Tabiat Korupsi dalam Permodalan

By PorosBumi 11 Mar 2025, 14:57:09 WIB Tilikan
Tabiat Korupsi dalam Permodalan

M Ghaniey Al Rasyid

Penulis lepas, pengliping dan penikmat sastra, tinggal di Surakarta


Baca Lainnya :

MULA buka desus menyoal korupsi belum tumbuh dalam perbincangan rakyat manapun. Hanya terbesit kepercayaan, di mana pemimpin, raja atau kadi pilihan mereka bakal memberi kebijakan terbaik. Syahdan, rakyat berbaik sangka, mengapresiasi atas kebijakan yang bergulir tanpa sedikitpun kecurigaan untuk meletakan sebuah kata, ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’.

Situasi berbenah, ketika seabrek pengetahuan dan fakta disuguhkan bagi mereka yang beruntung. Julien Benda menyebutnya sebagai cendekiawan, sedangkan Edward W Said menggaris mereka sebagai intelektual. Kemudian, saat mereka mulai mengendus materi politik, rakyat dan keberpihakan, di situlah mulai muncul letupan menyigi gerak-gerik penguasa yang mengemban amanat rakyat.

Alhasil, kalimat ‘why’ dijawab dengan rentetan fakta-fakta yang membikin mengerutkan dahi. Bilik kantor mulanya berlapis kaca buram, rakyat ingin menggantinya dengan kaca terang, di mana siapapun dapat menilik tabiat maupun gerak-gerik penguasa dalam menentukan kebijakan. Mereka tak ingin tertipu. Mereka ingin transparansi.

Konstitusi kita sudah menyebut dengan gamblang, bahwa kuasa tertinggi dalam republik itu rakyat. Walakin, kita sering kali gatal lantaran kuasa itu hanya bernilai di bilik-bilik suara setiap lima tahun sekali. Selebihnya, untuk mengetahui kucuran dana keluar dan masuk dalam sebuah kebijakan minimal harus masuk ke dalam sebuah sistem. Tak hanya itu, dalam bait penting mengenai kesejahteraan dan keadilan, juga ditujukan untuk rakyat.

Skandal korupsi itu seperti ajang main muka para pemegang kendali ekonomi dan politik. Mereka saling bertukar air muka, setelah itu berbisik-bisik dengan fasih bersepakat di balik bilik yang kedap suara. Kasus korupsi pengoplos pertamax misalnya, selama setengah dekade, mereka dapat mengelabui para konsumen bahan bakar jenis pertamax yang konon beban subsidinya lebih sedikit dibandingkan pertalite. Alih-alih konsumen ingin membantu republik dengan menggunakan bahan bakar minim subsidi, para konsumen malah terjerat tipu muslihat

Susan Rose-Ackerman selaku guru besar Hukum dan Ilmu Politik Universitas Yale menyigi korupsi dalam kerangka ekonomi dan politik. Dalam kata pembuka, Susan menemukan fakta menarik soal korupsi. Ekonomi yang galibnya berkecipak dengan hamparan modal riskan terjadi penyelewengan, kemudian terjadi perselingkuhan antara pemegang kendali politik dan don-don permodalan.

Susan melakukan penelitian di beberapa negara seperti Amerika, India, Lebanon, Eropa dan beberapa negara Asia, untuk mengetahui motif korupsi. Menariknya, negara-negara yang memiliki pendapatan perkapita gemuk itu, sering kali basah motif para pemegang kendali ekonomi dan politik terjerembab skandal korupsi.

Dalam penelitiannya itu, ia memandang Indonesia, Thailand dan Korea. Susan mengakui negera-negara itu sempat memiliki gairah kenaikan indeks perekonomian yang cukup apik. Meski demikian, di balik pencapaiannya itu muncul mekanisme kongkalikong yang menguntungkan individu atau kelompok tertentu.

Permasalahan itu juga membikin geram ekonom Faisal Basri. Ia sempat menyoroti bagaimana tingkat korupsi di Indonesia melalui tingkat ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang terbilang cukup tinggi. ICOR itu sebagai tolok ukur mengamati bagaimana efesiensi alokasi dana untuk kebijakan.

Mencuatnya nilai ICOR nan tinggi itu, alhasil menggerogoti keefisienan dan efektivitas perekonomian. Kebijakan yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kemaslahatan rakyat dengan nilai minim dan terukur, malah membengkak lantaran tidak efisien karena ada pemain yang dapat me-mark up sebuah kebijakan untuk tujuan laba pribadi atau kelompok.

Susan Rose-Ackerman bergeming kala mengamati kebijakan negara dan tabiat korupsi. Pembangunan proyek infrastruktur, konstruktruksi dan bidang-bidang lainnya, di Thailand pada medio 1960-1990-an terjamah korupsi. Kebocoran anggaran mulai dari 20 persen hingga 40 puluh persen, mengakibatkan infrastruktur fisik itu dibikin dari komponen yang tak sesuai.

Kemudian di Pakistan pada medio akhir 1980, muncul kebijakan irigasi untuk petani-petani. Di mana mereka harus membayar dengan harga tinggi namun dengan kualitas yang membikin petani-petani di Pakistan semakin merugi. Para pemegang kendali politik dan ekonomi dapat menari seriang mungkin. Pasalnya, merekalah yang mengatur ke mana aliran dana bakal dikucurkan. Lalu bagaimana dengan Danantara?

Baru-baru ini Danantara hadir sebagai piranti pikat guna menarik para pemodal. Tujuan berkumandang untuk kesejahteran dan kemakmuran seluruh rakyat Republik Indonesia. Danantara sebagai wadah di mana di situ terdiri pelbagai aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Melalui Danantara, pemerintah membuka peluang investor masuk dan berbagai deviden.

Undangan itu, bukanlah tanpa sebab. Lembaga Danantara bakal mengelola dana senilai Rp14.700 triliun. Melalui dana itu, Pemerintah republik berkeinginan memompa pendapatan negara dengan kolaborasi di pelbagai lini menggandeng para investor.

Wakil Rektor Universitas Paramadina dalam Danantara dan Dilema Korupsi BUMN (Kompas, 08/03) menyuguhkan telaah atas kebimbangan Danantara di pelbagai lini. Salah satu kebimbangan terbesar ialah menyoal skandal yang pernah menjerat BUMN besar seperti Jiwasraya, Taspen, Asabri dan baru-baru ini Pertamina.

Danantara alih-alih ingin dibikin seperti yang pernah dilakukan oleh Singapura dengan Tamaseknya, malah terbesit keraguan di pelbagai aspek, seperti peluang korupsi hingga efektivitas Danantara dalam melaksanakan tugasnya. Meski demikian, Presiden Prabowo Subianto mengajak anak bangsa agar optimistis.

Penuh percaya diri Prabowo menyampaikan bahwa keberadaan Danantara untuk republik di hari esok. Ia berjanji dalam hal pengelolaan Danantara bakal dilakukan dengan hati-hati, transparan dan diaudit setiap saat dan oleh siapapun.

Danantara telah berlabuh di antara hamparan kebimbangan para pemerhati republik. Pekik keberadaan lembaga itu, menaruh curiga di samping secarik optimisme yang dipaksakan untuk ada. Meski demikian, tak ada salahnya untuk mempertanyakan dan menantikan keberadaan Danatara membelah diksi Indonesia gelap menjadi kilau terang gilang-gemilang. Mungkinkah?

 

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment