- Menkeu, Teori dan Kebijakan Tarif
- Uji Kelayakan Lokasi PLTN, BRIN dan BMKG Lakukan Kajian Potensi Tsunami di Pantai Gosong
- Perjalanan Jatuh Bangun Ali Sarbani, Anak Petani Sukses Berbisnis Properti
- KAI Daop 8 Pelajari Media Percontohan Pembelajaran Pencegahan Krisis Planet
- Pemerintah Perkuat Infrastruktur Pengelolaan Sampah Lewat Teknologi
- Kakek 103 Tahun Sukses Jualan di Tiktok Shop
- Asal-Usul Bubur Ayam Jakarta 46
- Foto Itu...
- Gubernur Pramono Anung Apresiasi Kiprah Muhammadiyah DKI Jakarta
- Huawei Mate XT, Smartphone Lipat Tiga Pertama Hadir di Indonesia
Revisi UU 41 Tahun 1999 Angin Segar Bagi Tata Kelola Kehutanan Indonesia
.jpg)
JAKARTA – Rencana DPR merevisi Undang Undang (UU) 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menjadi angin segar bagi tata kelola kehutanan Indonesia
kini dan ke depan. Oleh karena itu, adalah sangat penting untuk memastikan UU
Kehutanan yang baru nantinya lebih holistik, progresif, dan partisipatif.
Sebagai langkah
strategis untuk mendorong UU Kehutanan baru yang holistik dan partisipatif,
Yayasan KEHATI bersama Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) menggelar Focus
Group Discussion (FGD) bertajuk "Menavigasi Rencana Revisi UU
Kehutanan", yang diselenggarakan pada 18 Maret 2025 di Jakarta.
Kegiatan ini bertujuan
untuk mengkaji kelemahan Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
serta merumuskan rekomendasi kebijakan yang lebih relevan dengan tantangan
ekologi, sosial, dan ekonomi saat ini. FGD ini dihadiri dua anggota Komisi IV
DPR, dan enam pakar hukum dan lingkungan hidup dari berbagai perguruan tinggi
di Indonesia, dan 200 lebih perwakilan organisasi masyarakat sipil di
Indonesia.
Baca Lainnya :
- Walhi Laporkan 47 Perusahaan Perusak Lingkungan ke Kejaksaan Agung0
- DMC Dompet Dhuafa dan WALHI Luncurkan Program Kawasan Pemulihan Pesisir Pantai Utara Jawa Tengah0
- BMKG Prediksi Hujan Lebat Masih Terjadi Antara 4-11 Maret, Peringatan Dini Perlu Direspons Cepat0
- Dampak Perubahan Iklim, Gletser Antartika yang Meleleh Berpotensi Picu Tsunami0
- Pesan Harmoni dari Sungai Ciliwung di Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional0
Koordinator FDKI Muhamad
Burhanudin mengatakan, UU No. 41 Tahun 1999 telah menjadi dasar dalam tata
kelola hutan Indonesia selama lebih dari dua dekade. Namun, seiring
perkembangan zaman dan meningkatnya tekanan terhadap sumber daya hutan,
regulasi ini dinilai perlu diperbarui untuk menyesuaikan dengan tantangan saat
ini.
Dalam 50 tahun terakhir,
Indonesia telah kehilangan lebih dari 33,9 juta hektare hutan, dengan angka
deforestasi mencapai 28,04 juta hektare dalam dua dekade terakhir.
“Alih fungsi lahan yang
masif juga telah menyebabkan Indonesia menjadi salah satu penyumbang emisi
karbon terbesar di sektor ini, dengan rata-rata 930 juta ton CO₂ per tahun.
Ironisnya, banyak pelanggaran kehutanan tidak mendapat hukuman yang setimpal akibat
lemahnya sanksi dalam UU dan penegakan hukum,” ujar Burhanudin yang juga
menjadi Manajer Kebijakan Lingkungan di Yayasan KEHATI.
Sementara, Anggota FDKI
dari Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Prayoga mengungkapkan, UU Kehutanan
telah banyak mengalami gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa gugatan
itu berujung pada putusan MK yang telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU
Kehutanan, terutama terkait hak masyarakat adat, legalitas kawasan hutan, dan
perlindungan terhadap masyarakat yang bergantung pada hutan. Oleh karena itu,
menurut dia, sudah sewajarnya UU ini harus segera direvisi.
Ketidaksesuaian dengan
kondisi dan tantangan kehutanan saat ini, termasuk dampak perubahan iklim,
deforestasi, degradasi hutan, dan meningkatnya konflik agrarian juga menjadi
catatan terkait UU 41 Tahun 1999. Selain itu, tumpang tindih regulasi dengan UU
lain, seperti UU Cipta Kerja, juga turutmemengaruhi tata kelola kehutanan.
“Belum maksimalnya
perlindungan terhadap masyarakat adat dan lokal, yang sering kali kesulitan
memperoleh pengakuan atas hak mereka di dalam dan sekitar hutan, bahkan
mengalami kriminalisasi, menjadi catatan buruk yang harus dicarikan solusi
dalam UU yang baru. Putusan MK 35 Tahun 2012 harus menjadi pertimbangan dalam
UU Kehutanan yang baru,” ujar Anggi.
Tata kelola kehutanan di
Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan transparansi dan akuntabilitas,
terutama dalam perizinan dan pengawasan pengelolaan hutan. Penegakan hukum
dalam UU 41/1999 masih lemah, dengan illegal logging, perambahan hutan, dan pembakaran
lahan terus terjadi akibat sanksi yang tidak cukup tegas.
Regulasi yang lemah ini
juga memungkinkan eksploitasi sumber daya hutan yang tidak berkelanjutan,
termasuk ekspansi perkebunan dan pertambangan skala besar, serta minimnya
perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.
“Dengan adanya revisi UU
Kehutanan yang lebih inklusif dan berbasis keberlanjutan, Indonesia dapat
mengambil langkah signifikan dalam melindungi ekosistem hutan, memperkuat
hak-hak masyarakat adat, serta memastikan pembangunan yang tidak mengorbankan
kelestarian alam,” tambah Ayut Enggeliah dari Sawit Watch Indonesia. (fadlik
al iman)
