Tiga Pakar Ungkap Bahaya Megathrust dan Strategi Mitigasinya di Indonesia

By PorosBumi 05 Des 2025, 17:47:22 WIB Sains
Tiga Pakar Ungkap Bahaya Megathrust dan Strategi Mitigasinya di Indonesia

BANDUNG – Risiko gempa megathrust menjadi perhatian komunitas ilmiah global, pemahaman tentang pergerakan kerak bumi, tanda-tanda awal sebelum gempa besar, serta upaya mitigasi bencana. Pusat Riset Kebencanaan BRIN mengulas topik tersebut dalam Geohazard Webinar #5 dengan tema “Understanding Geohazard With GNSS” secara daring, Selasa (2/12).

Prof. Kosuke Heki dari Hokkaido University sebagai Visiting Researcher di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN memberikan insight mengenai “Nankai Trough Earthquake in Southwest Japan: What can we learn to mitigate disasters in Indonesia?.” Menurutnya, gempa besar di zona Nankai Trough di Jepang bukan sekadar ancaman lokal, namun juga sumber pembelajaran global bagi negara rawan megathrust seperti Indonesia. 

Ia menjelaskan dasar mengenai siklus megathrust. “Kami memahami bahwa gempa bumi berkekuatan 8 terjadi dalam interval yang jauh lebih pendek sekitar 50 hingga 100 tahun. Jadi, ini adalah pandangan klasik kami sebelum gempa bumi,” jelas Heki.

Baca Lainnya :

Menurut Heki, potensi gempa besar tetap menjadi perhatian serius, meskipun waktu pastinya sulit diprediksi. Ia menekankan pentingnya pengamatan deformasi jangka panjang melalui Global Navigation Satellite System (GNSS) dan pengukuran dasar laut.

“Kemudian kita dapat melihat bahwa kopling antar-seismik yang saling mengunci terjadi hampir di sumbu palung. Jadi, bahkan di bagian batas besar yang sangat dangkal, terdapat regangan yang terakumulasi untuk gempa berikutnya,”  tuturnya.

Heki juga menjelaskan, slow slip event (SSE) atau preslip, meskipun gerakannya kecil, dapat menjadi indikator penting sebelum terjadinya gempa besar. “Fenomena ini telah diamati berulang di Nankai Trough dan bagian lain Jepang. Salah satu peristiwa pergeseran lambat ini mungkin memicu gempa palung Nankai berikutnya,”  katanya.

Penjelasan ini sangat relevan bagi Indonesia, yang memiliki zona subduksi aktif seperti Mentawai, Jawa, Bali, Lombok, hingga Maluku. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan jaringan GNSS guna mendeteksi deformasi jangka panjang dan preslip sebelum gempa. “Saat ini saya sedang mengerjakan masalah ini di Indonesia,”  ucap Heki

Dengan kombinasi data GNSS di darat dan teknologi geodesi dasar laut, Heki menekankan bahwa Indonesia dapat mulai memetakan akumulasi tegangan yang berpotensi memicu gempa besar di masa depan.

Endra Gunawan, Associate Professor di Global Geophysics RG, Program Studi Teknik Metalurgi ITB, memaparkan hasil riset terbarunya mengenai seismogenic potential Sesar Jakarta menggunakan metode GNSS slip-rate analysis. 

Ia menunjukkan bahwa deformasi kerak di wilayah Jakarta dapat terukur secara periodik, sekaligus membuka peluang pemodelan bahaya gempa di wilayah perkotaan padat penduduk. Riset ini sekaligus memperkuat pesan Prof. Heki bahwa pemantauan berbasis deformasi merupakan fondasi mitigasi modern.

“Analisis kami berdasarkan pendekatan GPS, dan kami menemukan bahwa patahan di bagian selatan Jakarta ini menghasilkan laju pergeseran sekitar tiga milimeter per tahun dengan kedalaman penguncian tujuh dan sudut kemiringan 63 ke selatan,” ujar Endra.

Sementara itu, narasumber ketiga Muhammad Al Kautsar, ahli GNSS CORS di Direktorat Sistem Referensi Geospasial Badan Informasi Geospasial (BIG), menekankan pentingnya integrasi data GNSS nasional untuk pemantauan geohazard. Ia menjelaskan bagaimana jaringan CORS yang dikelola BIG digunakan untuk memantau pergerakan mikro dan deformasi harian yang berkaitan dengan potensi gempa. 

“Dinamika pergerakan lempeng di Indonesia membawa implikasi serius. Akibat dari pergerakan tersebut, Indonesia akan banyak mengalami gempa bumi dan aktivitas gunung berapi,” kata Kautsar menutup paparannya. (nu, btp/ ed. kg, ns)

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment