- Mendes Buka Serentak 1.000 Musdesus, Susun Proposal Bisnis Untuk Pengajuan Modal ke Himbara
- Indonesia Lumbung Pangan Dunia: Bukan Hanya Beras, Bahan Pokok Lainnya Juga Sudah Tercukupi
- Masyarakat Adat Suku Taa Mendesak Perusahaan Sawit Tinggalkan Wilayah Adat di Sulawesi Tengah
- Seminar Nasional di UNY Bahas Pembaruan Hukum Acara Pidana
- Menteri Kehutanan Bahas Konservasi Badak dan Ekowisata dengan Edge Group dan Dr Niall McCann
- Strategi Bijak Berinvestasi Emas
- LindungiHutan Perkuat Peran Petani dalam Program Penghijauan dan Ketahanan Iklim
- Dari Binus International ke Brisbane: Perjalanan Fannisa Widya Puteri Kuliah Double Degree
- Tonggak Sejarah Medis Tanah Air: Robot Bedah Otak Pertama di Indonesia Hadir di Siloam Hospitals
- 5 Dampak Tak Terduga yang Datang Kalau Konten Kamu Viral
Masyarakat Adat Suka Menjaga Tradisi Menghadapi Perubahan Iklim
.jpg)
SUHU udara di komunitas Masyarakat
Adat Suka, wilayah pegunungan Tombolopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan
melonjak panas. Biasanya stabil pada kisaran 16 – 23 derajat celcius, tapi kini
lebih panas saat kemarau. Curah hujan pun lebih tinggi dari sebelumnya.
Perubahan musim yang tidak menentu ini membuat Masyarakat
Adat yang tinggal di wilayah pegunungan Tombolopao kesulitan menentukan waktu
yang tepat untuk bercocok tanam di ladang. Komunitas Masyarakat Adat yang
dihuni 669 kepala keluarga atau 3.028 jiwa ini juga menghadapi tantangan baru :
perubahan iklim yang semakin nyata.
Ali Nompa, tetua komunitas Masyarakat Adat Suka
menceritakan pengalaman masa kecilnya saat tinggal di kampung yang ada
sungainya. Dikatakannya, sungai di kampungnya dulu masih jernih mengalir
tenang, airnya untuk minum dan tempat mandi, sekaligus bermain.
Baca Lainnya :
- 6 Kontainer Keranjang Serat Alam Produk UMKM Kebumen Tembus Pasar New York 0
- KEHATI Rilis Buku Putih Advokasi Keanekaragaman Hayati Indonesia0
- Pembangunan Konektivitas Bengkulu–Enggano Lampaui Target0
- Jalur Pendakian Gunung Bawakaraeng Kini Dilengkapi Musola, Toilet, dan Bank Sampah0
- Belantara Foundation Bersama Mitra dari Jepang Kembali Tanam Pohon di Riau0
“Dulu, sungai tidak pernah meluap sebesar sekarang. Airnya
juga jernih. Sekarang, setiap hujan deras, airnya cepat naik merendam sawah.
Kalau kemarau, airnya keruh sekali,” ujarnya di akhir Agustus 2025 lalu.
Pria berusia 65 tahun itu menuturkan fenomena banjir bandang
dan kekeringan yang silih berganti semakin sering dirasakan oleh Masyarakat
Adat Suka. Sawah yang menjadi sumber pangan kerap rusak akibat terendam air,
sementara di musim kemarau, tanaman tidak tumbuh subur karena kekurangan air.
Pengetahuan Leluhur
Meski tantangan kian besar, komunitas Masyarakat Adat Suka
tetap setia pada pengetahuan leluhur dan mempraktikkan sistem pengelolaan tanah
adat Balitaung —pembagian waktu garapan lahan—untuk
menyesuaikan pola tanam dengan musim yang makin tidak menentu.
Hutan adat atau ompo adalah kawasan hutan
yang dikeramatkan, di mana pohon-pohon besar dibiarkan tumbuh hingga tua. Kayu
hanya boleh ditebang untuk kebutuhan penting, seperti membangun rumah, itu pun
harus melalui ritual adat angngolo dan izin pemangku adat.
Menjaga ompo berarti menjaga sumber mata air, sekaligus
mencegah banjir dan kekeringan yang makin sering terjadi akibat perubahan
iklim.
Basri, pemuda adat berusia 24 tahun mengaku akhir-akhir ini
merasakan langsung perubahan iklim di kampungnya. Perubahan suhu udara tidak
menentu. Terkadang panas, nanti tiba-tiba hujan. Basri menerangkan perubahan
suhu yang tidak menentu ini berdampak terhadap kehidupan Masyarakat Adat dan
lingkungan sekitar.
“Masyarakat Adat dulu minumnya dari air sungai. Air sungai
dulu jernih, dasar sungainya kelihatan. Sekarang keruh, sering bawa ranting dan
sampah banjir,” ujarnya. Namun, Basri percaya apabila kita menjaga hutan adat
maka hal itu bisa mencegah bencana yang disebabkan perubahan iklim tadi.
Seorang pemuda berdiri ditengah hutan adat
yang dikeramatkan oleh Masyarakat Adat Suka di Kabupaten Gowa, Sulawesi
Selatan.Dokumentasi AMAN
Menjaga Tradisi Sebagai Benteng Ekologi
Basri mengatakan ritual adat tidak selalu bermakna
spiritual, tetapi juga menjadi mekanisme sosial untuk menjaga hubungan harmonis
dengan alam.
Basri mencontohkan ritual sorong bilulu dan nganre
salama, kedua ritual ini selalu mengingatkan Masyarakat Adat bahwa
kelestarian hutan, tanah, dan air adalah warisan yang wajib dijaga. “Identitas
ini menjadi modal sosial untuk menghadapi krisis ekologi,” terangnya.
Basri berharap wilayah komunitas Masyarakat Adat Suka diakui
oleh negara. Dengan demikian, imbuhnya, Masyarakat Adat bisa lebih kuat
melindungi hutan dan sungai dari ancaman luar. “Kalau hutan hilang, kita semua
bisa ikut hilang,” ujarnya. (sahrul gunawan)
