- Kisah Tragis Fientje de Feniks: Pelacur Batavia yang Mati di Kali Baru
- AHY: Ini Call to Action, Kita Tidak Tinggal Diam Saat Bumi Terluka
- Serahkan 326 Akta Notaris Kopdes, Mendes Optimistis Serap Tenaga Kerja Produktif di Desa
- Menhut Gagas Syarat Pendakian Berdasar Level Kesulitan Suatu Gunung
- Komisi V DPR RI Desak Kawasan Transmigrasi Dibebaskan Dari Kawasan Hutan
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan
- Greenpeace Dorong Tanggung Jawab Produsen untuk Lebih Serius Menangani Sampah Plastik
- Produksi Beras Nasional Januari-Agustus 2025 Capai 29,97 Juta Ton, Naik 14,09 Persen
- Mentan: 212 Produsen Beras Bermasalah Telah Dilaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS
Kisah Tragis Fientje de Feniks: Pelacur Batavia yang Mati di Kali Baru

BATAVIA, 1893. Kota pelabuhan yang pengap, sarat debu dan aroma anyir kanal yang menggenangi pemukiman. Di sebuah rumah tumpangan dekat Pasar Baru, lahirlah seorang bayi perempuan. Ia separuh Eropa, separuh pribumi. Kulitnya cerah kecoklatan, matanya bulat polos, hidungnya mancung seakan mengejek garis batas ras.
Tak ada catatan siapa ayahnya. Tak ada kabar siapa ibunya. Ia datang ke dunia seperti barang hilang yang kebetulan ditemukan di pinggir jalan. Orang-orang hanya berbisik pelan dari sejak bocah:
“Kelak dia akan jadi gadis paling laku di Batavia.” Ramalan itu bukan sekadar ramalan. Itu vonis yang menunggu dijalankan.
Gadis yang Menjadi Fenomena
Belum genap 19 tahun, nama Fientje de Feniks sudah jadi buah bibir. Dia bukan sekadar pelacur. Dia legenda hidup di gang sempit rumah bordil Oemar Ompong, dekat Stasiun Pasar Senen.
Kaum berduit antre demi satu malam bersamanya. Opsir Kumpeni, saudagar Arab, pejabat Hindia Belanda semuanya berebut. Tarifnya tidak masuk akal. Tapi harga hanya angka bagi lelaki yang merasa kuasa adalah hak warisan.
“Jika kau belum pernah menyentuh Fientje,” kata mereka, “kau belum pantas disebut pria.”
Di balik kilau kebaya sutra dan tawa pura-pura, ada jiwa kosong yang setiap malam digerogoti sepi. Fientje tahu, tak seorang pun datang karena cinta. Dia pun sudah terlalu lama berhenti mencintai dirinya sendiri.
Malam yang Mengubah Segalanya
17 Mei 1912. Malam basah oleh hujan yang turun seakan tak mau berhenti. Di balik dinding bambu, Rosna teman satu rumah terbangun oleh suara ribut. Suara isak Fientje yang bercampur makian liar.
Brinkman berdiri di sana. Tubuhnya tinggi besar. Matanya menyala marah. Dia bukan pelanggan biasa. Dia anggota Societeit Concordia, klub paling bergengsi, paling pongah. Malam itu ia datang membawa satu tuntutan:
“Kau tak boleh tidur dengan lelaki lain lagi!”
Suara Fientje parau, pecah di dada: “Lebih baik aku jadi pelacur selamanya… daripada jadi peliharaanmu.”
Kata-kata itu menikam harga dirinya, harga diri seorang Belanda yang percaya Batavia ada untuk ditaklukkan.
Jeritan yang Terkubur Hujan
Pertengkaran berubah jadi kegilaan. Rosna bersembunyi di sudut bilik, gemetar. Dari celah anyaman bambu, ia menyaksikan Brinkman merengkuh leher Fientje dengan kedua tangannya. Tak ada ragu. Tak ada ampun.
Fientje meronta. Matanya membelalak, bibirnya membuka, tak sempat merapal doa. Satu helaan napas terakhir meloloskan dirinya dari siksaan yang entah sudah berapa lama mengintai.
Semua terjadi cepat. Terlalu cepat. Dalam sekali entakan, Fientje padam. Sunyi mendadak terasa lebih menusuk daripada jeritan.
Mayat di Kali Baru
Esok paginya, Kali Baru jadi panggung tontonan. Di pintu air, warga menemukan karung basah yang tersangkut. Begitu dibuka, bau busuk menguar. Sesosok tubuh perempuan muda wajahnya rusak, rambutnya terurai bercampur lumpur. Sarung dan kebaya masih melekat pada jasad yang dulu dielu-elukan.
Orang-orang berbisik, takut. Mungkin wanita Tionghoa yang hilang. Mungkin korban santet. Tapi polisi memastikan. “Itu… Fientje de Feniks.”
Dalam sehari, nama yang dulu dijunjung lelaki-lelaki bejat itu berubah jadi bahan gosip murahan. Media kolonial berlomba membuat judul paling bombastis. Het Nieuws van den Dag, Soerabaische Handelsblad semua koran menulis dengan rakus, memeras tragedi jadi komoditas.
Investigasi di Tengah Ketimpangan
Komisaris Ruempol datang. Ia tahu Brinkman bukan penjahat biasa. Ia Belanda tulen kulit putih kebal hukum. Tapi mayat Fientje terlalu bising untuk dikubur diam-diam.
Oemar Ompong, muncikari tua, ketakutan. Dengan suara patah-patah, ia menyebut nama Brinkman. Tapi siapa berani menyeret bangsawan ke ruang interogasi?
Benang merah makin jelas saat polisi menangkap tiga kuli: Pak Sulin dan dua rekannya. Mereka mengaku dibayar gulden untuk membuang mayat Fientje ke sungai. Uang bau darah. Uang yang tak akan pernah mereka bersihkan dari tangan.
Namun di balik tembok pengadilan, kekuasaan bersiap menulis akhir cerita sesuai selera.
Pengadilan yang Bersejarah
Brinkman menyewa Hoorweg, pengacara ulung yang biasa membela orang kebal hukum. Dengan percaya diri, ia mencoba menyuap jaksa: tiga ribu gulden, dua ribu lagi untuk asisten. Jumlah yang cukup untuk membeli banyak mulut bungkam.
Ia tertawa saat sidang dibuka. Tawa orang yang yakin status kulit putih lebih perkasa daripada keadilan. Tawa yang menusuk hati keluarga Fientje jika saja mereka ada.
Tapi saat Rosna berdiri di ruang pengadilan, seluruh ruangan terdiam. Suaranya gemetar. Matanya berkaca. Tapi ia bicara:
“Tuan… saya perempuan, saya penakut… tapi laki-laki itulah yang membunuh Fientje.” Kali ini, tak ada tawa yang bisa menyelamatkan Brinkman.
Akhir yang Tragis
Vonis dijatuhkan: bersalah. Hukuman mati. Hari-hari di sel berubah jadi siksaan. Brinkman menangis. Histeris. Ia tak sanggup menerima kenyataan: seorang bangsawan harus mati demi perempuan yang seumur hidup hanya dipanggil pelacur.
Ia lebih percaya pada kawannya di Societeit Concordia daripada pada hukum. Tapi tak seorang pun datang. Hari eksekusi kian mendekat, seperti kutukan yang tak bisa ditawar.
Pada suatu subuh dingin, ia menggantung dirinya di balik jeruji. Mati dengan cara pengecut yang lebih memalukan dari semua dosanya. “Dia mati demi kesombongannya sendiri,” tulis Rosihan Anwar.
Warisan yang Tak Pernah Padam
Tragedi Fientje menelanjangi Batavia. Semua topeng jatuh kebanggaan ras, kuasa uang, kesombongan peradaban kolonial.
Surat kabar mencetak kisahnya berhari-hari. Sensasi. Gosip. Umpan untuk pembaca haus skandal. Tan Boen Kim menulis novelnya. Tjiong Koen Bie menulis versinya. Peter van Zonneveld mengabadikannya. Pramoedya menyelipkan jejaknya dalam Rumah Kaca.
Dan entah berapa banyak Fientje lain yang mati tanpa nama, yang ceritanya tak pernah dibukukan.
Seratus tahun lebih berlalu. Tapi nama Fientje de Feniks tak pernah benar-benar padam. Ia jadi pengingat getir: bahwa keadilan hanya mungkin ada kalau ada orang yang cukup berani untuk bersuara.
Di tanah ini, selalu akan lahir Fientje-Fientje baru. Perempuan yang dicaci. Perempuan yang dijual. Dan barangkali, hanya saat mereka mati, dunia baru berpura-pura peduli.
"Hidup yang berarti, dan mati lebih berharga lagi." Pramoedya Ananta Toer
Sumber referensi:
- Rosihan Anwar, Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia (2004)
- Achmad Sunjayadi, (Bukan) Tabu di Nusantara (2018)
- Wikipedia, “Jurnalisme Kuning”
- Peter van Zonneveld, De moord op Fientje de Feniks
- Tan Boen Kim, Fientje de Feniks (1915)
