- Terobos Genangan Banjir, Prabowo Tegaskan Pemerintah Senantiasa Hadir dan Membantu Masyarakat
- Mudik Lebaran PT KAI Sediakan 4,5 Juta Tiket, Sebanyak 2,7 Juta Kelas Ekonomi Tarif Terjangkau
- Mengangkat Lerak dari Tanah Cepu ke Panggung Global, Perkuat Ekonomi Petani Melalui Alira Alura
- KKP Luncurkan Dua Buku Kehidupan Masyarakat Pesisir
- KKP Genjot Produksi Perikanan Budi Daya Penuhi Kebutuhan Ramadan hingga Lebaran
- Kementerian PU Gerak Cepat Tangani Jalan Amblas di Lintas Jambi-Sumbar
- Percepat Swasembada Pangan, Mentan Amran Bidik Sumsel Jadi Tiga Besar Produsen Beras Nasional
- Banjir Jabodetabek Bukti Nyata Rentannya Indonesia dalam Ancaman Krisis Iklim
- Teknologi China Mencengkram Dunia, Kuasai 37 dari 44 Sektor Sains
- Keterlibatan Masyarakat Diperlukan dalam Membangun Lintasan Ikan
Negara

Keterangan Gambar : Wahyono Sukoharyo
HARI-hari
ini Bangsa Indonesia seperti kehilangan sebuah negara, nir pemerintah hingga
nihil pemimpin. Ya, negara, entitas politik yang dalam rezim demokrasi sejak
Plato telah diberi wewenang untuk mengatur urusan rakyat itu hari hari ini
seolah absen, alpa, lenyap entah kemana. Rakyat sebagai ‘tuan’ sebenarnya dari
sebuah negara, dibuat masygul, was-was dan merasa ‘ditinggalkan’.
Persoalan kembali merajalelanya korupsi, pelemahan
KPK, pagar laut tak bertuan hingga ontran-ontrak kelangkaan gas elpiji 3 kilogram hanya sedikit contoh
bagaimana rakyat sang pemilik sejati kedaulatan hari ini seolah kehilangan
orang yang diamanahi mandat kekuasaan yakni negara.
Padahal rakyat bangsa ini setiap lima tahun sekali
selalu memberi kepercayaan kepada entitas bernama negara untuk memimpin, mengatur,
melindungi dan membuat sejahtera ‘demos’, sang rakyat yang akrab disebut dalam Bahasa
Demokrasi.
Baca Lainnya :
- Pagar0
- Menakar Kunci Sukses Swasembada Pangan0
- KKP Segel 453 Ton Bahan Baku Pakan Ikan dari Luar Negeri0
- Hentikan Penggusuran Wilayah Adat Nanghale dan Operasi Ilegal PT Krisrama0
- Referensi Daftar SNBP 2025, Ini 5 PTN dengan Jurusan Akuntansi Terbaik0
Paham Demokrasi mendalilkan bahwa negara merupakan
representasi rakyat. Atau dalam Bahasa MPR era Orde Baru, sejatinya negara
merupakan penjelmaaan rakyat, mandataris rakyat. Sang mandataris harus bekerja
dan berikhtiar sesuai apa yang diinginkan rakyat. Alih-alih bekerja menurut
kehendak rakyat, negara hari hari ini sangat jauh dari karakter seorang
mandataris, seorang wakil maupun kepanjangan tangan dari sebuah ‘demos’. Negara
seolah bertindak sendiri lepas dari keinginan sang empunya kepercayaan yakni
rakyat.
Salah
satu begawan demokrasi Plato pernah berpendapat bahwa negara dibentuk oleh
rakyat karena keinginan dan kebutuhannya. Bagi Plato
negara dan manusia memiliki persamaan, oleh sebab itu masalah moralitas
haruslah merupakan yang paling utama yang harus diperhatikan dalam kehidupan bernegara,
bahkan harus menjadi paling hakiki dalam keberadaan hidup para penguasa dan
seluruh
warga negara selaku manusia. Negara ideal menurut
Plato adalah suatu komunitas etikal untuk mencapai kebajikan dan kebaikan.
Para ahli politik era modern baik dari Anglo Saxon
maupun Eropa Kontinental menyebutkan bahwa secara leksikal setidak ada dua
pengertinan negara yakni: 1) organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, 2) kelompok sosial yang
memiliki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasikan di bawah lembaga
politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat,
sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.
Jika melihat definisi dari Plato maupun para ahli di
era modern, salah satu kesimpulan tentang apa itu negara adalah sebuah kekuatan
yang memiliki otoritas dan wewenang legal untuk ditaati oleh rakyat dengan
landasan moralitas dan kebajikan.
Dalam konteks polemik pagar laut maupun kisruh gas
elpiji ‘melon’apakah adanya negara seperti definisi Plato maupun para ahli
politik modern memang ada di Indonesia? Jika negara diartikan sebagai entitas
yang memiliki otoritas legal dan wilayah, tentu kehadiran negara bisa dirasakan
bangsa ini. Tapi jika ditarik lebih luas apakah jejak dan eksistensi negara itu
juga berpegang teguh pada moralitas dan kebajikan yang itu bisa dirasakan rakyat,
tentu masih debatable.
Faktanya, meski kehadiran negara secara eksplisit telah
tertulis secara jelas di Undang-Undang Dasar 1945 namun realitasnya dalam kasus
pagar laut maupun kagaduhan soal distribusi gas elpiji 3 kg akhir-akhir ini,
kehadiran negara justru disanksikan.
Negara seolah tidak berpijak di bumi dan berjarak dengan masyarakat, terpisah dengan ‘demos’. Lalu dimana sebenarnya negara, entitas yang telah diberi amanah kekuasaan di setiap lima tahun ritual Pemilu itu berada akhir-akhir ini? Apa iya negara ini telah hilang di tela bumi ‘mati’ seperti halnya yang pernah didengungkan Nietszche bahwa Tuhan juga telah ‘mati’?
