinna Syawal
dari Badan Pangan Nasional, Gesti bukan memanfaatkan tanah yang berbatu, tapi
bahkan bisa dibilang batu yang bertanah. “Bahkan ia sampai harus memecahkan
batu untuk bisa menanam, karena memang areanya sangat kering sampai lebih
banyak batu daripada tanahnya. Pemenang juga menerapkan ekonomi sirkular,” kata
Rinna.
Di kebunnya, Gesti menanam 20 jenis tanaman hortikultura
serta ternak ayam, itik, kambing dan sapi. Dengan mengintegrasikan pertanian
dan peternakan Gesti mengelola pertanian secara berkelanjutan. Kotoran ternak
dan limbah dapur ia proses menjadi pupuk kompos yang tentunya tidak meracuni
sayuran yang akan dijual. Selain itu,
kompos juga tidak merusak tanah sehingga Gesti bisa terus menanam di kebunnya.
Usaha Gesti dimulai dari lahan seluas 1.000 meter persegi
dan kini telah berkembang menjadi 43.000 meter persegi di Kecamatan Kupang
Tengah dan Kecamatan Taebenu. Hasil pertanian GS Organik telah berhasil
menembus pasar premium di Kupang. Restoran, supermarket dan hotel-hotel di
Kupang menjadi pelanggan GS Organik.
Menurut Gesti, awalnya ia bertani untuk memenuhi kebutuhan
sendiri dengan menanam pepaya California lalu mencoba tanam bayam dan kangkung.
Hasilnya melimpah. Gesti pun mulai menawarkan hasil kebunnya ke hotel-hotel di
Kupang.
“Waktu saya mengantarkan bayam dan kangkung ke hotel, saya
sering dicegat orang. Mereka tanya ada kailan, brokoli atau pakchoy? Saya tidak
tahu nama-nama itu, yang biasa disebut oleh orang-orang menengah atas. Akhirnya
saya coba tanam dan saat ini saya sudah punya 20 jenis sayur organik,” kata
Gesti.
Pertanian terintegrasi milik Gesti ini tidak lagi menerapkan
pertanian monokultur. Dengan menanam berbagai jenis tanaman, kesuburan tanah
akan tetap terjaga karena terjadi keseimbangan unsur hara di dalam tanah.
GS Organik terbukti membantu usaha pariwisata di Kupang,
misalnya saja sektor perhotelan. Dulu hotel-hotel di Kupang kebanyakan
mengambil sayuran dari luar daerah seperti dari Surabaya. Mereka memesan
sayuran malam hari dan baru diterbangkan dengan pesawat kargo pagi atau siang
hari. Sayuran datang sudah dalam kondisi layu.
Mendatangkan bahan pangan dari luar daerah ini tentunya
memperpanjang jejak karbon. Keberhasilan GS Organik dalam menyediakan berbagai
bahan pangan sehat ini ikut mengurangi jejak karbon. Gesti dinilai ikut
berkontribusi dalam mengurangi emisi
karbon karena mampu mendekatkan jalur pasokan dengan konsumen.
Bongkar Batu
Totalitas menjadi prinsip hidup Gesti dalam bekerja. Dengan
keyakinan ini, ia tak kenal lelah membongkar batu-batu karang saat hendak
memulai usahanya pada tahun 2011 silam. Menurut Gesti, secara topografi, daerah
NTT terutama di Pulau Timur memiliki topografi lahan tandus dan didominasi batu
karang. “90 persen lahan di NTT berupa batu karang. Siapa yang akan memulai
bertani di sini?” kata Gesti.
Dengan kondisi seperti itu tidak ada yang mau bercocok
tanam. “Orang tidak punya semangat bertani ketika mendengar kata batu karang,”
kata Gesti. Namun ia punya mimpi mengubah hidupnya dengan jalan bertani. Lulusan
Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana ini memilih jalan yang mungkin
tidak populer di kalangan anak muda. Di saat teman-teman kuliahnya menjadi
pegawai negeri sipil (PNS) atau karyawan swasta, Gesti justru memilih membuka
lahan yang nyaris tidak bisa ditanami.
Setelah lulus Gesti menggadaikan ijazahnya demi mendapatkan
pinjaman Rp30 juta. Uang itu ia pakai untuk membeli lahan seluas 1.000 meter
persegi dan alat-alat sederhana untuk menghancurkan batu seperti linggis dan
palu besar. Dengan alat-alat itu Gesti membongkar bebatuan di lahan miliknya.
Selama dua tahun ia mengerjakan semuanya sendirian.
Dari waktu ke waktu, dengan tekun Gesti menyingkirkan
batu-batu agar bisa mendapatkan tanah untuk ditanami. Ia bercerita hanya kuat
menggali sedalam 40 cm saja karena semakin dalam ia menggali, semakin banyak
batu. “Batu-batu besar saya gunakan sebagai pagar,” kata Gesti.
Ia sering dianggap gila karena mengerjakan hal-hal yang
dianggap mustahil dilakukan. Setelah lahan terbebas dari batu, Gesti harus
mendatangkan tanah-tanah dari daerah lain untuk menambah volume tanah. Supaya
tanaman bisa tumbuh subur, Gesti membuat pupuk kompos dari kotoran sapi dan
kambing milik warga sekitar. Ia juga mengolah gulma untuk menambah unsur hara
tanah.
Awalnya Gesti mengaku hanya coba-coba mengolah lahan berbatu
ini. Kondisi hidupnya saat itu sangat pas-pasan. Ia bertani supaya nantinya
bisa memenuhi pangan sendiri. Keputusan Gesti untuk menjadi petani ditentang
oleh ayahnya. “Sudah jauh-jauh dari Flores datang kuliah ke Kupang tapi
pilihnya kerja kebun. Nanti tetangga di Flores bilang apa,” kenang Gesti
tentang ucapan ayahnya. Ayah Gesti seorang PNS di Flores. Ia tidak ingin
anaknya hidup menderita dan miskin karena jadi petani.
Untuk mulai mengolah tanah berbatu karang, Gesti bukan tanpa
bekal. Ia sudah punya pengetahuan dari kampus dan juga mencari referensi dari
banyak tempat, termasuk para petani itu sendiri.
Irigasi Tetes
Tantangan lain yang dihadapi Gesti adalah menyediakan air
agar tanamannya tetap tumbuh. Awalnya ia mendatangkan truk-truk tangki air
untuk menyirami tanamannya. Ia kemudian mengumpulkan uang untuk membuat sumur
bor. Sejak dibuat tahun 2015, menurut Gesti, sumur bor tidak pernah kering.
Gesti juga menerapkan sistem irigasi tetes untuk menghemat air.
Irigasi tetes adalah metode irigasi yang menghemat air dan
pupuk dengan membiarkan air menetes pelan-pelan ke akar tanaman. Selesai
mengolah lahan selama dua tahun, tanaman pertama yang ditanam adalah papaya
California. Ia memilih papaya karena banyak orang Kupang suka pepaya.
Gestianus punya impian suatu saat nanti anak-anak muda bisa
kembali bertani. Namun mereka harus diyakinkan dengan bukti-bukti bahwa
pertanian di NTT itu menjanjikan. “Kalau tidak ada contoh, bagaimana bisa ajak
yang lain buat jadi petani,” ungkapnya.
Untuk menurunkan ilmunya, Gesti aktif melatih generasi muda
melalui program magang yang melibatkan sekitar 200 orang setiap tahunnya.
Program magang ini untuk umum termasuk mahasiswa. Semangat berbagi pengetahuan
ini juga disalurkan Gesti dengan mendirikan Pusat Pelatihan Pertanian dan
Pedesaan Swadaya (P4S) GS Organik yang berfokus membangun ketahanan pangan di
NTT.
Gesti menerapkan tiga prinsip dalam mengelola GS Organik,
yaitu secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Secara ekonomi GS organic dikelola
agar bisa mendatangkan kemakmuran bagi petani, sedangkan secara sosial GS
Organik harus mampu mendorong kemajuan sektor pertanian dan ketahanan pangan di
NTT. Secara lingkungan GS Organik
merawat tanah agar tetap sehat tanpa pupuk kimia.
Menurut Gesti, di NTT ada 1.3 juta ha lahan yang kosong.
Dari 1.3 juta ha itu dipakai 1.000 hektar misalnya, sudah bisa menghidupi 5-6
orang. “Coba bayangkan kalua 1,3 juta ha itu dipakai semua untuk pertanian,
berapa orang yang bisa kita sejahterakan?” pungkas Gesti.