- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
- PFI Kepri Sambangi KSOP Batam, Perkuat Sinergi dan Semangat Foto Jurnalistik Maritim
- Belajar dari Makkah: Potensi Bio-Energi di Balik Sistem Pengolahan Limbah Modern
Ikhtiar Hilirisasi Timah: Dari Lumpur Perut Bumi Bangka Jadi Logam Berharga di Cilegon

Keterangan Gambar : Proses peleburan (smelting) dan pemurnian (refining) biji timah menjadi mata rantai penting hilirisasi timah. (foto wahyono)
BANGKA-Dengan
wajah memerah Riski menepi untuk duduk istirahat. Terpanggang suhu 1.350-1.450 derajat
celcius dari mesin TSL Ausmelt memaksa Riski sesekali menjauh mengusir hawa
panas dengan membuka penutup kepala pakaian Alat Pelindung Diri (APD) berwarna
kuning yang dikenakannya. Saat Riski menepi, dua rekannya dengan berpakaian APD
lengkap masih berjibaku mengawasi proses peleburan (smelting) dan pemurnian (refining)
biji timah dalam tannur (tungku besar) di tengah suhu panas dari jilatan si
jago merah yang dikeluarkan dalam proses smelting dan refining. Tannur (tungku
besar) inilah yang lazim disebut sebagai smelter.
Riski dan kawannya harus
sabar dan telaten untuk menjaga proses dalam smelter. Maklum, proses peleburan
memakan waktu berjam-jam. Proses ini umumnya dibagi menjadi beberapa tahapan
meliputi konsentrasi (peningkatan kadar bijih), peleburan dan pemurnian. Setiap
tahap membutuhkan waktu berbeda tergantung pada jumlah biji timahnya, metode
yang digunakan, serta penggunaan teknologi.
Riski adalah pekerja di pabrik peleburan dan pemurnian biji Timah Unit Metalurgi Mentok yang dioperasikan oleh
PT Timah Tbk. Unit Metalurgi Mentok adalah bagian dari PT Timah Tbk yang
terletak di Mentok, Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Unit ini
memiliki fungsi krusial yakni meleburkan biji timah menjadi logam timah, merupakan
bagian dari kegiatan PT Timah Tbk yang terintegrasi dari eksplorasi,
penambangan, hingga pengolahan dan distribusi. Kawasan Unit Metalurgi Muntok.
Kawasan yang memiliki luas sekitar 3.021 km² ini berkontribusi besar pada
proses hilir (hilirisasi) dari produk pertambangan timah.
Baca Lainnya :
- Masa Depan Berkelanjutan Itu Bukan Retorika di Kampung Reklamasi Air Jangkang 0
- Tolak Inisiatif AZEC, Masyarakat Sipil Indonesia Desak Transisi Energi yang Demokratis & Berkeadilan0
- MIND ID Sabet Penghargaan ESG Berkat Efisiensi Energi dan Komitmen Keberlanjutan0
- Mau Tahu Perkembangan Proyek Abadi Masela, Ini Updatenya!0
- Bukan Sekadar Jargon, Hilirisasi Langkah Nyata Wujudkan Asta Cita0
Peleburan dan pemurnian biji timah menjadi salah satu mata rantai penting dalam proses hilirisasi timah yang kini menjadi program strategis nasional. Hilirisasi hari hari ini memang menjadi terminologi yang banyak dibicarakan di dunia tambang nasional tak terkecuali di industri timah. Lalu seperti apa awal konsep hilirisasi pertambangan ini bergulir? Bagaimana proses hilirisasi timah yang ada di Indonesia selama ini?
Semua berawal dari terbitnya
Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara atau Minerba Nomor 4 Tahun
2009. Salah satu misi undang-undang ini adalah meningkatkan nilai tambah
minerba lewat kewajiban mengolah di dalam negeri atau hilirisasi. Pemerintah
pun mengadopsi hal ini menjadi kebijakan pemerintah. Padahal jauh sebelum
digaungkan sebagai kebijakan pemerintah pusat, PT Timah Tbk sejatinya sudah
mengambil langkah hilirisasi. Pada 1998 PT Timah Tbk bergerak cepat dengan membentuk
PT Timah Industri untuk mengolah timah mentah menjadi produk hilir.
Muara utama hilirisasi
pertambangan termasuk di industri timah hanya dua yakni meningkatkan nilai
tambah komoditas dan memperluas pasar produk turunan timah. Setelah di era-era
sebelumnya hilirisasi ini hanya ‘sayup-sayup terdengar’, di masa pemerintahan Presiden
Joko Widodo (Jokowi), kebijakan hilirisasi mineral, termasuk timah, dipercepat
dan menjadi fokus utama untuk mentransformasikan ekonomi Indonesia.
Pergantian estafet
kepemimpinan nasional dari Presiden Jokowi kepada Presiden Prabowo Subianto tak
menjadikan kebijakan hilirisasi pertambangan menjadi kendor bahkan justru makin
menguat. “Kita melihat hari ini perhatian negara terhadap pertambangan,
khususnya terhadap timah sangat luar biasa. Negara memposisikan timah sebagai
industri strategis,” tegas Sekretaris Perusahaan (Sekper) PT Timah Tbk Rendi
Kurniawan terkait hal itu.
Dimulai dari Aktivitas Penambangan
Jejak panjang hilirisasi
timah diawali dari penambangan bijih timah dari areal tambang. Pada tahap ini dilakukan
eksplorasi untuk mengetahui potensi cadangan bijih timah dalam suatu tambang. Berikutnya
dilakukan kegiatan penambangan yang terbagi menjadi dua metode: penambangan
darat dan penambangan lepas pantai. Penambangan darat lazim dilakukan dengan
tambang semprot dan alat berat untuk mengangkat lapisan tanah (pengerukan
tanah).
Proses ini sangat bergantung pada ketersediaan dan pengelolaan air dalam jumlah besar. Dari penambangan ini nantinya akan menghasilkan bijih timah sebagai output utama. Sedangkan penambangan lepas pantai atau laut melibatkan Kapal Isap Pantai (KIP) dan juga mitra. “Sekitar 60% penambangan kita ada di laut, sedang sisanya 40% di darat,” sebut Rendi.

KIP adalah jenis kapal
keruk atau dredger yang digunakan untuk menambang timah dari dasar laut atau
sungai. KIP berfungsi menghisap material mentah (pasir timah) dari dasar laut,
mengolahnya menjadi konsentrat timah di atas kapal, lalu memindahkannya. KIP
dilengkapi dengan peralatan seperti cutter untuk memotong tanah bawah laut dan
sistem pengolahan seperti jig untuk memisahkan timah dari material lain. PT
Timah Tbk saat ini memili belasan KIP yang beroperasi di perairan Bangka
Belitung.
“Kalau berapa jumlah produksi di KIP ini tidak bisa diprediksi karena tergantung banyak faktor. Termasuk dalam hal ini kualitas bijih timahnya juga tidak bisa diprediksi berapa kadarnya. Mesin di sini harus hidup terus, kecuali kalau ada trobel,” tutur Abdul Salam, Masinis KIP 78 Timah, salah satu kapal KIP PT Timah yang melakukan proses penambangan di Laut Cupat, Pulau Bangka.
Menurut Abdul Salam, dalam proses penambangan, KIP 78 melakukan penggalian hingga sedalam kurang lebih 25 meter di bawah permukaan laut sehingga dapat menjangkau cadangan sisa dari kapal keruk. Penghisapan bijih diakukan menggunakan dredger untuk menghisap campuran sedimen dan bijih timah dari dasar laut.
.jpg)
Setelah dihisap ke atas
kapal, sejurus kemudian campuran tersebut akan diolah di dalam fasilitas yang
ada di kapal. Hasil olahan bijih timah kotor dari KIP 78 kemudian akan
dipindahkan ke kapal tongkang untuk diangkut menuju lokasi pengolahan di Unit
Metalurgi PT Timah Tbk Mentok, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung. Perkiraan waktu perjalanan dari kapal KIP 78 di Laut Bangka ke
unit Metalurgi Muntok bervariasi tergantung dari kecepatan kapal yang digunakan,
tetapi kemungkinan akan memakan waktu beberapa jam hingga kurang dari satu
hari.
Begitu sampai di Unit
Metalurgi PT Timah Tbk Mentok, dilakukan tahap pencucian bijih timah (washing plant). Bijih timah yang sudah
didapatkan dari area tambang kemudian dibawa ke dalam fasilitas pencucian. Pada
tahap ini, dilakukan proses separasi fisik untuk memisahkan mineral timah dari
material kotor, seperti pasir dan tanah. Tahap pencucian ini menggunakan
prinsip perbedaan massa jenis, di mana timah yang lebih berat akan terpisah
dari mineral lain yang lebih ringan. Hasilnya adalah konsentrat timah yang
memiliki kadar logam timah (Sn) lebih tinggi dan siap untuk diproses ke tahap
selanjutnya.
“Di sini mengolah biji timah dari tambang laut dan darat sebelum dikirim ke unit peleburan. Di bagian ini, bijih timah hasil tambang akan di upgrade kualitasnya. Artinya, ada proses pemisahan antara mineral timah dengan mineral lain yang ikut dari proses penambangan. Jadi biji timahnya diupgrade dari kadar lowgrade 20-30 persen menjadi 70 persen,” jelas Firdaus, Kepala Bidang pengolahan biji timah Unit Metalurgi PT Timah Tbk Mentok.
.jpg)
Firdaus menyebutkan, setelah
pencucian, konsentrat timah perlu diproses ulang untuk meningkatkan kadar
Sn-nya. Tahap ini disebut proses mineral dressing yang bertujuan menghilangkan
unsur-unsur kotor, seperti besi, silika, atau bahan mineral lain. Dengan proses
ini, konsentrat yang dihasilkan memiliki kadar timah minimal sekitar 40% Sn,
yang sudah memenuhi syarat untuk masuk ke tahap peleburan.
Setelah diupgrade, dicuci
dan dikeringkan, bijih timah kemudian masuk dalam proses peleburan (smelting). Proses peleburan dilakukan
dengan mesin berteknologi modern Top Submerged Lance (TSL) Ausmelt Furnace. TSL Ausmelt adalah teknologi peleburan terbaru
milik PT Timah yang mulai beroperasi
pada 22 Desember 2022. TSL Ausmelt merupakan pabrik pengolahan bijih timah
terbesar ke-5 di dunia yang merupakan bentuk transformasi dan inovasi teknologi
pengolahan timah kadar rendah, menggantikan teknologi sebelumnya yaitu
Reverberatory
TSL Ausmelt di Mentok
mampu melebur konsentrat bijih timah, termasuk kadar rendah dan dari lapisan
primary deposit, dengan kapasitas hingga 40.000 ton per tahun. Teknologi
ini dipilih karena lebih efisien untuk pengolahan bijih timah kadar tinggi,
sehingga dapat menjaga keberlanjutan produksi timah dan sesuai dengan
pergeseran cadangan ke primary deposit. Penggunaan TSL Ausmelt
bertujuan untuk menjaga keberlanjutan produksi timah dan menjadi bagian dari
transformasi teknologi pengolahan bijih timah.
TSL Ausmelt dioperasikan secara terintegrasi melalui room control dengan teknologi mutakhir. Hasil peleburan bijih timah menggunakan teknologi TSL Ausmelt kemudian ditransfer ke tungku pemurnian untuk menghasilkan timah murni (crude tin) dan selanjutnya dapat dicetak menjadi batangan timah (tin ingot) atau diolah lebih lanjut menjadi produk turunan seperti solder dan pelapis. Setelah melalui proses peleburan di TSL Ausmelt, timah cair (crude tin) akan dipindahkan ke tungku pemurnian untuk memisahkan kotoran dan meningkatkan kadar kemurniannya.

Setelah berkutat dalam
proses peleburan, timah cair akan dimurnikan kembali supaya menjadi timah yang
sepenuhnya murni. Dalam tahap ini, terdapat dua metode berupa crystallizer (metode pendinginan yang
mengendapkan timah dalam bentuk kristal) dan electrolytic refining (proses yang memisahkan timah dari unsur
kotor secara kimiawi). Hasil dari tahap pemurnian ini adalah timah murni
berkualitas tinggi yang memiliki standar internasional.
Timah murni yang sudah
jadi selanjutnya dapat dicetak dalam bentuk batangan timah (tin ingot) atau
dapat diolah menjadi berbagai produk, seperti tin solder, tin chemical, dan tin
plate. Tin solder digunakan dalam industri elektronik dan otomotif untuk
menyambungkan suatu komponen, tin chemical digunakan sebagai stabilisator dalam
industri PVC, sedangkan tin plate dapat digunakan sebagai lapisan pelindung
untuk kaleng makanan dan minuman. Produk timah di Unit Metalurgi Muntok punya
tingkat kemurnian sebanyak 99%.
“Timah di sini tidak ada limbahnya. Yang ada adalah sisa-sisa produksi yang masih berpotensi secara ekonomis, misalnya logam tanah jarang. Bagi PT Timah ke depan tantangannya adalah hilirisasi dari material material ikutan seperti logam tanah jarang ini, “tutur Wakil Kepala Unit Metalurgi Muntok, Kopdi Kardi Saragih.
Hilirisasi Produk Bernilai Tambah di Cilegon
Setelah semua proses
pengolahan, peleburan dan pemurnian timah selesai di Pulau Bangka, logam timah
murni kemudian dikirim menggunakan kapal menuju pabrik PT Timah Industri di
Kota Cilegon, Provinsi Banten untuk proses hilirisasi berikutnya. PT Timah
Industri merupakan anak perusahaan dari PT Timah Tbk, perusahaan induk utama di
bidang pertambangan dan pengolahan timah di Indonesia yang berkantor pusat di
Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung. PT Timah Industri Cilegon berada
di dalam Kawasan Industri Krakatau Cilegon di Kecamatan Citangkil Kota Cilegon
yang memiliki luas total 550 hektar dan menjadi lokasi bagi banyak
perusahaan besar.
PT Timah Industri
didirikan sebagai entitas hilir (downstream)
untuk mengolah produk turunan logam timah, seperti tin chemical dan tin solder,
guna meningkatkan nilai tambah dari hasil tambang PT Timah Tbk. Sejak tahun
2013, PT Timah Industri membangun pabrik tin solder powder dua line di Cilegon.
Gerak cepat dilakukan PT Timah Industri yang didapuk melakukan hilirisasi produk. Memiliki tiga pabrik tin chemical dan satu pabrik tin solder sejak 2009, PT Timah Industri saat ini memproduksi Stannic Chloride (SnCl4) berkapasitas 3.000 ton dengan merek BANKASTANNIC dan Dimethyltin Dichloride (DMT) berkapasitas 8.000 ton dengan merek BANKASTAB DMT Series. Anak usaha PT Timah Tbk itu juga memproduksi Methyltin Stabilizer (MTS) berkapasitas 10.000 ton dengan merek BANKASTAB MT Series, dan tin solder berkapasitas 2.000 ton dengan merek BANKAESA.

Tin chemical adalah senyawa
kimia yang dibuat dari timah (Sn) untuk berbagai kebutuhan industri seperti
aditif pada plastik PVC dan bahan pelapis
(coating). Senyawa ini digunakan untuk meningkatkan kualitas produk,
melindungi dari korosi, dan memberikan stabilitas termal.
Logam timah lalu diolah
di pabrik kimia untuk menghasilkan produk seperti Stannic Chloride (SnCl4)
(merek BANKASTANNIC),Dimethyltin Dichloride (DMT) (merek BANKASTAB DMT Series), dan Methyltin
Stabilizer (MTS). Produk ini digunakan sebagai bahan aditif tin stabilizer
untuk industri seperti PVC (pembuatan pipa, profile, dan plastik transparan).
Logam timah juga diolah
menjadi produk tin solder. Tin solder adalah paduan logam mudah meleleh,
biasanya terdiri dari timah dan timbal, yang digunakan untuk menyambungkan dua
atau lebih komponen logam. Produk ini digunakan dalam industri elektronik dan
otomotif. Produk hilirisasi (tin chemical dan tin solder) kemudian siap diekspor
ke pasar luar negeri seperti Amerika Serikat, India, China, Taiwan, dan
negara-negara Eropa.
Direktur Utama (Dirut) PT
Timah Industri Cilegon, Ria Wardhani Pawan menuturkan, perusahaannya sejauh ini
memang tidak memiliki proses hilirisasi massif seperti di nikel dan tembaga. Produk-produk
turunan timah secara persentase selama ini memang terhitung kecil tetapi hampir
di semua produk ada kandungan timahnya.
“Secara teknis produk
timah ada di banyak tempat, misalnya dalam produk PVC. Secara persentase, tin
stabilizer yang kita produksi hanya menyumbang 3% dalam seratus adonan
PVC. Ini sangat kecil sekali, tapi kalau tidak ada kandungan timah, PVC-nya
tidak jadi,”ujar Ria memberi gambaran betapa pentingnya produk timah.
Ria menambahkan, sebenarnya PT Timah Industri sudah masuk menjalankan hilirisasi logam timah sejak tahun 2010. Ria mengklaim bahwa PT Timah Industri sebagai prusahaan perintis yang kali pertama membangun industri tin stabilizer di Indonesia. Sebagai perintis produk-produk baru di industri timah, PT Timah Industri harus menghadapi banyak tantangan.
“Tantanganya banyak, utamanya
adalah bagaimana memasarkan produk karena harus bersaing dengan produk lain
dari perusahaan negara lain. Tapi alhamdulilah selama ini kami memiliki tim SDM
yang perlahan akhirnya bisa menguasai teknologi pembuatan tin stabilizer dan ini menjadi salah satu kekuatan
kami untuk terus berinovasi menemukan produk-produk turunan dari logam timah yang
dipasarkan dengan nilai tambah lebih baik,”ujarnya.
Sekretaris Perusahaan PT
Timah Tbk, Rendi Kurniawan menimpali, proses produksi logam timah yang
dilakukan pihaknya selama ini sebenarnya sudah merupakan bagian dari
hilirisasi. Jadi kalau sekarang program hilirisasi massif menyasar dunia
pertambangan, hal itu sebenarnya bukan hal baru karena sudah berjalan di PT
Timah Tbk jauh sebelumnya. Menurut Rendi, produk hilirisasi PT Timah itu selama
ini ada di PT Timah Industri Cilegon baik dari tin solder dan tin chemical
serta sejumlah varian produk turunannya.
“Itu sebenarnya bagian
dari hilirisasi yang kami lakukan sejak tahun 2010. Jadi kalau bicara komoditas
timah, sebenarnya PT timah sudah jauh lebih lama dalam melakukan hilirisasi
namun memang secara market kami juga melihat kebutuhan dominannya. Mayoritas
produk kita saat ini kebutuhannya memang untuk ekspor sedangkan kebutuhan dalam
negeri hanya sekitar 7-10%,” ujarnya.
Rendi mengatakan, bicara
hilirisasi timah, sebenarnya hal itu tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan
pasar. Dia mencontohkan, saat ini perusahaan sedang fokus di tin solder karena
memang ada kebutuhan pasar. Jadi di hilirisasi produk timah, domain terbesarnya
saat ini adalah tin solder.
“Tin solder seperti apa
yang dibutuhkan? Jadi kebutuhan bentuk produknya itu kita selalu sesuaikan
dengan permintaan pasar seperti apa. Sedangkan untuk tin chemical saat ini
memang pasar ke luar kita itu masih kecil terhadap kebutuhan tin chemical
dunia. Jadi tantangannya kedepan adalah bagaimana kita bisa memperluas
marketnya untuk tin chemical,” bebernya.
Rendi menyebutkan, saat ini
pihaknya juga sedang melakukan langkah-langkah untuk memperbesar pasar dalam
negeri. Hanya saja memang hal itu sangat tergantung dari permintaan (demand)
yang ada dan juga regulasi. “Soal pasar bicaranya tentu terkait supply dan
demand ya. Kalau soal supply tentu kita siap asal ada demand dan industrinya
tumbuh. Kalau itu terjadi, kita pasti akan mampu melakukan supply pasar dalam
negeri,” tambahnya.
Kedepan, lanjut Ria, perusahaan memiliki sejumlah tantangan besar dalam mensukseskan program hilirisasi di antaranya soal teknologi dan sumber daya manusia (SDM). Terkait teknologi, PT Timah Industri diharapkan segera menemukan teknologi tepat guna yang cocok diterapkan dalam proses produksi. Kemudian tantangan yang kedua adalah soal kemampuan tenaga kerja dalam penguasaan teknologi. “Tentunya penguasaan teknologi ini juga harus disesuaikan dengan kemampuan perusahaan dan kebutuhan pasar,” tambahnya.

Disinggung penerapan
paradigma ESG (Environmental, Social, and
Governance) dan aspek keberlanjutan di PT Timah Industri, Ria menyebutkan hal
itu sudah dijalankan pabriknya di Cilegon. Menurut Ria, prinsipnya perusahaan
berusaha menyeimbangkan antara kepentingan bisnis dan kepentingan
sosial/lingkungan. “Kami memastikan keduanya harus berjalan beriringan,”
tandasnya. ESG merupakan tiga pilar utama yang digunakan untuk mengukur
keberlanjutan dan dampak etis dari suatu investasi atau kegiatan bisnis,
termasuk di sektor pertambangan.
Soal komitmen menjaga lingkungan,
sejauh ini PT Timah Industri akan selalu menaati dan tunduk pada regulasi yang ada.
“Misalnya soal aturan buangan dari pabrik baik dari cerobong maupun limbah,
selama ini kami selalu patuhi sebaik mungkin dan kami jaga. Kami menyadari
proses produksi kita berkaitan dengan bahan-bahan kimia yang cukup berbahaya,
karena itu karyawan juga kami lindungi dengan penggunaan APD, maintanace peralatan
pabrik secara rutin juga kita lakukan,” tukas Ria.
Rendi mengamini apa yang
diungkapkan Ria terkait kepatuhan pihak perusahaan dalam mengimplementasikan
ESG dan aspek keberlanjutan. “Kita hari ini sangat fokus pada regulasi yakni
memenuhi kompetensi untuk ESG. Kita kemarin-kemarin juga melakukan assesmen
kembali dalam beberapa tahapan produksi kita. Untuk penggunaan energi
berkelanjutan, kita sudah coba di beberapa tempat dengan penggunaan PLTS di bangunan
gedung, kemudian juga menggunakan bio solar di beberapa mesin operasi kita.
Upaya-upaya itu adalah cara bagaimana kita bisa menurunkan emisi dalam proses
produksi,”timpalnya.
Penggunaan PLTS dalam
operasional perusahaan memang bukan sekadar wacana. Di PT Timah Industri Cilegon
misalnya, perusahaan sudah sejak Juni 2025 memakai PLTS untuk kebutuhan energi
di lingkungan pabrik. “Dari penggunaan PLTS ini kami bisa menurunkan biaya
listrik hingga 10%. Selain itu kami berharap PLTS ini bisa menekan emisi karbon
dan harapannya suatu saat nanti kita bisa menjual karbon,”sebut Ria.
Selain di pabrik PT Timah
Industri Cilegon, penggunaan PLTS juga dilakukan pabrik PT Timah Tbk di
Belitung. Menurut data PT Timah, PLTS terapung di Belitung ini terdiri dari 522
unit panel surya dengan kapasitas total daya sekitar 1.184 kilowatt-puncak
(kWp) dan dapat menghasilkan energi sekitar 400 megawatt-jam (MWh) per tahun, serta
dapat menurunkan emisi karbon hingga 300 ton CO₂ per tahun. “Ada juga di
beberapa lokasi produksi, kita gunakan kolong (danau bekas pertambangan) untuk
menjadi PLTS terapung,” tambah Rendi.
Selain penggunaan PLTS di
sejumlah unit produksi, lanjut Rendi, pihaknya selama ini juga serius untuk
meningkatkan pengunaan energi rendah emisi (energi hijau). Terkait hal itu perusahaan
bahkan sudah mematok target terkait bagaimana cara menurunkan emisi di beberapa
alat tambang.
“Contohnya penggunaan bio
solar. Sebenarnya secara regulasi kita juga berusaha untuk menyesuaikan dengan
apa yang diputuskan pemerintah terkait penggunaan bio solar maupun PLTS.
Termasuk dalam hal ini hitung-hitunganya terkait berapa jumlah pengurangan
emisinya jika kita gunakan bio solar dan PLTS. Berapa angka pastinya saya lupa,
yang jelas hal itu selalu kita hitung karena harus dilaporkan rutin,” ujarnya.
Hidupkan
Ekosistem Industri Produk Turunan Timah
Direktur PT Timah
Industri, Andy Widiyanto menambahkan hal paling dibutuhkan untuk industri
hilirisasi timah saat ini adalah peran dan keterlibatan pemerintah untuk menghidupkan
industrinya. Andy mencontohkan pemerintah bisa membuat regulasi terkait pipa
PVC (Polivinil Klorida) yang mewajibkan adanya kandungan timbal dalam industri
solder.
“Kalau kita lihat
industri solder misalnya, teknologinya makin kesini kebutuhannya makin banyak.
Tapi ketika masuk ke Indonesia, soldernya itu udah nempel di vcd, sehingga
nyampai di sini tinggal assembly saja. Ini yang masih perlu diperhatikan,”ujar
Andy.
Andy menjelaskan, sebagai upaya untuk menghidupkan industri hilirisasi timah, salah satu yang juga bisa dilakukan adalah dengan memperkuat aturan soal Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDA) terkait komponen di dunia industri.

“Pemerintah saat ini
kan sudah ada TKDA, tinggal kuatkan lagi saja aturannya antar kementerian yang
ada. Misalnya dengan aturan yang mewajibkan industri dalam negeri menggunakan solder
dalam negeri. Saya tidak tahu bagaimana teknisnya, intinya ada aturan yang
mewajibkan penggunaan solder domestik untuk industri dalam negeri. Ya semacam
regulasi mandatory. Dengan demikian industri solder akan tumbuh,” beber Andy.
Soal menghidupkan
ekosistem industri timah, PT Timah Tbk punya cara tersendiri, salah satunya
dengan memperluas keterlibatan masyarakat dalam kemitraan. Pola kemitraan itu
selama ini sudah dilakukan di operasional perusahaan di penambangan darat
maupun laut. Secara regulasi, adanya kemitraan dengan masyarakat itu sah dan
diperbolehkan.
“Kenapa harus melibatkan
masyarakat? Karena disitu ada peluang kita untuk memberikan informasi atau
membantu masyarakat dalam menjalankan usahanya secara safety (aman) karena
bagaimanapun dunia pertambangan itu resikonya cukup besar,” ujar Rendi.
Rendi menuturkan, pola
kemitraan dengan masyarakat dalam hal penambangan timah sebenarkan merupakan
upaya perusahaan untuk memasukkan masyarakat dalam ekosistem penambangan yang
benar. Lewat kemitraan di penambangan perusahaan diharapkan juga bisa menjaga
masyarakat untuk melakukan penambangan sesuai tata kelola.
“Saat ini kita berusaha
melakukan transformasi pola kemitraan kita, salah satunya masyarakat bisa
langsung berinteraksi dengan PT Timah. Per hari ini kita mendorong bagaimana
koperasi mayarakat itu bisa menjadi wadah masyaraat yang bekerja di IUP wilayah
PT Timah,” timpalnya.
Hingga September 2025, PT
Timah telah memberdayakan 30 koperasi sebagai mitra pertambangan, yang terdiri
dari 10 koperasi karyawan, 10 koperasi tambang, dan 10 koperasi nelayan. Sebanyak
10 mitra usaha penambangan terbaik mendapatkan penghargaan dari PT Timah atas
kinerja produksi yang baik.
Rendi menambahkan sebagai
perusahaan terbuka (Tbk) pada prinsipnya PT Timah Tbk akan patuh dan tunduk
kepada regulasi yang ada. PT Timah selama ini selalu meminta dukungan dari
kementrian teknis dan pihak terkait untuk bagaimana bisa melihat kembali aturan
atau regulasi mengenai tata kelola industri timah yang ada.
“Karena bagaimana pun
timah adalah mineral yang tidak terbaharukan. Kita melihat hari ini negara
memposisikan timah sebagai industri strategis, karena strategis kita berharap
ada pembaharuan terkait regulasi tata kelola timah,” harap Rendi.
Ria menimpali, pihaknya
berharap dukungan pemerintah untuk bisa memperluas pasar dalam negeri. Terlebih
saat ini secara nasional sudah ada regulasi soal Tingkat Kandungan Dalam Negeri
(TKDN) yang harapannya hal ini bisa ditingkatkan. “Sehingga pabrik-pabrik PMA
yang masuk ke Indonesia dengan regulasi TKDA itu bisa mengambil produk-produk
dari dalam negeri Indonesia dan tidak mengimpor dari negara asalnya,”ujarnya.
Ria menambahkan, kedepan
pihaknya fokus pada produk-produk hilirsasi turunan produk timah yang selama
ini belum bisa diproduksi di PT Timah Industri karena teknologi untuk
memproduksinya saat ini di dunia belum ada atau masih minim. Selain melihat
kebutuhan pasar, baik di luar maupun dalam negeri, untuk mengembangkan
produk-produk baru kedepan PT Timah Industri juga akan melihat penggunaan
teknologinya.
Suara
positif atas hilirisasi pertambangan termasuk yang kini dilakukan PT Timah Tbk
datang dari lembaga legislatif. Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya
menilai kebijakan hilirisasi yang telah dijalankan saat ini bukan slogan kosong
melainkan sudah dibuktikan dalam tindakan kongkrit sebagai wujud transformasi
ekonomi nasional.
“Hilirisasi itu bukan
sekadar wacana ya. Hilirisasi ini adalah bentuk dari transformasi ekonomi
Indonesia, dari yang tadinya berbasis komoditas menjadi minimal pengolahan
barang setengah jadi,” kata Bambang dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu
(19/10/2025).
Dalam pandangan Bambang,
hilirisasi menjadi implementasi untuk mewujudkan Asta Cita kelima Presiden
Prabowo Subianto, yakni melanjutkan hilirisasi dan melaksanakan industrialisasi
untuk memperkuat ekonomi dalam negeri. Atas hal itu DPR akan terus berkomitmen
mengawal pelaksanaan kebijakan tersebut secara kontinyu dan berkelanjutan.
Sedangkan pengamat energi
Fahmy Fadhi mengatakan, hilirisasi memang proses yang wajib dilakukan oleh PT
Timah Tbk saat ini. Hilirisasi itu konteksnya harus menghasilkan beragam nilai
tambah khususnya dalam produk-produk turunan dari timah batangan (ingot).
Selain nilai tambah, hal penting lain yang perlu dilakukan dalam hilirisasi
timah adalah membangun ekosistem industrinya.
“Kita harus mendorong PT
Timah untuk membuat pabrik baru untuk mengolah produk-produk turunan itu
sehingga produk turunan itu bisa dimanfaatkan atau diserap oleh industri lain.
Dengan demikian akan terbangun ekosistem hilirisasi dimana di situ juga akan
membuka banyak lapangan kerja,” ujar Fahmi, Jumat (31/10).
Menurut Fahmi, proses hilirisasi yang dilakukan PT Timah Tbk tidak bisa dilakukan sendirian karena perlu dukungan pemerintah di dalamnya. Sejauh ini peran pemerintah dalam mengakselerasi hilirisasi dinilai belum maksimal. Dia mengusulkan selain segi regulasi, pemerintah hendaknya bisa membut road map/peta jalan terkait pengolahan produk-produk turunan timah.
“Jadi dalam road map itu
harus ada di dalamnya bagaimana produk turunan yang dihasilkan itu bisa terkait
atau nyambung dengan industri-industri lain sehingga dengan sendirinya akan
terbangun ekosistem industrinya,”katanya
Fahmy menyebut, untuk
menghidupkan ekosistem industri dari produk turunan timah tersebut memang tidak
mudah. Selain perlu payung hukum berupa regulasi, pemerintah disarankan juga
perlu memberikan insentif maupun kemudahan-kemudahan bagi investor yang akan
berperan dalam ekosistem industri produk turunan timah tersebut.
“Berikan insentif kepada
investor yang akan masuk. Misalnya pembebasan pajak impor dll. Dan paling penting
insentif fiscal karena hal itu akan sangat membantu investor untuk menekan
biaya produksi,” tambah dosen UGM ini. (Wahyono)
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

