- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
Menuju Tuhan melalui Pengetahuan dan Tindakan
Resensi Buku
Ahmad Sahidah
Pengajar Filsafat Ta’wil Universitas Nurul Jadid
Baca Lainnya :
ULASAN ini merupakan prolog dari buku
yang ditulis oleh kiai, pendidik, politisi, dan kini bupati. Pembahasan tentang
hubungan antara filsafat dan tasawuf, dua pendekatan utama dalam pemikiran
Islam, menarik perhatian banyak pemikir. Tasawuf, yang berfokus pada pendekatan
hati untuk mendekati kebenaran, menjadi salah satu jalan spiritual yang penting
dalam sejarah Islam. Berbeda dengan filsafat yang menggunakan refleksi rasional
dan empiris, tasawuf menawarkan jalan batiniah yang lebih personal dan
emosional dalam mendekati Tuhan.
Bagaimanapun, kita dapat melihat bagaimana tasawuf
berkembang sejak zaman Rasulullah, hingga kemudian menjadi disiplin ilmu yang
mapan dengan peristilahan dan konsep yang berkembang secara sistematis.
Tokoh-tokoh awal seperti Abu Hashim, al-Muhasibi, dan al-Junaid memainkan peran
penting dalam merumuskan dasar-dasar pemikiran tasawuf. Hingga saat ini,
karya-karya mereka senantiasa menjadi rujukan utama dalam kajian spiritualisme
dan mistisisme Islam.
Namun demikian, tasawuf bukanlah praktik yang terpisah dari
pemikiran filsafat, tetapi keduanya sering saling terkait dan bahkan saling
menopang. Salah satu contoh tokoh yang menggabungkan dua pendekatan ini adalah
Ibn Sina, yang dikenal luas sebagai filsuf besar namun juga memiliki dimensi
pemikiran tasawuf yang mendalam.
Karyanya, al-Isyārāt wa al-Tanbīhāt, yang menjadi
kajian dalam buku ini, tidak hanya membahas filsafat tetapi juga menyentuh
aspek-aspek spiritual yang menunjukkan kesadaran dan perjalanan batin manusia
menuju Tuhan. Tasawuf dan filsafat dapat berjalan beriringan. Untuk itu, adalah
penting untuk memahami keduanya agar mendapatkan pandangan yang lebih
menyeluruh tentang pencarian kebenaran dalam Islam.
Untuk memahami pemikiran Ibn Sina atau Avicenna, nama yang
dikenal di Eropa, kita perlu mengungkai sejarahnya. Ibn Sina lahir di Afsyanat,
Bukhara, pada 980 M dan tumbuh di keluarga yang kaya dan terpelajar. Pendidikan
awalnya meliputi penghafalan Alquran, bahasa Arab, dan fikih. Sejak usia muda,
ia mempelajari logika, geometri, astronomi, serta filsafat Yunani, dan akhirnya
menguasai berbagai disiplin ilmu, termasuk kedokteran. Di usia 16 tahun, ia
sudah mampu mengajar dan mempraktikkan ilmu kedokteran. Ibn Sīnā wafat di
Hamadan pada 1037 M.
Salah satu fase hidup yang melonjakkan karir intelektualnya
adalah ketika Ibn Sina mengobati seorang amir Samaniyah, yang memberi akses ke
perpustakaan kerajaan, dan dari sini memperkaya wawasannya. Setelah keruntuhan
Dinasti Samaniyah, ia pindah ke berbagai kota, bekerja sebagai dokter dan
penasehat kerajaan. Di setiap fase hidupnya, meskipun sibuk dengan tugas-tugas
kenegaraan, ia tetap produktif menulis berbagai karya, di antaranya Al-Qānūn
fī al-Ṭibb, ensiklopedia kedokteran yang menjadi rujukan di Eropa selama
lima abad, dan Al-Syifā', ensiklopedia filosofis.
Sebelum mengulas inti dari pandangan filsuf dari Persia
tersebut, dalam buku ini tasawuf diurai secara komprehensif, mulai dari
asal-usul kata, pengertian, hingga perkembangannya dalam sejarah Islam.
Beberapa teori mengenai asal kata tasawuf mencakup istilah sūf (wol)
yang merujuk pada pakaian kasar yang dikenakan oleh para zahid sebagai simbol
penolakan terhadap kemewahan, suffah yang berarti serambi masjid,
merujuk pada ahl al-suffah yang hidup sederhana, serta safā yang berarti
kebersihan hati.
Definisi tasawuf sendiri bervariasi tergantung pada tokoh
yang memberikan penjelasan. Beberapa di antaranya mengartikan tasawuf sebagai
pengabdian penuh kepada Tuhan, sementara yang lain menekankan pada proses
spiritual yang melibatkan penyucian diri dan cinta kepada Tuhan. Tasawuf
berkembang dari gerakan zuhud yang muncul pada akhir abad pertama hingga awal
abad kedua Hijriah sebagai bentuk protes terhadap gaya hidup mewah para
penguasa Muslim.
Pada abad ketiga hingga keempat Hijriah, tasawuf mulai
berkembang menjadi lebih sistematis dengan konsep-konsep spiritual seperti maqām
(tingkatan spiritual) dan hal (kondisi spiritual). Selanjutnya, pada abad
keenam Hijriah, tasawuf memasuki fase falsafi, di mana unsur-unsur filsafat
mulai dikombinasikan dengan visi mistis, yang menimbulkan perdebatan di
kalangan ulama. Fase terakhir dari perkembangan tasawuf adalah fase tarekat
yang dimulai pada abad ketujuh Hijriah, di mana tarekat-tarekat sufi seperti
Qadiriyyah dan Rifa’iyyah tumbuh dan berkembang pesat.
Konsep maqām tersebut merujuk pada tingkatan
spiritual yang ditempuh melalui usaha pribadi seperti taubat, sabar, dan
tawakkal, sementara hal merupakan kondisi spiritual yang dianugerahkan Tuhan
secara temporer seperti cinta dan kerinduan. Tasawuf secara keseluruhan
menggambarkan jalan spiritual menuju Tuhan melalui disiplin diri dan
latihan-latihan spiritual yang mendalam.
Dari seluruh uraian tentang gagasannya, pandangan Ibn Sīnā
tentang kebahagiaan perlu disimak, karena ia memiliki kaitan erat dengan
pencapaian kenikmatan yang dipahami sebagai perolehan terhadap sesuatu yang
dianggap baik (al-khair) dan sempurna (al-kamal), dan kenyataannya memang
demikian. Perspektif ini lebih selaras dengan pemikiran filsafat daripada
tasawuf. Abū al-‘Alā al-‘Afīfī mengaitkan pandangan Ibn Sina tentang
kebahagiaan dan kesempurnaan dalam kitab al-Isyārāt dengan pemikiran
Aristoteles tentang eudaimonia.
Dalam filsafat, kebahagiaan adalah kebalikan dari kemalangan
dan melambangkan ketenangan jiwa yang sempurna karena diperolehnya kebaikan.
Aristoteles menggambarkan kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi (al-khair
al-a’lā) dan menegaskan bahwa pencapaian kenikmatan adalah syarat mutlak
kebahagiaan. Jadi, kebahagiaan tidak perlu diburu, karena dengan berbuat
kebaikan dan menghadirkan ketentraman hati, seseorang meraih kebahagiaan.
Namun, Ibn Sina memandang kebahagiaan terjadi pada akal,
bukan jiwa. Kebahagiaan yang berkaitan dengan jiwa dipandang dari perspektif
jiwa sebagai entitas yang berakal dan memahami, bukan sebagai entitas yang
mencintai atau lebur dalam apa yang dicintai. Pandangan ini berbeda dengan
tasawuf yang sering memaknai kebahagiaan sebagai pancaran keelokan dalam jiwa
yang mendalam.
Berdasarkan pandangannya tentang tasawuf falsafi, konsep ‘isyq
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dalam segala tingkatan substansi
(Jawhar) untuk menjelaskan ukuran kebahagiaan. Demikian pula, Ibn Sina
mengangkat term-term tentang pembahasan jiwa ke dalam pembahasannya mengenai
kebahagiaan atau pembuktian karamat dan khawāriq al-adat. Demikian pula
ketika harus membuktikan obyektifitas aḥwal dan maqāmat para arif, dalam
arti bahwa kenyataan tersebut sebagai kenyataan obyektif yang ada di bawah
hukum alam, melalui penjelasan ilmu alam.
Dengan demikian, bahasan tasawuf dalam kajian Ibn Sina,
lebih dekat kepada tasawuf dalam pengertian al-madzhab al-sufi daripada al-ḥāl
al-sufi. Al-madzhab al-sufi mempunyai pengertian metode rasional yang
disandarkan kepada pemikiran murni dan pengertian yang jelas antara yang
memahami dan yang dipahami. Sedangkan l-ḥāl al-sufi dapat dideskripsikan
sebagai pengertian yang datang di dalam hati dengan tanpa sengaja, dengan tanpa
upaya dan usaha yang terjadi pada sufi.
Akhirnya, kehadiran buku ini bisa menjadi rujukan bagi
banyak orang untuk menelusuri secara saksama perenungan salah seorang filsuf
terbesar dunia Islam yang pengaruhnya terasa hingga kini. Pembacaan penulis
terhadap buku utama akan mendekatkan pembaca pada ide asli dari tokoh yang
dikaji. Selain itu, karya-karya utama tentang tasawuf, baik Barat dan Islam,
yang dijadikan bahan sumber tambahan semakin menempatkan buku ini sebagai
kajian kesarjanaan yang serius dan kritis.
Penulis :
KH. Abdul Hamid Wahid
Judul :
Konsep Tasawuf Ibn Sina dalam al-Isyārāt wa al-Tanbīhāt
Penerbit :
NURJA Press
Cetakan :
2024
Tebal :
xxiii + 142 halaman