- Menkeu, Teori dan Kebijakan Tarif
- Uji Kelayakan Lokasi PLTN, BRIN dan BMKG Lakukan Kajian Potensi Tsunami di Pantai Gosong
- Perjalanan Jatuh Bangun Ali Sarbani, Anak Petani Sukses Berbisnis Properti
- KAI Daop 8 Pelajari Media Percontohan Pembelajaran Pencegahan Krisis Planet
- Pemerintah Perkuat Infrastruktur Pengelolaan Sampah Lewat Teknologi
- Kakek 103 Tahun Sukses Jualan di Tiktok Shop
- Asal-Usul Bubur Ayam Jakarta 46
- Foto Itu...
- Gubernur Pramono Anung Apresiasi Kiprah Muhammadiyah DKI Jakarta
- Huawei Mate XT, Smartphone Lipat Tiga Pertama Hadir di Indonesia
Menelisik Peran Penting Burung Liar Bagi Ekosistem Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu Riau

PEKANBARU - Menurut dokumen Strategi dan
Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia, IBSAP 2025-2045, Indonesia
merupakan rumah bagi 1.883 spesies burung atau setara dengan 18,6% dari total
seluruh spesies burung yang ada di dunia. Hal ini tidak lepas dari posisi
geografis dan sejarah geologis Indonesia yang menjadikan bentang alamnya
terbagi menjadi tujuh wilayah ekoregion dan 22 tipe ekosistem alami dengan 98
tipe vegetasi alami.
Keanekaragaman jenis ekosistem tersebut dapat menyediakan
habitat, sumber pakan alami, sumber air, pohon tidur, dan pohon bersarang bagi
fauna burung. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor penting untuk
kelangsungan hidup berbagai jenis burung, baik bagi burung penetap maupun
burung migran.
Salah satu wilayah di Pulau Sumatera yang menjadi habitat
penting bagi kelangsungan hidup burung liar yaitu Cagar Biosfer Giam Siak
Kecil-Bukit Batu (GSK-BB), Provinsi Riau. Hasil kompilasi dari beberapa studi
yang dilakukan sejak tahun 2011 oleh para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), diketahui bahwa paling sedikit terdapat 199 spesies fauna
burung yang hidup di bentang alam yang ditetapkan sebagai salah satu cagar
biosfer di Indonesia oleh UNESCO pada tahun 2009 ini.
Baca Lainnya :
- Revisi UU 41 Tahun 1999 Angin Segar Bagi Tata Kelola Kehutanan Indonesia0
- Walhi Laporkan 47 Perusahaan Perusak Lingkungan ke Kejaksaan Agung0
- DMC Dompet Dhuafa dan WALHI Luncurkan Program Kawasan Pemulihan Pesisir Pantai Utara Jawa Tengah0
- BMKG Prediksi Hujan Lebat Masih Terjadi Antara 4-11 Maret, Peringatan Dini Perlu Direspons Cepat0
- Dampak Perubahan Iklim, Gletser Antartika yang Meleleh Berpotensi Picu Tsunami0
Stasiun Penelitian Humus merupakan sebuah laboratorium alam di zona inti Cagar Biosfer GSK-BB yang dikelola secara bersama oleh Belantara Foundation dan APP Group. Kawasan hutan rawa gambut sekunder yang luasnya sekitar 2.000 hektar ini memang diperuntukan bagi para peneliti dan akademisi yang berminat melakukan kajian tentang ekosistem dan keanekaragaman hayati hutan rawa gambut.
Pada 7-14 Februari 2025 lalu tim peneliti dari Belantara
Foundation berkolaborasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN),
Universitas Pakuan, dan Universitas Andalas, melakukan sebuah kajian
keanekaragaman fauna burung di areal batas antara hutan alam dan hutan tanaman
di Stasiun Penelitian Humus Cagar Biosfer GSK-BB ini.
Salah satu anggota tim peneliti Dr. Dolly Priatna mengatakan
selain untuk melihat efek tepi dan hubungan antara habitat hutan alam dan hutan
tanaman bagi komunitas fauna burung, kegiatan ini juga bertujuan untuk
pemutakhiran data jenis burung yang ada di Cagar Biosfer GSK-BB, khususnya di
Stasiun Penelitian Humus.
“Fauna burung memiliki peran yang amat penting bagi
kelangsungan sebuah ekosistem, karena mereka dapat membantu dalam pemencaran
biji (seeds dispersal) dari berbagai jenis pohon hutan, serta berfungsi sebagai
pengendali hama tanaman pertanian (biological control). Selain itu, burung bisa
menjadi indikator baik atau tidaknya kualitas suatu lingkungan (bioindicator),”
ujar Dolly yang merupakan Direktur Eksekutif Belantara Foundation.
“Dengan mengetahui potensi jenis burung yang hidup di
Stasiun Penelitian Humus ini, kita dapat memanfaatkannya sebagai salah satu
bahan monitoring, evaluasi, serta pengelolaan jangka panjang kawasan cagar
biosfer ini,” kata pengajar pada Program Studi Manajemen Lingkungan di Sekolah
Pascasarjana Universitas Pakuan ini.
Berdasarkan hasil inventarisasi jenis burung di zona hutan
alam (HA), zona hutan tanaman (HT), dan zona transisi antara HA dan HT
menggunakan metode titik hitung (Point Count) dan jaring kabut (mist net),
dijumpai 87 jenis burung. Berdasarkan status konservasinya, terdapat 14 jenis
burung yang masuk ke dalam kategori jenis burung dilindungi pemerintah
Indonesia melalui Peraturan Menteri LHK No.106 tahun 2018 tentang Jenis
Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Jenis-jenis burung tersebut yaitu burung cangak laut (Ardea
sumatrana), alap-alap capung (Microchierax fringilarius), betet ekor panjang
(Psittacula longicauda), serindit melayu (Loriculus galgulus), julang jambul
hitam (Rhabdotorrhinus corrugatus), rangkong badak (Buceros rhinoceros),
kangkareng hitam (Anthracoceros malayanus), takur ampis sumatra (Calorhamphus
hayii), kipasan belang (Rhipidura javanica), tiong emas (Gracula religiosa),
luntur putri (Harpactes orrhophaeus), burung madu sepah raja (Aethopyga
siparaja), enggang klihingan (Anorrhinus galeritus) dan elang brontok
(Nissaetus cirrhatus).
Berdasarkan status keterancaman, terdapat satu jenis burung,
yaitu julang jambul hitam (Rhabdotorrhinus corrugatus), yang berstatus terancam
punah atau Endangered (EN) berdasarkan daftar merah International Union for
Conservation of Nature (IUCN), sebuah organisasi internasional yang sejak 1948
menjadi otoritas global mengenai status alam dan langkah-langkah yang
diperlukan untuk melindunginya.
Mengacu pada daftar merah tersebut, terdapat enam jenis
burung, yaitu betet ekor panjang (Psittacula longicauda), cekakak tiongkok
(Halcyon pileata), rangkong badak (Buceros rhinoceros), kangkareng hitam
(Anthracoceros malayanus), luntur putri (Harpactes orrhophaeus), dan kacamata
biasa (Zosterops melanurus), yang berstatus rentan terhadap kepunahan atau
Vulnerable (VU).
Selain itu, terdapat enam jenis burung yang masuk kategori
hampir terancam punah atau Near Threatened (NT), antara lain alap-alap capung
(Microchierax fringilarius), perenjak jawa (Prinia familiaris), cipoh jantung
(Aegithina viridissima), enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), ciung air
pongpong (Mabronous ptilosus), dan sempur hujan darat (Eurylaimus ochromalus).
Berdasarkan status perdagangan internasional CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora), terdapat sembilan jenis burung masuk ke dalam Appendix II, yaitu daftar
spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi akan terancam punah bila
perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan.
Jenis-jenis burung tersebut adalah alap-alap capung
(Microchierax fringilarius), betet ekor panjang (Psittacula longicauda),
serindit melayu (Loriculus galgulus), julang jambul hitam (Rhabdotorrhinus
corrugatus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), kangkareng hitam
(Anthracoceros malayanus), tiong emas (Gracula religiosa), enggang klihingan
(Anorrhinus galeritus), dan elang brontok (Nissaetus cirrhatus).
Tak kalah penting, terdapat lima jenis burung migran yang
berhasil diidentifikasi, yaitu burung kirik-kirik laut (Merops philippinus),
bentet loreng (Lanius tigrinus), baza hitam (Aviceda leuphotes), cekakak
tiongkok (Halcyon pileata), dan sikatan bubik (Muscicapa dauurica).
“Cagar Biosfer GSK-BB merupakan sebuah bentang alam penting
sebagai persinggahan, sebagai tempat mencari makan dan istirahat berbagai jenis
burung migran, di saat musim dingin di belahan bumi bagian utara,” ucap Dr.
Wilson Novarino, seorang peneliti burung senior dari Universitas Andalas.
Adi Susilo, peneliti ekologi senior dari Badan Riset Inovasi
Nasional (BRIN), mengatakan bahwa sangat penting menjaga keutuhan blok-blok
hutan alam di dalam areal hutan tanaman, karena dapat berfungsi sebagai
stepping stone bagi jenis-jenis burung yang memiliki jelajah luas. “Blok-blok
hutan alam di dalam hutan tanaman ini juga sangat berpotensi dalam meningkatkan
keanekaragaman fauna burung di wilayah tersebut”, tutup Adi. (fadlik al iman)
