- Anggota ASPAI Se-Indonesia Uji Kompetensi Budidaya Anggur
- Mengintip Cara Anak Mengakrabi Kaki Seribu di Pemakaman
- 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer (1925-2025): Petani dan Biografi
- Pagar
- Mau Kuliah Gratis? Beasiswa Bank Indonesia 2025 Telah Dibuka, Ini Syaratnya!
- Air Terjun Weekacura, Hidden Gem di Sumba yang Punya Pesona Memanjakan Mata
- DWP Kemenkop dan LPDB Gelar Sosialisasi Perkoperasian dan Akses Pembiayaan Dana Bergulir di Cirebon
- Menakar Kunci Sukses Swasembada Pangan
- Patrick Pantera Negra Kluivert dan Memori Stadion Ernst Happel
- Pangan, Gizi dan Harapan
Pagar

Keterangan Gambar : Wahyono
Selain memantik polemik, apa yang bisa
diperbincangkan soal pagar? Syahdan, keberadaan pagar ternyata sudah mahfum
sejak adanya peradaban manusia. Pagar sejatinya digunakan sebagai pelindung
atau batas dari kepemilikan dari tanah, rumah, pekarangan maupun asset benda
mati lainnya. Dalam konteks lain, pagar juga bisa dimaknai sebagai cerminan
sifat pemilik rumah. Bahkan pagar juga meceritakan soal simbol seseorang.
Di zaman modern yang makin permisif
terhadap sifat individualis saat ini pagar bukan hanya sebagai simbol keindahan dan keamanan, melainkan juga mempelajari karakter, kultur,
interaksi, tradisi dan laku hidup manusia. Secara sederhana keberadaan pagar
bukan hanya berupa benda mati dari kayu maupun berwujud tembok mengelililingi
rumah atau menjadi batas etalase kediaman seseorang.
Jika dilacak secara
historis, masyarakat barat adalah komunitas pertama yang memperkenalkan apa itu
pagar. Bagi masyarakat barat, pagar awalnya memiliki fungsi sebagai keamanan.
Namun seiring menjamurnya kemakmuran kapitalisme, fungsi itu mengalami
perluasan di mana pagar juga dikaitkan dengan fungsi estetis., fungsi yang tak
jauh dari keindahan dan kecantikan. Estetika pagar menjadi salah satu simbol
individualisme masyarakat barat.
Baca Lainnya :
- Mau Kuliah Gratis? Beasiswa Bank Indonesia 2025 Telah Dibuka, Ini Syaratnya!0
- Menakar Kunci Sukses Swasembada Pangan0
- Pangan, Gizi dan Harapan0
- KKP Segel 453 Ton Bahan Baku Pakan Ikan dari Luar Negeri0
- Hentikan Penggusuran Wilayah Adat Nanghale dan Operasi Ilegal PT Krisrama0
Seperti halnya
masyarakat Barat, bangsa Indonesiapun juga sudah mengenal pagar baik sebagai
sebuah simbol individualisme ala barat ataupun sebagai bagian dari praktik
komunalisme. Golongan masyarakat yang memaknai pagar seperti masyarakat barat adalah
golongan elite atau kaum berada
Hal ini sebenarnya
sedikit bertentangan dengan karakter masyarakat timur seperti Indonesia yang
sangat mengedepankan komunalisme dalam sistem paternalistik. Dalam sistem ini individualisme
ditepikan.
Spirit komunalisme ini identik
dengan masyarakat petani, masyarakat tradisional atau disebut sebagai ‘wong
cilik’ di Indonesia. Sebagai masyarakat petani, keberadaan pagar lebih
diterjemahankan dengan batas berupa batu, pohon ataupun sungai, bukan sebagai
simbol individualisme.
Pemaknaan terhadap
pagar masyarakat petani yang tradisonalis itu sangat berbeda dengan golongan
priyayi, golongan yang disebut Cliford Geertz dalam bukunya berjudul Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat
Jawa, Bagi masyarakat priyayi, pagar lebih dimaknai sebagai simbol status
sosial seperti halnya masyarakat Barat.
Para priyayi di era
kolonial banyak membangun rumah gedongan dengan pagar melingkar yang terbuat
dari dinding batu kokoh. Bagi ‘ndoro’ priyayi, pagar memiliki arti istimewa
sebagai status sosial dan simbol kekayaan untuk membedakan dengan golongan
abangan maupun kaum petani.
Meski memiliki sejarah
panjang di Indonesia, pemaknaan ‘pagar’ saat ini terus mengalami perubahan.
Bahkan satu fakta yang belum ada presedennya di masa lalu, keberadaan pagar
saat ini ternyata tidak hanya berada di daratan, rumah, pekarangan, areal
perkebunan tetapi juga bisa berada di laut. Hebatnya, pagar di laut saat ini
sudah bisa mengantongi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).
Uniknya keberadaan
pagar-pagar laut itu saat ini memunculkan silang sengkarut. Bukan hanya tentang
panjang pagar dan material pembuat pagar tetapi yang menganggu akal sehat kita,
keberadaan pagar laut itu ‘tak bertuan’ alias tidak ada pemiliknya.
Berbeda dengan pagar di
daratan yang setiap orang saling mengklaim dan ingin menunjukkan kepemilikan
pagarnya, anehnya banyak orang berlomba lomba untuk tidak mengakui kepemilikan
pagar laut. Tak salah apabila keberadaan pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang saat ini bak
seperti ‘anak hilang’ terlepas dari induknya.
Terlepas dari apapun
makna maupun terjemahan entitas pagar, antara masyarakat petani dengan
masyarakat priyayi maupun masyarakat modern saat ini, hal yang pasti mengenai keberadaan
bangunan sebuah pagar tentu ada pemiliknya.
Sang empunya, tuan rumah
maupun pihak pembuat yang dalam batas-batas tertentu dimaksudkan untuk
menunjukkan kepada pihak eksternal akan batas kepemilikan propertinya. Pagar adalah pelindung atau batas dari kepemilikan tanah, Begitu
peradaban manusia mengartikan pagar.
Menjadi aneh bin ajaib
apabila keberadaan sebuah pagar tiba tiba muncul dengan sendirinya turun dari
langit tanpa pemilik. Syahdan, jika itu terjadi jangan kaget apabila nanti ada
iklan pengumuman di media massa tentang berita kehilangan pemilik pagar laut.
