Garis yang Mencari Ibu

By PorosBumi 12 Des 2025, 08:00:07 WIB Tilikan
Garis yang Mencari Ibu

Dwi Sutarjantono

Pemerhati Seni dan Gaya Hidup, Sekretaris Umum Satupena Jakarta

 

Baca Lainnya :

DALAM tradisi seni rupa, drawing sering dianggap sebagai medan awal perang sekaligus medan tersulit. Ia tidak memberi tempat bersembunyi. Setiap garis adalah keputusan yang tak dapat ditarik kembali. Setiap goresan adalah konsekuensi dari keberanian untuk jujur. Karya-karya Bambang Asrini Wijanarko membuktikannya dengan terang dan gelap yang tak berpura-pura.

Melihat karyanya, kita seakan dihadapkan pada kejujuran yang tidak bisa dinegosiasikan. Kejujuran yang lahir dari pertempuran batin, dari dunia yang kadang terlalu keras, dan dari luka-luka yang tidak pernah tertutup rapat. Pada pandangan pertama, saya menemukan gema warisan besar para perupa dunia. Ketegangan anatomis ala Egon Schiele pada bentuk tangan, lirihnya kelam Käthe Kollwitz, juga bayangan pekat yang mengingatkan pada fase-fase gelap Goya.


Rasanya apa yang ditawarkan Bambang bahkan melampaui rujukan sejarah itu. Ia membangun bahasanya sendiri. Bahasa garis yang seperti catatan harian, seperti napas yang berat, seperti langkah yang terus bergerak meski tak selalu tahu ke mana harus pulang.

Garis-garisnya tidak pernah lurus sepenuhnya. Selalu ada getaran, ketidaksempurnaan, dan patahan kecil yang justru memberi nyawa. Dalam hitam-putih karya-karyanya, dua dunia saling menantang: putih sebagai ruang sunyi tempat ingatan mengendap, dan hitam sebagai gelap yang mengekalkan duka.

Jika muncul warna lain seperti merah, sesedikit apa pun itu, ia menyentak seperti detak jantung terakhir dari sesuatu yang ingin dipertahankan. Merah yang tidak menuntut perhatian, tetapi justru menjadi pusat gravitasi emosional dalam setiap helai gambar. 

Merahnya Bambang adalah sisa-sisa luka.

Merah itu adalah sisa-sisa doa.

Merah itu adalah jejak seseorang yang hilang, namun tak pernah pergi dari hatinya.

Untuk memahami sepenuhnya apa yang kita lihat, kita perlu menoleh pada sosok manusia di balik karya. Bambang: kurator, seniman, sahabat yang saya kenal bukan hanya melalui karyanya, tetapi melalui ketegarannya menahan badai hidup yang tidak selalu adil baginya.

Dalam setiap obrolan kami, saya menyaksikan sisi lain dirinya: sisi yang tidak banyak orang tahu. Ia tampak kokoh di luar, namun membawa perang sunyi di dalam. Masalah-masalah pribadi, pergulatan identitas, perjalanan hidup yang berliku. Semua itu adalah palung yang berkali-kali menariknya jatuh. Namun di tengah segala itu ada satu hal yang tidak pernah berubah: ibunya.

Cinta seorang anak kepada ibunya sering hadir dalam bentuk yang tidak puitis, tetapi pada diri Bambang, cinta itu menjadi poros hidupnya. Ia selalu menempatkan ibunya di atas segalanya, bahkan di atas dirinya sendiri. Jika boleh disuarakan, barangkali ini sumpah yang selama ini ia pegang:

“Biarlah aku yang berdarah-darah. Asal jangan Ibuku.”


Dan garis-garis pada kertas ini: hitam, putih, (dan merah) seolah mewujudkan kalimatnya. Seolah ia menggambar dirinya sendiri yang retak, remuk, dan terluka, demi menjaga seseorang yang menjadi cahaya satu-satunya. Dalam beberapa karya, bentuk-bentuk yang mengingatkan pada rahim atau organ kewanitaan muncul secara intuitif seperti simbol asal kehidupan, asal cinta, dan asal kehilangan.

Pada titik tertentu, pameran bertajuk Motherland ini adalah bentuk cintanya pada sang ibu yang meresap menjadi cinta pada tanah air: Ibu Pertiwi. Situasi negeri ini, dengan segala luka yang belum sembuh, seperti bercermin pada hatinya sendiri.

Saat ibunya wafat, dunia Bambang runtuh dalam senyap. Bukan kehancuran yang berteriak, tetapi kehancuran yang diam, mencekik, dan merampas arah. Saya melihat sendiri bagaimana separuh jiwanya seperti hilang bahkan mungkin lebih dari separuh. Ia berjalan, bekerja, menggambar… tetapi selalu ada ruang kosong di balik setiap gerakannya. Ruang kosong yang kini menjelma menjadi bagian dari estetika karyanya.

Maka, saya membaca pameran ini bukan sekadar rangkaian drawing. Ia adalah ritual berduka.

Ia adalah surat yang ditulis dengan garis, bukan kata. Ia adalah cara seorang anak kembali ke pangkuan ibunya, meski hanya di dalam ingatan.

Perhatikan tiap goresan pensil, bambu, atau tinta, ada getaran kehilangan. Ada bayangan tubuh yang seakan hendak lenyap. Ada wajah tanpa kontur, seolah waktu telah menggerusnya. Ada merah yang hadir seperti tetesan darah, tapi juga seperti bibir yang mendoakan seseorang yang dicintai dengan seluruh hidupnya.


Melihat drawing-drawing ini, kita tidak hanya membaca karya seni. Kita membaca hidup seseorang. Kita membaca cinta yang tidak pernah surut, meski dunia merenggut orang yang menjadi pusatnya.

Pameran ini, pada akhirnya, adalah persembahan. Persembahan seorang anak kepada ibunya. Persembahan seorang seniman kepada luka yang membentuknya. Persembahan seorang manusia kepada hal-hal yang tidak sempat ia ucapkan. Persembahan seorang anak negeri kepada Ibu Pertiwi.

Bambang mengingatkan kita bahwa garis pada kertas dapat menjadi jembatan antara yang hidup dan yang telah pergi. Bahwa seni bisa menjadi rumah ketika dunia tidak lagi ramah. Bahwa kehilangan, betapapun menyakitkan, dapat melahirkan keindahan yang membuat kita mengerti sedikit lebih banyak tentang apa artinya menjadi manusia.

Dalam keheningan karya-karya Bambang ini, mari kita dengarkan suara yang ia sisakan. Suara yang mungkin ia tujukan kepada ibunya, dan mungkin juga kepada kita dan ibu kita, atau kepada negeri ini: Ibu Pertiwi.

Singkat kata pameran ini menyadarkan kita bahwa cinta tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah bentuk: menjadi garis, menjadi bayang, menjadi ingatan.

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment