Rekaman dari Karang Ungkap Ancaman Bencana Iklim bagi Indonesia

By PorosBumi 05 Des 2024, 06:55:33 WIB Lingkungan
Rekaman dari Karang Ungkap Ancaman Bencana Iklim bagi Indonesia

INDONESIA terletak di antara dua Samudera luas yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, yang dikenal sebagai kolam air hangat (dikenal dengan istilah west Pacific warm pool) yang memegang peranan penting dalam perubahan iklim global yaitu perubahan curah hujan, suhu, dll. Di wilayah ini, rata rata suhu sangat tinggi (>28°) dan curah hujan melimpah.
 
Perubahan iklim global dan juga variabilitas iklim kepulauan Indonesia dipengaruhi oleh fenomena iklim yaitu El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD). ENSO adalah interaksi antara atmosfer dan lautan di wilayah tropis samudra Pasifik yang menghasilkan anomali tekanan dan suhu permukaan laut di bawah normal atau di atas normal.
 
ENSO terdiri dari tiga fasa yaitu yang disebut dengan istilah fasa netral, El Niño (fasa hangat) dan La Niña (fasa dingin). Pada saat kondisi normal. angin Pasat yang bertiup ke arah barat, mendorong masa air laut Pasifik lapisan atas yang hangat ke arah barat, menyebabkan air yang hangat ini menumpuk di wilayah Pasifik bagian barat (Indonesia dan sekitarnya). Sebaliknya, di wilayah Pasifik bagian timur (pesisir barat benua Amerika), bagian air laut yang dalam naik ke permukaan menyebabkan suhu permukaan laut dingin. Hal ini sering disebut dengan upwelling.
 
Pada saat terjadi El Niño, terjadi perubahan pola tekanan udara yang merubah pula pola angin sehingga massa air hangat yang biasa nya menumpuk di wilayah Pasifik barat akan menumpuk di wilayah Pasifik timur. Dalam kondisi El Niño, suhu di wilayah Indonesia menjadi lebih rendah dari biasanya dan di wilayah pantai barat Amerika menjadi lebih tinggi dari biasanya. Hal yang sebaliknya terjadi pada saat La Niña, yang dicirikan dengan periode suhu permukaan laut di bawah rata-rata melintasi Pasifik bagian timur.
 
Fenomena iklim global lainya yang serupa dengan ENSO adalah IOD yang terjadi di wilayah tropis samudra Hindia. Perubahan pola angin di Samudra Hindia menggeser massa air hangat dari wilayah Samudra Hindia bagian timur ke barat, sehingga terjadi pendinginan di wilayah timur samudra Hindia (Indonesia) karena adanya upwelling. Uap air di wilayah ini menimbulkan sedikit curah hujan, sedangkan di wilayah barat Samudra Hindia atau pantai timur Afrika terjadi pemanasan menimbulkan peningkatan curah hujan. Kejadian ini disebut sebagai IOD positif.
 
Hal sebaliknya terjadi pada IOD negatif, pemanasan suhu permukaan laut terjadi di wilayah timur samudra Hindia (Indonesia) yang membawa peningkatan curah hujan di wilayah ini dan sedikit hujan di wilayah barat samudra Hindia (Afrika) karena adanya pendinginan suhu permukaan laut.
 
Kedua fenomena iklim ENSO/IOD ini mampu mempengaruhi variabilitas iklim di muka bumi yaitu terjadinya perubahan pola curah hujan, suhu, angin, sirkulasi laut dan lain-lain. Fenomena ini menjadi penting karena dapat menimbulkan bencana iklim seperti kekeringan, banjir, dan meningkatkan frekuensi badai di wilayah benua yang berbatasan dengan kedua cekungan ini, apalagi untuk wilayah Indonesia.
 
Pada saat El Niño akhir tahun 1997 terjadi bencana kekeringan di wilayah Indonesia, yang pada tahun 1998 diikuti kejadian La Niña yang menimbulkan banyak bencana banjir yang parah. Tahun 2019 lalu, Indian Ocean Dipole memegang peran besar dalam bencana kekeringan parah yang terjadi di wilayah Indonesia bagian selatan dan Australia. Tercatat suhu panas yang terjadi hampir sepanjang tahun 2019 yang dikenal dengan IOD positif. Kekeringan dan kebakaran hebat juga terjadi di Australia akibat IOD positif 2019 ini.

Bencana iklim seperti kekeringan yang parah tentu akan berimbas pada kegagalan pangan dan selanjutnya berpengaruh pada perekonomian dan juga kesehatan masyarakat.
 
Berdasarkan data Emergency Event Database (EM-DAT), bencana iklim jauh lebih sering terjadi dalam deckde terakhir ini dibandingkan dengan bencana geologi seperti gempa bumi, gunung berapi, tanah longsor dan lain-lain.
 
Jumlah orang yang terkena dampak akibat bencana iklim ini juga jauh lebih tinggi daripada becana geologi. Dan sudah seharusnya pemahaman mengenai mekanisme iklim, khususnya di wilayah Indonesia, menjadi penting dalam usaha melakukan mitigasi atau adaptasi terjadinya bencana iklim.
 
Untuk memahami mekanisme iklim diperlukan pemahaman historis iklim itu sendiri, sehingga diperlukan data parameter iklim (seperti suhu permukaan laut, curah hujan, salinitas dan lain-lain) dalam skala waktu yang panjang yang melebihi cakupan data pengukuran. Oleh karena itu, studi iklim masa lampau (paleoclimate) menjadi sangat penting.
 
Pemahaman iklim masa lampau akan membantu dalam memahami iklim masa sekarang untuk meningkatkan keakuratan model prediksi iklim. Arsip iklim Data iklim masa lampau dapat disediakan oleh arsip iklim yaitu seperti karang, sedimen laut, sedimen danau, speleoterm, lingkaran pohon dan lain-lain. Indonesia memiliki lengkap semua jenis arsip iklim, bahkan termasuk arsip iklim inti bor es (ice core) yang dapat dijumpai di Puncak Jaya, Papua.
 
Setiap arsip iklim memiliki resolusi yang berbeda-beda dalam penyediaan data iklim dan saling melengkapi satu sama lainnya. Sebagai contoh, arsip iklim sedimen laut, mampu menyediakan informasi iklim sampai jutaan tahun lampau dengan resolusi data puluhan-ratusan tahun, sedangkan arsip iklim karang mampu menyediakan data dengan resolusi lebih tinggi yaitu bulanan, namun hanya mampu menyediakan informasi iklim paling tidak sampai ratusan-ribuan tahun lampau.
 
Dalam arsip iklim, terkandung unsur-unsur kimia yang dapat digunakan untuk merekontruksi suhu permukaan laut, salinitas, curah hujan, dan lain-lain yang dikenal dengan istilah data proxy geokimia.

Karang, terutama dari jenis Porites, mampu merekam jejak iklim masa lampau dengan baik. Kandungan unsur jejak perbandingan Sr/Ca dalam karang mampu merekam informasi suhu permukaan laut dan kandungan oxygen isotope dalam karang mampu menyediakan informasi presipitasi (ataupun salinitas).

Kombinasi karang yang hidup dan mati dapat menghasilkan data iklim dalam resolusi bulanan dari masa sekarang sampai masa lampau secara kontinyu. Perlapisan pertumbuhan tahunan karang yang ditunjukkan warna gelap/terang dibawah sinar X (ronsen) menyimpan informasi urut-urutan waktu (chronology).

Rekaman dari karang

Hasil penelitian LIPI dari catatan rekaman iklim di karang teluk Kupang Timor sejak 1914 menunjukkan bahwa variabilitas suhu dan salinitas pada skala antar tahun di wilayah tersebut berkorelasi kuat dengan IOD, sedangkan ENSO hanya berkorelasi dengan suhu.

Studi ini menunjukkan pengaruh mode iklim Indo-Pasifik terhadap variabilitas suhu dan salinitas di jalur arus lintas indonesia (Arlindo) sangat kompleks.
 
Penelitian terbaru yang diterbitkan di Nature tahun 2020, hasil kerjasama tim peneliti LIPI dengan peneliti dari berbagai negara Australia, US, Taiwan, dan China menghasilkan rekonstruksi variabilitas IOD menggunakan arsip iklim karang dari wilayah bagian timur Samudra Hindia (yaitu di pesisir barat Sumatra dan selat Sunda).
 
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa fenomena seperti IOD positif seperti yang terjadi pada tahun 2019 lalu dulunya jarang terjadi, namun sekarang peristiwa semacam ini menjadi lebih sering terjadi. Dapat dikatakan bahwa pada abad 20 ini, frekuensi dan intensitas IOD/ENSO terjadi peningkatan, dan diperkirakan akan memburuk jika emisi gas rumah kaca terus meningkat.
 
Penelitian ini juga menekankan bahwa Samudra Hindia dapat ‘menampung’ peristiwa yang bahkan lebih kuat daripada peristiwa iklim ekstrem yang terjadi pada tahun 2019 lalu.
 
Secara historis, peristiwa kuat seperti tahun 2019 lalu sangat jarang terjadi. Pada periode di tahun 1675, pernah terjadi iklim ekstrem yang 42 persen lebih kuat daripada peristiwa terkuat yang pernah teramati sejauh ini dalam catatan data pengukuran, yaitu peristiwa El Niño 1997.
 
Tanpa campur tangan manusia saja, iklim ekstrem seperti peristiwa di periode tahun 1675 pernah terjadi; apalagi pada masa sekarang di mana kerusakan lingkungan makin parah akibat ulah manusia, maka kemungkinan bahwa peristiwa ekstrem seperti itu dapat terjadi lagi dengan lebih kuat dan lebih sering.
 
Hasil rekonstruksi iklim dari tahun 1240 sampai sekarang, hanya merekam 10 peristiwa iklim ekstrem, dan empat di antaranya terjadi pada kurun waktu 60 tahun terakhir ini.
 
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa walaupun peristiwa IOD positif dan El Niño dapat terjadi secara independen, namun peristiwa ekstrem IOD yang terjadi dapat juga meningkatkan variabilitas ENSO di Samudra Pasifik.
 
Untuk itu, guna meningkatkan pemahaman kita mengenai variasi iklim musiman hingga puluhan tahun decadal-interdecadal dari masa lampau sampai masa sekarang di kawasan maritim Indonesia perlu melihat secara terintegrasi perubahan parameter iklim di sepanjang lautan tropis baik di Samudra Hindia dan Pasifik.
 
Oleh karena itu, kerjasama yang terintegrasi erat antara peneliti yang bekerja dengan data iklim masa sekarang dengan peneliti yang bekerja dengan data iklim masa lampau sangat diperlukan untuk lebih memahami mekanisme iklim di wilayah Indonesia yang sangat kompleks ini, sehingga membantu kita menjadi lebih siap dalam menghadapi risiko bencana iklim masa depan.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment