Belajar Ketahanan Pangan dari Kampung Adat Cireundeu

By PorosBumi 16 Des 2024, 08:20:00 WIB Pangan
Belajar Ketahanan Pangan dari Kampung Adat Cireundeu

Keterangan Gambar : Warga menyelesaikan produksi tepung yang terbuat dari singkong di Kampung Adat Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat, Selasa (21/2/2023). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi


SEBUAH papan petunjuk bertuliskan "Bale", "Masjid", dan "Sentra Oleh-oleh" langsung menyergap mata melengkapi sebuah papan berlatar hitam dengan gambar menampilkan rute jalan, gambar gunung, dan lainnya dengan tulisan berhuruf kapital pada bagian atas "Peta Wisatawan Kampung Cireundeu".

Sebelumnya ucapan selamat datang dalam bahasa Sunda yang ditampilkan pada sebuah papan kayu besar bersama monumen Meriam Sapu Jagat sebagai simbol Satria Pengawal Bumi Parahyangan siap menyambut siapa saja yang memasuki Cireundeu, kampung adat yang berada di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat.

Mengutip website resmi Pemerintah Kota (Pemkot) Cimahi disebutkan bahwa Cireundeu berasal dari nama pohon reundeu yang memiliki kandungan untuk bahan obat herbal dan banyak tumbuh di tempat ini. Kampung Cireundeu berada pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kampung ini telah ada sejak tahun 1700-an dan berdiri di atas lahan seluas 64 hektare (ha) terdiri dari 60 ha sebagai kawasan pertanian dan 4 ha lainnya merupakan permukiman warga.

Baca Lainnya :

Di kampung ini juga masih terdapat hutan adat seluas 80 ha yang selalu dijaga kelestariannya dan menjadi penampung air alami bagi kampung yang berpenduduk 1.200 jiwa atau sekitar 367 kepala keluarga (KK) terdiri dari 650 laki-laki dan 550 perempuan dan tersebar di 3 Rukun Tetangga (RT).

Setelah 20 meter melewati gerbang masuk, kita langsung disambut bangunan berbahan kayu dan bambu yakni Saung Baraya dan Bale Saresehan yang biasa digunakan warga Cireundeu sebagai tempat pertemuan atau pagelaran kesenian. Luas kedua bangunan sekitar 200 meter persegi. Jika bulan Sura, kedua bale ini dipakai untuk menggelar pertunjukan wayang golek sebagai bentuk syukur kepada Sang Pecipta atas semua yang telah diterima.

Rumah-rumah di sini memiliki pintu samping yang harus menghadap ke arah timur dengan tujuan agar cahaya matahari masuk ke bumi. Penduduk Cireundeu menganut kepercayaan Sunda Wiwitan seperti halnya masyarakat Suku Baduy, Kasepuhan Ciptagelar, Cisolok, dan Kampung Naga. Masyarakat Cireundeu memiliki kesenian gondang, karinding, serta angklung buncis yang biasanya ditampilkan dalam ritual upacara adat tertentu seperti upacara 1 Sura atau sewaktu menyambut tamu.

Mereka juga masih memegang teguh adat istiadat dan budaya leluhur. Salah satunya adalah pesan yang berbunyi teu boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat. Artinya, tidak punya sawah asalkan punya padi, tidak punya padi asalkan punya beras, tidak punya beras asalkan masak nasi, tidak punya nasi asalkan makan, tidak makan asalkan kuat.

Petuah leluhur ini membuka sedikit rahasia yang dipegang masyarakat yaitu tidak mengonsumsi nasi. Sebagai gantinya, mereka makan rasi yaitu sejenis nasi yang diolah dari singkong (Manihot esculenta crantz) atau ketela pohon. Masyarakat Kampung Cireundeu telah bertahan selama satu abad tanpa nasi. Sebagai gantinya, mereka mengonsumsi singkong sebagai ajaran warisan leluhur.

Mengutip Badan Pangan Nasioal, disebutkan bahwa singkong memiliki kandungan serat yang tinggi dan rendah gula sehingga dapat mengurangi risiko diabetes. Serat adalah komponen penting dalam mengatur penyerapan gula dan memperlambat peningkatan kadar glukosa dalam darah setelah konsumsi makanan. Dalam 100 gram singkong rebus ada sekitar 2,3 gram serat sedangkan pada 100 gram nasi putih hanya mengandung sekitar 0,4 gram serat.

Itulah sebabnya mengonsumsi 1,5 potong singkong setara dengan makan 1 porsi nasi. Rasa kenyang dari konsumsi ketela pohon ini bertahan lebih lama dibandingkan dengan nasi. Sehingga masyarakat adat cukup makan 2 kali sehari saja. Secara ekonomi, mereka tidak terpengaruh oleh gejolak fluktuasi atau naik-turunnya harga beras. Apalagi singkong bisa ditanam sepanjang tahun dan tidak bergantung kepada cuaca seperti halnya tanaman padi.

Pemilihan singkong sebagai bahan konsumsi dasar masyarakat Cireundeu bukan baru sekarang ini saja karena mereka sudah memulainya sejak 1924 silam alias 1 abad lalu. Kemampuan masyarakat setempat untuk bertahan dalam pola konsumsi yang tidak biasa di tengah kebiasaan masyarakat umum yang masih bergantung kepada nasi bukan tanpa sebab. Ada sebuah kisah dibalik kearifan lokal yang masih dipertahankan itu dan memberi inspirasi bagi banyak orang.

Semua dimulai pada 1918 tatkala Kampung Cireundeu mengalami masa-masa sulit dalam menghadapi kekeringan dan membuat terjadinya paceklik pangan terutama tanaman padi yang tidak dapat tumbuh. Singkong kemudian menjadi pilihan masyarakat setempat sebagai makanan pokok. Lewat sebuah kesepakatan adat pada 1924, seluruh penduduk kampung akhirnya bermufakat untuk menjadikan makan nasi sebagai pantangan dan sebagai gantinya adalah singkong.

Masyarakat adat mengolah singkong dengan cara digiling, diendapkan, dan disaring menjadi aci atau sagu. Ampas dari olahan sagu yang dikeringkan juga dibuat men­jadi rasi. Bukan itu saja karena singkong ikut diolah menjadi berbagai camilan seperti opak, egg roll, cireng, simping, bolu, bahkan dendeng kulit singkong yang dikemas dan dijual sebagai oleh-oleh.

Tidak hanya sebagai makanan, singkong kemudian menjadi simbol ketahanan dan kemandirian masyarakat Cireundeu. Singkong menjadi penyelamat pangan pada era tersebut. Tradisi itu terus berlangsung hingga sekarang meski jumlah penduduk yang mengonsumsinya tak lagi mencakup seluruh kampung. Sepintas, mengonsumsi singkong dianggap kampungan dan menurunkan derajat seseorang meskipun seiring berjalan waktu pandangan tadi perlahan mulai berubah.

Banyak orang mulai tertarik dengan keunikan pola konsumsi yang dikembangkan oleh masyarakat Cireundeu dan berkonsep ketahanan pangan. Mereka datang ke Cireundeu untuk belajar tentang konsep tersebut yang dipertahankan hingga 1 abad lamanya. Menariknya lagi, konsep ketahanan pangan ala Cireudeu ini dibarengi prinsip kesadaran untuk tetap menjaga keseimbangan hidup dengan alam yang diajarkan dan diwariskan secara adat.

Lantaran banyaknya pihak seperti pelajar, mahasiswa, peneliti, masyarakat umum hingga wisatawan mancanegara yang ingin belajar konsep ketahanan pangan membuat tetua adat sepakat pada 2010 menjadikan Kampung Cireundeu sebagai destinasi dan desa wisata. Masyarakatnya begitu bangga mengenalkan kepada pihak luar mengenai kemandirian pangan yang mereka jalankan dari generasi ke generasi.

Kemandirian itu pula yang membuat mereka tidak khawatir atau alergi untuk membuka diri kepada pihak luar. Buktinya, perlengkapan elektronik seperti televisi atau ponsel sudah banyak dimiliki oleh warga kampung dan menjadi pemandangan lumrah. Begitu pula bentuk bangunan rumah yang banyak bertembok semen dan bata dengan atap genteng meski masih ada pula yang berdinding bambu dan beratapkan ijuk.

Abah Widi selaku ais pangampih atau kepala adat Kampung Cireundeu berharap ilmu tentang ketahanan pangan yang ada di Cireundeu dapat disebarkan ke daerah-daerah lain, agar masyarakat Indonesia tidak terus bergantung pada beras impor, melainkan kembali memanfaatkan potensi lokal yang tersedia di sekitar mereka. Pria 60 tahun ini seperti dikutip dari Antara berkeinginan agar tidak ada lagi orang yang berbicara kelaparan karena tergantung dengan beras.

Kisah ketahanan pangan dari Kampung Cireundeu ini berbuah manis sewaktu pemerintah pusat serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jabar menetapkan bahwa pola mengonsumsi rasi itu bersama tradisi Tutup Taun Ngemban Taun 1 Sura sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Keputusan itu diterbitkan setelah melalui berbagai kajian oleh tiga akademisi yang jadi bagian dari tim WBTB tersebut.

Kepala Bidang Kebudayaan Disparbud Jawa Barat Febiyani meminta masyarakat setempat terus menjaga tradisi itu seperti saat ini telah mencapai 1 abad lamanya. "Dua tradisi ini harus diturunkan ke anak keturunan kita, khususnya di Cireundeu. Wajib dirawat dan dilestarikan. Jadi setelah ditetapkan, ada tanggung jawab di baliknya," kata Febiyani.

Kampung Cireundeu telah mengajarkan banyak hal, terutama tentang pentingnya ketahanan pangan dan bagaimana sebuah komunitas dapat bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Semoga kita tetap bisa menjaga keberlangsungan alam dengan memanfaatkannya sesuai kebutuhan serta tidak merusaknya.

 

Penulis: Anton Setiawan

Redaktur: Ratna Nuraini/Taofiq Rauf

Sumber: Indonesia.go.id




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment