- Terobos Genangan Banjir, Prabowo Tegaskan Pemerintah Senantiasa Hadir dan Membantu Masyarakat
- Mudik Lebaran PT KAI Sediakan 4,5 Juta Tiket, Sebanyak 2,7 Juta Kelas Ekonomi Tarif Terjangkau
- Mengangkat Lerak dari Tanah Cepu ke Panggung Global, Perkuat Ekonomi Petani Melalui Alira Alura
- KKP Luncurkan Dua Buku Kehidupan Masyarakat Pesisir
- KKP Genjot Produksi Perikanan Budi Daya Penuhi Kebutuhan Ramadan hingga Lebaran
- Kementerian PU Gerak Cepat Tangani Jalan Amblas di Lintas Jambi-Sumbar
- Percepat Swasembada Pangan, Mentan Amran Bidik Sumsel Jadi Tiga Besar Produsen Beras Nasional
- Banjir Jabodetabek Bukti Nyata Rentannya Indonesia dalam Ancaman Krisis Iklim
- Teknologi China Mencengkram Dunia, Kuasai 37 dari 44 Sektor Sains
- Keterlibatan Masyarakat Diperlukan dalam Membangun Lintasan Ikan
RUU Minerba Disahkan, Bukti Senayan Panggung Sirkus untuk Berbisnis

JAKARTA - Revisi Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara (Minerba) disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-13
Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025. Ini menjadi momentum bersejarah
yang menguatkan indikasi gedung DPR hanya menjadi panggung sirkus bagi para
pencoleng untuk bertransaksi kepentingan, utamanya kepentingan berbisnis sumber
daya alam.
Sebelumnya pada Senin, 17 Februari 2025, seluruh fraksi di
DPR menyetujui revisi ketiga UU Minerba bersama dengan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) dan pemerintah yang diwakili Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Bahlil Lahadalia, dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Artinya, tak
ada satu pun anggota DPR yang mengklaim sebagai wakil rakyat, benar-benar
bertindak mewakili rakyat, khususnya yang menjadi korban tambang selama puluhan
tahun.
Kangkangi Hukum demi Revisi Pesanan
Baca Lainnya :
- 63 Ekor Ikan Predator di Jakarta Timur Dimusnahkan0
- Gaya Asyik Budiman Sudjatmiko Ngobrol Seru Dengan Wartawan Soal Pengentasan Kemiskinan di Indonesia0
- Vonis Tertinggi Sepanjang Sejarah, 6 Pemburu Badak Jawa Diganjar 11-12 Tahun Penjara0
- Terbesar Sepanjang 15 Tahun Terakhir, PHE Catat Temuan Sumberdaya Kontigen0
- Premanisme Oknum Ormas Hambat Investasi, Kadin Desak Reformasi Sistem dan Penindakan Tegas0
Proses revisi usulan DPR ini jauh dari kata transparan dan
dilakukan secara ugal-ugalan nan sembrono. Selain tak melibatkan partisipasi
publik, agenda revisi UU Minerba tersebut tidak termasuk dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Prolegnas Prioritas. Pada 2024 lalu, DPR
menetapkan 176 RUU masuk ke dalam Prolegnas 2024-2029, 41 di antaranya
dikategorikan prioritas, namun tak ada revisi UU Minerba di dalamnya.
Apabila DPR benar-benar bertindak mewakili rakyat dan
mendengarkan suara rakyat secara sungguh-sungguh, revisi UU Minerba tidak akan
memasukkan pasal-pasal bermasalah. Selain itu, masih banyak RUU mendesak yang
perlu dikebut pengesahannya seperti Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah
Tangga yang telah dirancang sejak 21 tahun lalu, RUU Masyarakat Adat, serta RUU
Perampasan Aset yang kini berganti menjadi RUU Pemulihan Aset.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan dalam rapat
pleno pengambilan keputusan tingkat satu RUU Minerba mengatakan revisi ini
tidak dibuat secara tergesa-gesa. Namun, tindak-tanduk DPR sebagai pengusul
revisi menunjukkan sebaliknya. Panja RUU Minerba melakukan pengkajian Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM) bersama pemerintah dan DPD selama sepekan terakhir
nyaris tanpa jeda.
Menurut pantauan JATAM, rapat pembahasan DIM dan
penyempurnaan redaksional isi RUU Minerba berlangsung pada 12, 13, 14, 15
Februari hingga larut malam dan selalu berlangsung secara tertutup. Adapun RUU
Minerba secara mendadak dibahas pertama kali di Baleg pada Senin, 20 Januari
2025, juga dilakukan secara tertutup di tengah masa reses. Keesokan harinya,
Selasa, 21 Januari 2025, RUU ini ditetapkan menjadi usulan inisiatif DPR dalam
rapat tertutup.
Usulan ini dibawa ke dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis,
23 Januari 2025 yang secara resmi menyetujui RUU Minerba untuk dibahas menjadi
undang-undang. Tak sampai sebulan, pada Rabu, 12 Februari 2025, Baleg membentuk
panitia kerja (panja) untuk membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam
RUU Minerba yang diserahkan oleh pemerintah dan DPD, lagi-lagi dalam pertemuan
tertutup. Tak sampai sebulan, rapat-rapat tertutup ini membuahkan rancangan
yang disahkan menjadi undang-undang pada hari ini, Selasa, 18 Februari 2025.
Rapat-rapat tertutup antara pemerintah, DPD, DPR menunjukkan
undang-undang ini dibuat bukan untuk rakyat, melainkan untuk kepentingan tiga
lembaga tersebut yang merupakan kaki tangan para oligarki tambang. Selain itu,
penyusunannya melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang mengharuskan adanya keterbukaan, yang diatur dalam
Pasal 5.
Penyusunan revisi UU Minerba oleh gerombolan sirkus Senayan
ini juga melanggar hierarki hukum yang tercantum dalam Pasal 7. Sebab, revisi
yang diajukan oleh DPR tersebut bertujuan untuk mengakomodir Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang mengatur pemberian jatah konsesi kepada
ormas keagamaan. Artinya, pemerintah dan DPR sedang berupaya mengakomodir
peraturan yang kedudukannya lebih rendah daripada UU agar seolah-olah memiliki
legitimasi kepastian hukum.
PP ini diakomodir dalam Pasal 60 yang mengatur pemberian
Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) batu bara kepada ormas keagamaan, yang
kemudian diperluas kepada koperasi, perusahaan perorangan, serta badan usaha
kecil dan menengah (UMKM). Pemberian WIUP kepada entitas bisnis ini dilakukan
secara prioritas dengan dalih untuk menguatkan fungsi ekonomi ormas keagamaan,
serta pemberdayaan koperasi dan UMKM. Selain itu, dibuka pula ruang untuk ikut
mengelola tambang mineral seperti yang diatur dalam Pasal 51.
Sehingga secara prinsip, penerbitan revisi UU Minerba untuk
mengakomodir PP melanggar asas lex superior derogat legi inferiori (peraturan
hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi).
Penerabasan prinsip ini diduga sudah disepakati sebelumnya di luar rapat-rapat
Baleg. Ini menunjukkan DPR dan pemerintah telah bersepakat untuk mengangkangi
dan menginjak-injak hukum yang berlaku di NKRI.
Menebalkan Kebohongan demi Cuan Tambang
Kebohongan tersebut menyingkap tabir ketamakan para oligarki
tambang yang bersemayam di balik lembaga DPR, pemerintah, dan DPD. Dalam
rancangan awal RUU Minerba, sebelum dibahas bersama dengan pemerintah dan DPD,
ormas keagamaan hanya diberikan jatah konsesi batu bara. Sedangkan perguruan
tinggi, koperasi, dan perusahaan perorangan, diberikan jatah konsesi mineral
logam.
Namun setelah pembahasan selama empat hari berturut-turut,
seluruh entitas bisnis tersebut dapat menambang batu bara juga mineral logam,
seperti diatur dalam Pasal 51 dan Pasal 60. Dengan kata lain, siapa saja bisa
menambang batu bara dan mineral logam di Indonesia, asal memiliki badan usaha
berbadan hukum. Adapun komoditas yang dikategorikan mineral logam antara lain
nikel, emas, bauksit, timah, tembaga, perak.
Selain berbohong mengenai proses yang tidak tergesa-gesa,
DPR dan pemerintah juga berbohong mengenai pelibatan kampus dalam bisnis
tambang. Dalam konferensi pers usai rapat pleno pengesahan tahap satu, Menteri
Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan DPR dan pemerintah sepakat batal
memberikan konsesi kepada perguruan tinggi dan seolah-olah mendengarkan masukan
publik untuk tidak melibatkan kampus dalam bisnis tambang.
Namun, pembatalan tersebut tidak serta-merta menggugurkan
niat pemerintah 'menjebak' kampus ke dalam bisnis tambang mineral dan batu
bara. DPR dan pemerintah hanya menggeser posisi kampus dari sebagai penerima
konsesi menjadi penerima manfaat melalui skema perjanjian kerja sama seperti
yang diatur dalam Pasal 51A dan Pasal 60A.
Dalam Pasal 51A disebutkan:
“Dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi,
Pemerintah Pusat memberikan WIUP Mineral logam dengan cara prioritas kepada
BUMN, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta untuk kepentingan
perguruan tinggi.”
Pasal 60A menyebutkan:
“Dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi,
Pemerintah Pusat memberikan WIUP Batubara dengan cara prioritas kepada BUMN,
badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan
tinggi.”
Ini merupakan perangkap bagi kampus yang disediakan
pemerintah dan DPR. Kampus-kampus yang selama ini mengusung konsep green campus
dan selalu menggunakan parameter Sustainable Development Goals (SDG’s) sudah
selayaknya malu menerima manfaat dari tambang.
Bagi pebisnis tambang, posisi kampus hanya menjadi ‘stempel’
legitimasi moral dan intelektual agar aktivitas penambangan terlihat
seolah-olah bersih, berkelanjutan, dan mengedepankan kemaslahatan masyarakat.
Padahal, daya rusak yang ditimbulkan oleh industri tambang bersifat
multidimensional dan tak dapat dipulihkan.
Kebohongan lainnya adalah pernyataan revisi mendesak
dilakukan untuk menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara
37/PUU-XIX/2021 yang menguji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap
UUD 1945.
Dalam revisi UU ini, dari 26 perubahan, hanya dua perubahan yang mengakomodir putusan MK, yaitu di Pasal 17A dan Pasal 31A. Perubahan terbanyak adalah pengaturan pemberian ruang kepada koperasi dan usaha kecil dan menengah (UMKM), ormas keagamaan, kampus, untuk berbisnis tambang. (rel)
