Wisuda dan Ijazah

By PorosBumi 03 Mei 2025, 05:47:07 WIB Tilikan
Wisuda dan Ijazah

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

Pada suatu masa, ruang tamu menjadi galeri. Ruang tamu digunakan untuk duduk bareng dalam percakapan antara tuan rumah dan para tamu. Ruang memiliki benda-benda dan suasana. Konon, tuan rumah menginginkan muncul kesan-kesan saat tamu-tamu datang dan menggerakkan mata. Di ruang tamu, kemauan memandang menghasilkan tebakan, imajinasi, dan penasaran.

Di dinding, tamu melihat foto-foto. Ia memandangi foto pernikahan. Ada pula foto piknik keluarga. Foto wisuda-wisuda biasa ikut menjadikan ruang tamu sebagai galeri. Dulu, foto wisuda dipajang di dinding menampilkan sosok berbusana hitam dan bertopi aneh. Foto itu dokumentasi wisuda sarjana.

Sosok pernah kuliah dan lulus mendapat gelar (akademik). Pembuatan acara wisuda berpamrih selebrasi akademik memicu penampilan diri tak seperti hari-hari biasa. Wisuda memerlukan pakaian istimewa. Pada saat berfoto, sosok sarjana kadang membawa ijazah atau setangkai bunga.

Dinding di ruang tamu mengabarkan derajat keilmuan keluarga. Foto wisuda-wisuda memberi gengsi. Tamu tak cuma melihat foto wisuda khas universitas. Ia kadang melihat foto anak dan remaja dalam acara wisuda. Tamu lekas paham. Anak dan remaja tak betah menunggu untuk kuliah dan menjadi sarjana. Pada saat masih murid di SD, SMP, atau SMA, mereka pun ingin berulang mengikuti wisuda. Konon, ada wisuda cap akademik.

Ada pula wisuda dalam kepentingan hafalan Alquran. Pilihan tempat wisuda: aula, hotel, gedung pertemuan, dan lain-lain. Sekian tahun lalu, kebiasaan wisuda sejak SD sampai perguruan tinggi menghasilkan foto-foto dipamerkan di dinding ruang tamu. Pada masa berbeda, pameran foto wisuda beredar di gawai.

Pada 2007, penulis berhasil merampungkan penulisan skripsi. Ujian diadakan dengan menghasilkan nilai tinggi. Pihak universitas mengeluarkan pengumuman bertema wisuda. Penulis mengenang masa lalu dengan malu dan sedih. Ia mulai gelisah mengenai wisuda. Urusan wisuda mengingatkan uang, pakaian, foto, dan lain-lain.

Sejak awal, ia berjanji tak mau mendatangi acara wisuda mengenakan pakaian aneh. Ia memastikan bakal menjadi sosok lucu dan jelek. Pertimbangan lain berkaitan mendatangkan keluarga. Ia memilih keluarga tetap di rumah atau menunaikan pekerjaan tanpa harus libur demi wisuda.

Hari-hari menjelang tanggal wisuda, ia tetap berjualan buku bekas dan kaset (pita) bekas di pelbagai tempat. Skripsi selesai tak perlu disambung ilusi-ilusi akademik. Ia memilih mencari rezeki dan memikirkan pelunasan utang selama kuliah. Bertambah hari, bertambah pasti, ia tak mau ikut wisuda.  Hari dinantikan ribuan orang itu tiba. Teman-teman membuat kesibukan sejak pagi, terutama kaum perempuan. Mereka harus ke salon dulu agar penampilan instimewa. Berdandan pun memerlukan ongkos.

Pagi itu ia berada di dapur. Di situ, ia menemani ibu sedang memasak. Ibu sudah tua dan buta huruf. Dua orang dalam obrolan ringan. Ibu tak pernah mengetahui hari itu acara wisuda. Si anak sengaja membuat obrolan-obrolan ke sembarang tema agar terhindar dari tema wisuda.

Hari berlalu secara sederhana. Kini, penulis mengenang hari itu percakapan bersama ibu, bukan berpakaian aneh dalam acara wisuda berisi pidato, tepuk tangan, pemotretan, hiburan, dan lain-lain. Ia bahagia berada di dapur. Hal terpenting telah terwujud: kuliah sampai selesai. Dulu, ia menjanjikan itu kepada ibu. Wisuda tak ada dalam janji.

Sekian hari lalu, penulis mendapat rekaman debat pejabat dan remaja di Jawa Barat. Debat berkaitan acara perpisahan atau wisuda bagi anak dan remaja berada di jenjang SD, SMP, dan SMA. Penulis malas mengikuti rekaman debat. Ia lekas berpikiran murid-murid diajak mengalami wisuda menggunakan anggaran besar menghasilkan foto-foto apik. Konon, orangtua turut sibuk dan mendukung bila anak dan remaja berulang ikut wisuda dalam pelbagai kepentingan.

Si remaja saat berdebat mendapat dukungan ibu. Penulis enggan turut campur. Debat itu tontonan bagi ribuan atau jutaan orang. Penulis memilih membuka kenangan saat duduk bareng ibu di dapur. Wisuda tak penting. Memasak di dapur itu penting. Puluhan menit mendengar sambutan atau pidato itu sia-sia mendingan bercakap bareng ibu. Percakapan di dapur menjadi kenangan indah dan berhikmah. Pilihan berperistiwa tanpa foto. Dinding di ruang tamu tak pernah terpajang foto wisuda.

Sekian bulan lalu, orang-orang terus meributkan ijazah mantan presiden. Penulis menghindari debat dan mengurangi penasaran. Ia malah membuka buku tebal berjudul Hidup Tanpa Ijazah. Buku mengisahkan biografi Ajip Rosidi. Pengarang itu berani berdebat tentang ujian di SMA. Ia berpegangan ilmu dan etika.

Pilihan dibuat tanpa sesalan. Ajip Rosidi memilih tak melanjutkan babak-babak kelulusan di SMA. Ia berani mengalami hari-hari tanpa ijazah. Penulis pernah tertawa mengimajinasikan keberanian Ajip Rosidi berhadapan dengan pihak-pihak pemilik otoritas di institusi pendidikan. 

Pada suatu masa, Ajip Rosidi menjadi pengarang tenar. Ia pun menjadi pengajar di Jepang. Sosok penting dan berpengaruh dalam arus kesusastraan di Indonesia. Penulis mengagumi meski tak mengalami babak-babak hidup menegangkan seperti Ajip Rosidi. Ia cuma berani tak menggunakan ijazah untuk mencari pekerjaan. Ijazah diperoleh di universitas tetap menganggur sampai sekarang. Ia memilih berdagang buku bekas, bekerja sebagai tukang sapu, dan membuat tulisan serabutan.

Kini, penulis makin bingung memikirkan “kesaktian” ijazah. Orang-orang terus “mengeramatkan” ijazah dalam pekerjaan, kekuasaan, bisnis, asmara, dan lain-lain. Di Indonesia, ijazah terbukti menentukan nasib bila ingin menjadi penguasa atau pejabat. Di jagat pekerjaan, ijazah-ijazah menjadikan orang memiliki jalan meraih sukses atau terjebak. Konon, di Jawa Timur ada gegeran penahanan ijazah oleh pengusaha mencipta perseteruan dengan pejabat. Ijazah memicu drama-drama ruwet.

Penulis cuma termangu gagal mengetahui “keampuhan” ijazah. Hari-hari berganti, penulis tak pernah mengartikan ijazah dalam lakon politik atau raihan sukses. Konsekuensi harus diterima berbarengan menjadi tua: malu memiliki gelar sarjana dan mustahil menjadi pejabat. Begitu




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment