- Muhammad Sirod: Dorong THR untuk Mitra Ojol, Janji Kampanye Prabowo Menjelma Kenyataan
- Tabiat Korupsi dalam Permodalan
- Asa Pemuda Walahar, Ubah Limbah Jadi Berkah
- Terobos Genangan Banjir, Prabowo Tegaskan Pemerintah Senantiasa Hadir dan Membantu Masyarakat
- Mudik Lebaran PT KAI Sediakan 4,5 Juta Tiket, Sebanyak 2,7 Juta Kelas Ekonomi Tarif Terjangkau
- Mengangkat Lerak dari Tanah Cepu ke Panggung Global, Perkuat Ekonomi Petani Melalui Alira Alura
- KKP Luncurkan Dua Buku Kehidupan Masyarakat Pesisir
- KKP Genjot Produksi Perikanan Budi Daya Penuhi Kebutuhan Ramadan hingga Lebaran
- Kementerian PU Gerak Cepat Tangani Jalan Amblas di Lintas Jambi-Sumbar
- Percepat Swasembada Pangan, Mentan Amran Bidik Sumsel Jadi Tiga Besar Produsen Beras Nasional
Tabiat Korupsi dalam Permodalan

M Ghaniey Al Rasyid
Penulis lepas, pengliping dan penikmat sastra, tinggal di Surakarta
Baca Lainnya :
- Asa Pemuda Walahar, Ubah Limbah Jadi Berkah0
- Mudik Lebaran PT KAI Sediakan 4,5 Juta Tiket, Sebanyak 2,7 Juta Kelas Ekonomi Tarif Terjangkau0
- Mengangkat Lerak dari Tanah Cepu ke Panggung Global, Perkuat Ekonomi Petani Melalui Alira Alura 0
- KKP Luncurkan Dua Buku Kehidupan Masyarakat Pesisir 0
- Indonesia: Bahasa dan Raga0
MULA buka desus menyoal korupsi belum tumbuh dalam perbincangan rakyat manapun. Hanya terbesit kepercayaan, di mana pemimpin, raja atau kadi pilihan mereka bakal memberi kebijakan terbaik. Syahdan, rakyat berbaik sangka, mengapresiasi atas kebijakan yang bergulir tanpa sedikitpun kecurigaan untuk meletakan sebuah kata, ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’.
Situasi berbenah, ketika seabrek pengetahuan dan fakta
disuguhkan bagi mereka yang beruntung. Julien Benda menyebutnya sebagai
cendekiawan, sedangkan Edward W Said menggaris mereka sebagai intelektual.
Kemudian, saat mereka mulai mengendus materi politik, rakyat dan keberpihakan,
di situlah mulai muncul letupan menyigi gerak-gerik penguasa yang mengemban
amanat rakyat.
Alhasil, kalimat ‘why’ dijawab dengan rentetan fakta-fakta
yang membikin mengerutkan dahi. Bilik kantor mulanya berlapis kaca buram,
rakyat ingin menggantinya dengan kaca terang, di mana siapapun dapat menilik
tabiat maupun gerak-gerik penguasa dalam menentukan kebijakan. Mereka tak ingin
tertipu. Mereka ingin transparansi.
Konstitusi kita sudah menyebut dengan gamblang, bahwa kuasa
tertinggi dalam republik itu rakyat. Walakin, kita sering kali gatal lantaran kuasa
itu hanya bernilai di bilik-bilik suara setiap lima tahun sekali. Selebihnya,
untuk mengetahui kucuran dana keluar dan masuk dalam sebuah kebijakan minimal
harus masuk ke dalam sebuah sistem. Tak hanya itu, dalam bait penting mengenai
kesejahteraan dan keadilan, juga ditujukan untuk rakyat.
Skandal korupsi itu seperti ajang main muka para pemegang
kendali ekonomi dan politik. Mereka saling bertukar air muka, setelah itu
berbisik-bisik dengan fasih bersepakat di balik bilik yang kedap suara. Kasus
korupsi pengoplos pertamax misalnya, selama setengah dekade, mereka dapat
mengelabui para konsumen bahan bakar jenis pertamax yang konon beban subsidinya
lebih sedikit dibandingkan pertalite. Alih-alih konsumen ingin membantu
republik dengan menggunakan bahan bakar minim subsidi, para konsumen malah
terjerat tipu muslihat
Susan Rose-Ackerman selaku guru besar Hukum dan Ilmu Politik
Universitas Yale menyigi korupsi dalam kerangka ekonomi dan politik. Dalam kata
pembuka, Susan menemukan fakta menarik soal korupsi. Ekonomi yang galibnya
berkecipak dengan hamparan modal riskan terjadi penyelewengan, kemudian terjadi
perselingkuhan antara pemegang kendali politik dan don-don permodalan.
Susan melakukan penelitian di beberapa negara seperti
Amerika, India, Lebanon, Eropa dan beberapa negara Asia, untuk mengetahui motif
korupsi. Menariknya, negara-negara yang memiliki pendapatan perkapita gemuk
itu, sering kali basah motif para pemegang kendali ekonomi dan politik
terjerembab skandal korupsi.
Dalam penelitiannya itu, ia memandang Indonesia, Thailand
dan Korea. Susan mengakui negera-negara itu sempat memiliki gairah kenaikan
indeks perekonomian yang cukup apik. Meski demikian, di balik pencapaiannya itu
muncul mekanisme kongkalikong yang menguntungkan individu atau kelompok
tertentu.
Permasalahan itu juga membikin geram ekonom Faisal Basri. Ia
sempat menyoroti bagaimana tingkat korupsi di Indonesia melalui tingkat ICOR
(Incremental Capital Output Ratio) yang terbilang cukup tinggi. ICOR itu
sebagai tolok ukur mengamati bagaimana efesiensi alokasi dana untuk kebijakan.
Mencuatnya nilai ICOR nan tinggi itu, alhasil menggerogoti
keefisienan dan efektivitas perekonomian. Kebijakan yang seharusnya dapat
dialokasikan untuk kemaslahatan rakyat dengan nilai minim dan terukur, malah
membengkak lantaran tidak efisien karena ada pemain yang dapat me-mark up
sebuah kebijakan untuk tujuan laba pribadi atau kelompok.
Susan Rose-Ackerman bergeming kala mengamati kebijakan
negara dan tabiat korupsi. Pembangunan proyek infrastruktur, konstruktruksi dan
bidang-bidang lainnya, di Thailand pada medio 1960-1990-an terjamah korupsi.
Kebocoran anggaran mulai dari 20 persen hingga 40 puluh persen, mengakibatkan
infrastruktur fisik itu dibikin dari komponen yang tak sesuai.
Kemudian di Pakistan pada medio akhir 1980, muncul kebijakan
irigasi untuk petani-petani. Di mana mereka harus membayar dengan harga tinggi
namun dengan kualitas yang membikin petani-petani di Pakistan semakin merugi.
Para pemegang kendali politik dan ekonomi dapat menari seriang mungkin.
Pasalnya, merekalah yang mengatur ke mana aliran dana bakal dikucurkan. Lalu
bagaimana dengan Danantara?
Baru-baru ini Danantara hadir sebagai piranti pikat guna
menarik para pemodal. Tujuan berkumandang untuk kesejahteran dan kemakmuran
seluruh rakyat Republik Indonesia. Danantara sebagai wadah di mana di situ
terdiri pelbagai aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Melalui Danantara,
pemerintah membuka peluang investor masuk dan berbagai deviden.
Undangan itu, bukanlah tanpa sebab. Lembaga Danantara bakal
mengelola dana senilai Rp14.700 triliun. Melalui dana itu, Pemerintah republik
berkeinginan memompa pendapatan negara dengan kolaborasi di pelbagai lini
menggandeng para investor.
Wakil Rektor Universitas Paramadina dalam Danantara dan
Dilema Korupsi BUMN (Kompas, 08/03) menyuguhkan telaah atas kebimbangan
Danantara di pelbagai lini. Salah satu kebimbangan terbesar ialah menyoal
skandal yang pernah menjerat BUMN besar seperti Jiwasraya, Taspen, Asabri dan
baru-baru ini Pertamina.
Danantara alih-alih ingin dibikin seperti yang pernah
dilakukan oleh Singapura dengan Tamaseknya, malah terbesit keraguan di pelbagai
aspek, seperti peluang korupsi hingga efektivitas Danantara dalam melaksanakan
tugasnya. Meski demikian, Presiden Prabowo Subianto mengajak anak bangsa agar
optimistis.
Penuh percaya diri Prabowo menyampaikan bahwa keberadaan
Danantara untuk republik di hari esok. Ia berjanji dalam hal pengelolaan
Danantara bakal dilakukan dengan hati-hati, transparan dan diaudit setiap saat
dan oleh siapapun.
Danantara telah berlabuh di antara hamparan kebimbangan para pemerhati republik. Pekik keberadaan lembaga itu, menaruh curiga di samping secarik optimisme yang dipaksakan untuk ada. Meski demikian, tak ada salahnya untuk mempertanyakan dan menantikan keberadaan Danatara membelah diksi Indonesia gelap menjadi kilau terang gilang-gemilang. Mungkinkah?
