- Peduli Kesehatan, Anggota Sevenist Club Periksa Gula Darah dan Gelar Seminar Kesehatan Jantung
- Kemenag Karanganyar Borong Juara di Ajang Penyuluh Agama Islam Award Jateng 2025
- Muhammad Sirod: Penundaan Tarif AS-China Jeda Strategis, Bukan Damai Permanen
- Taman Bumi Meratus dan Kebumen bukan Sekadar Warisan Alam dan Budaya
- AHY: Pembangunan Infrastruktur Perkuat Pertahanan Negara
- Anak Perusahaan Sinarmas Group Kembali Gusur Tanah Petani di Tebo
- Wamentan dan Rektor IPB Luncurkan Benih Paten! Produktivitas Capai 12 Ton Per Hektare
- Belantara Foundation: Strategi Terpadu Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Sebuah Keharusan
- SBY: Krisis Iklim dan Krisis Lingkungan Itu Nyata
- Kembangkan Energi Transisi, Pertamina Dorong Kesejahteraan 408 Petani di Desa Uma Palak
Nelayan Migran Indonesia Gugat Raksasa Seafood AS atas Dugaan Kerja Paksa
.jpg)
JAKARTA – Greenpeace Indonesia dan
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyatakan solidaritas serta dukungan
penuh terhadap sekelompok nelayan migran Indonesia yang mengajukan gugatan
terhadap perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Bumble Bee Foods, pada Rabu, 12
Maret 2025, pagi waktu setempat. Gugatan ini berdasarkan pada Undang-Undang
tentang Reautorisasi Pelindungan Korban Perdagangan Manusia (Trafficking
Victims Protection Reauthorization Act/TVPRA).
Gugatan ini menyoroti dugaan kerja paksa dan perdagangan
orang yang dialami para penggugat, yang terjadi selama mereka bekerja di kapal
penangkap ikan tuna, yang hasil tangkapannya dijual oleh Bumble Bee Foods di
AS. Dugaan kerja paksa yang diperinci dalam gugatan meliputi kekerasan fisik
dan emosional, cedera parah yang tidak diobati hingga menyebabkan kecacatan,
jeratan utang, jam kerja berlebih dan gaji yang tidak dibayar, serta ancaman
finansial terhadap keluarga korban.
Gugatan ini diyakini sebagai yang pertama terhadap industri
seafood di AS berdasarkan TVPRA. Bagi SBMI dan Greenpeace Indonesia, keberanian
para nelayan migran ini menjadi momen bersejarah bagi perjuangan penegakan
keadilan bagi Awak Kapal Perikanan (AKP) migran Indonesia yang rentan terhadap
eksploitasi dalam rantai pasok industri perikanan global.
Baca Lainnya :
- Muhammad Sirod: Dorong THR untuk Mitra Ojol, Janji Kampanye Prabowo Menjelma Kenyataan0
- Terobos Genangan Banjir, Prabowo Tegaskan Pemerintah Senantiasa Hadir dan Membantu Masyarakat0
- Banjir Jabodetabek Bukti Nyata Rentannya Indonesia dalam Ancaman Krisis Iklim0
- Budiman Sudjatmiko Antusiasme Hadir Organisasi Sayap Bantu BP Taskin Entaskan Kemiskinan0
- Kejati Sumsel Tetapkan Lima Tersangka Korupsi Sektor SDA Perkebunan Sawit0
Sejak beberapa waktu silam, kedua organisasi tersebut telah
menerbitkan serangkaian hasil investigasi mendalam dan melakukan berbagai upaya
untuk mendorong perbaikan regulasi yang berkaitan dengan pelindungan AKP migran
Indonesia. “Berkaca dari laporan-laporan yang SBMI tangani, AKP migran
menghadapi dugaan praktik kerja paksa sejak sebelum keberangkatan, selama
bekerja di atas kapal, hingga setelah mereka pulang ke Indonesia,” ungkap
Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI.
“Proses perekrutan yang eksploitatif menjadi salah satu akar
permasalahan utama–biaya tinggi yang tidak transparan, praktik penampungan
tidak manusiawi, serta berbagai tipu daya berupa janji-janji menggiurkan,
penipuan dan pemalsuan dokumen, yang berujung pada berbagai bentuk eksploitasi
fisik, tenaga kerja, dan ekonomi,” sambungnya.
Sepanjang 2010-2024, SBMI menerima dan menangani 943 aduan
dari AKP migran. Pada 2024 saja, terdapat 196 kasus yang dilaporkan dengan
permasalahan utama meliputi dugaan kerja paksa dan perdagangan orang berupa
gaji ditahan/tidak dibayar, jeratan utang, kekerasan, pekerjaan yang tidak
sesuai kontrak, pembatalan keberangkatan, serta pemutusan hubungan kerja (PHK)
sepihak.[2]
Menurut Hariyanto, eksploitasi yang dialami para AKP migran
ini kerap berlangsung selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Maka,
lanjutnya, menjadi sangat penting untuk meminta pertanggungjawaban pihak-pihak
yang diduga meraup keuntungan dari tindakan tidak manusiawi yang mengorbankan
hak asasi AKP migran ini.
Secara global, industri makanan laut bernilai lebih dari USD
350 miliar.[3] Perusahaan induk Bumble Bee Foods di AS, Bumble Bee Seafoods,
yang dimiliki oleh salah satu pedagang tuna terkemuka dunia, perusahaan Taiwan
Fong Chun Formosa (FCF), tercatat memiliki pendapatan tahunan sebesar USD1
miliar.
Namun kendati pendapatan bernilai luar biasa tersebut,
nelayan migran Indonesia di atas kapal penangkap ikan Taiwan dilaporkan
dijanjikan gaji sebesar USD 400-600 per bulan, yang kerap dipotong
besar-besaran bahkan tidak pernah mereka terima–berdasarkan laporan Greenpeace
Asia Tenggara dan Serikat Pekerja Migran Indonesia (SBMI) tahun 2024.[4]
Dalam gugatan ini, Bumble Bee Foods diduga tahu atau
semestinya mengetahui tentang kondisi yang dialami para nelayan migran, tetapi
secara sadar mendapat keuntungan dari praktik kerja paksa serta perdagangan
orang. Jaringan kantor Greenpeace di beberapa negara telah lama memperingatkan
soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di industri perikanan skala besar.
Selain itu, laporan Greenpeace Asia Tenggara berkolaborasi dengan SBMI tersebut
juga menyoroti dampak lingkungan yang luas akibat praktik industri ini.
“Maka dari itu, pelindungan terhadap ekosistem laut tidak
bisa dipisahkan dengan pelindungan hak asasi terhadap para pekerja di sektor
laut, dalam hal ini nelayan atau AKP migran. Perlu ada perubahan sistem yang
menyeluruh dan Indonesia punya peluang untuk menjadi pelopor dalam hal
tersebut. Apabila Indonesia berkomitmen membenahi tata kelola perekrutan dan
penempatan AKP migran serta meningkatkan pengawasan, implikasi yang kita
harapkan adalah terwujudnya rantai pasok industri perikanan yang lebih transparan
dan pelindungan laut yang lebih baik,” kata Fildza Nabila Avianti, Juru
Kampanye Laut Greenpeace Indonesia.
