Jejak Kerja Paksa Awak Kapal Indonesia di Kapal Taiwan dalam Produk Tuna Kalengan
Laporan Investigasi Greenpeace dan SBMI

By PorosBumi 10 Des 2024, 18:38:12 WIB Nadi Negeri
Jejak Kerja Paksa Awak Kapal Indonesia di Kapal Taiwan dalam Produk Tuna Kalengan

JAKARTA – Laporan terbaru Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), “Netting Profits, Risking Lives: The Unresolved Human and Environmental Exploitation at Sea”, mengungkap dugaan praktik kerja paksa dan eksploitasi finansial yang dialami para awak kapal perikanan (AKP) migran Indonesia di kapal ikan jarak jauh berbendera Taiwan.

Laporan ini menganalisis 10 kasus berdasarkan aduan yang diterima SBMI dari nelayan migran Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera Taiwan sejak 2019 hingga 2024. Tim investigasi menemukan benang merah yang menghubungkan dugaan praktik kerja paksa di kapal dengan industri tuna kalengan yang beroperasi di Amerika Serikat. Tim juga berhasil mengidentifikasi adanya dugaan peran agen perekrutan di Indonesia yang turut mendapatkan keuntungan dari penderitaan AKP migran.

“Alih-alih mendapatkan penghidupan layak, saudara-saudara kita para nelayan migran Indonesia justru menjadi korban perbudakan modern. Permasalahan ini sudah lama terjadi, tetapi pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan lainnya terkesan tidak berupaya untuk membenahi pelindungan, bahkan cenderung membiarkan. Pembiaran adalah pelanggaran serius hak asasi manusia,” kata Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI.

Baca Lainnya :

Diluncurkan dalam rangka menyambut hari HAM Sedunia yang jatuh pada 10 Desember, berikut sejumlah sorotan utama dari laporan ini:

Perbudakan Modern di Laut

-         AKP migran Indonesia melaporkan beragam praktik kerja paksa menurut indikator kerja paksa Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), di antaranya penipuan (100%), penahanan dokumen identitas pribadi (100%), penyalahgunaan kerentanan (92%), dan jeratan utang (92%).

Eksploitasi Finansial

-         Para nelayan migran mengaku secara ilegal diminta membayar biaya perekrutan, sekitar USD491-US$1.950 atau Rp7.657.039-Rp31.042.050 (kurs USD1 = Rp15.919,00), setara dengan 1-4 kali gaji per bulan yang dijanjikan pada mereka. Hal ini bertentangan dengan ketentuan di UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

-         Upah ditahan hingga 20 bulan, menyebabkan mereka tak berpenghasilan dan menempatkan ekonomi keluarga mereka dalam kondisi kritis.

-         Dalam satu kasus, seorang pekerja dengan cedera mata tidak menerima kompensasi asuransi medis yang setara dengan nilai 25 kali lipat gaji per bulannya.

Perikanan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur (IUU Fishing)

-         Enam dari 12 kapal berbendera Taiwan terindikasi melakukan kegiatan IUU Fishing, di antaranya berupa transshipment ilegal, beroperasi tanpa izin di luar yurisdiksi yang semestinya, dan menangkap ikan di kawasan konservasi.

-         Transshipment, atau pemindahan muatan di tengah laut, kerap dibarengi dengan mematikan sistem AIS (Automatic Identification System) kapal untuk menyembunyikan aktivitasnya.

-         Para nelayan juga melaporkan praktik shark finning yang secara global sudah dilarang secara masif, di mana sirip hiu dipotong dan tubuh hiu dibuang kembali ke laut.

Keterlibatan Merek Global

-         Empat kapal teridentifikasi terhubung dengan merek tuna kalengan Amerika Serikat (AS), Bumble Bee, yang dimiliki oleh perusahaan bisnis tuna Taiwan, FCF. Kapal-kapal ini adalah Chaan Ying, Guan Wang, Shin Lian Fa No. 168, dan Sheng Ching Fa No. 96.

-         Kapal-kapal tersebut tercatat memasok hasil tangkapan ke Bumble Bee sebanyak beberapa kali dan selama beberapa tahun–mengindikasikan relasi bisnis yang langgeng di antara kedua belah pihak.

Selama satu dekade terakhir, Greenpeace Indonesia dan SBMI telah bekerja sama dalam mengungkap dugaan praktik pelanggaran hak pekerja ini dan mendorong pemerintah Indonesia melakukan perbaikan. Laporan ini merupakan seri ketiga dari laporan investigasi serupa yang terbit pada 2019 dan 2021.

Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI mendesak pemerintah Indonesia, Taiwan, dan AS untuk mengambil langkah konkret, yakni memperketat kebijakan dan regulasi industri perikanan; memastikan korporasi bertanggung jawab atas praktik tidak manusiawi dan tidak berkelanjutan; menyediakan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi pekerja migran, termasuk mekanisme pengaduan yang efektif dan transparan; serta membangun industri seafood global yang adil, manusiawi, dan lestari.

“Temuan yang terungkap dalam laporan ini bisa jadi adalah fenomena gunung es. Oleh sebab itu, Greenpeace dan SBMI akan terus melakukan investigasi guna mengungkap lebih banyak sisi kelam industri perikanan global. Tujuannya tentu untuk mendorong transformasi ke arah yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih berkelanjutan bagi masa depan para nelayan, konsumen, dan laut kita,” kata Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Senior Greenpeace Asia Tenggara. (rel)

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment