- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
Rekaman dari Karang Ungkap Ancaman Bencana Iklim bagi Indonesia
INDONESIA terletak di antara dua
Samudera luas yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, yang dikenal sebagai
kolam air hangat (dikenal dengan istilah west Pacific warm pool) yang memegang
peranan penting dalam perubahan iklim global yaitu perubahan curah hujan, suhu,
dll. Di wilayah ini, rata rata suhu sangat tinggi (>28°) dan curah hujan
melimpah.
Perubahan iklim global dan juga variabilitas iklim kepulauan Indonesia
dipengaruhi oleh fenomena iklim yaitu El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan
Indian Ocean Dipole (IOD). ENSO adalah interaksi antara atmosfer dan lautan di
wilayah tropis samudra Pasifik yang menghasilkan anomali tekanan dan suhu
permukaan laut di bawah normal atau di atas normal.
ENSO terdiri dari tiga fasa yaitu yang disebut dengan istilah fasa netral, El
Niño (fasa hangat) dan La Niña (fasa dingin). Pada saat kondisi normal. angin
Pasat yang bertiup ke arah barat, mendorong masa air laut Pasifik lapisan atas
yang hangat ke arah barat, menyebabkan air yang hangat ini menumpuk di wilayah
Pasifik bagian barat (Indonesia dan sekitarnya). Sebaliknya, di wilayah Pasifik
bagian timur (pesisir barat benua Amerika), bagian air laut yang dalam naik ke
permukaan menyebabkan suhu permukaan laut dingin. Hal ini sering disebut dengan
upwelling.
Pada saat terjadi El Niño, terjadi perubahan pola tekanan udara yang merubah
pula pola angin sehingga massa air hangat yang biasa nya menumpuk di wilayah
Pasifik barat akan menumpuk di wilayah Pasifik timur. Dalam kondisi El Niño,
suhu di wilayah Indonesia menjadi lebih rendah dari biasanya dan di wilayah
pantai barat Amerika menjadi lebih tinggi dari biasanya. Hal yang sebaliknya
terjadi pada saat La Niña, yang dicirikan dengan periode suhu permukaan laut di
bawah rata-rata melintasi Pasifik bagian timur.
Fenomena iklim global lainya yang serupa dengan ENSO adalah IOD yang terjadi di
wilayah tropis samudra Hindia. Perubahan pola angin di Samudra Hindia menggeser
massa air hangat dari wilayah Samudra Hindia bagian timur ke barat, sehingga
terjadi pendinginan di wilayah timur samudra Hindia (Indonesia) karena adanya
upwelling. Uap air di wilayah ini menimbulkan sedikit curah hujan, sedangkan di
wilayah barat Samudra Hindia atau pantai timur Afrika terjadi pemanasan
menimbulkan peningkatan curah hujan. Kejadian ini disebut sebagai IOD positif.
Hal sebaliknya terjadi pada IOD negatif, pemanasan suhu permukaan laut terjadi
di wilayah timur samudra Hindia (Indonesia) yang membawa peningkatan curah
hujan di wilayah ini dan sedikit hujan di wilayah barat samudra Hindia (Afrika)
karena adanya pendinginan suhu permukaan laut.
Kedua fenomena iklim ENSO/IOD ini mampu mempengaruhi variabilitas iklim di muka
bumi yaitu terjadinya perubahan pola curah hujan, suhu, angin, sirkulasi laut
dan lain-lain. Fenomena ini menjadi penting karena dapat menimbulkan bencana
iklim seperti kekeringan, banjir, dan meningkatkan frekuensi badai di wilayah
benua yang berbatasan dengan kedua cekungan ini, apalagi untuk wilayah
Indonesia.
Pada saat El Niño akhir tahun 1997 terjadi bencana kekeringan di wilayah
Indonesia, yang pada tahun 1998 diikuti kejadian La Niña yang menimbulkan
banyak bencana banjir yang parah. Tahun 2019 lalu, Indian Ocean Dipole memegang
peran besar dalam bencana kekeringan parah yang terjadi di wilayah Indonesia
bagian selatan dan Australia. Tercatat suhu panas yang terjadi hampir sepanjang
tahun 2019 yang dikenal dengan IOD positif. Kekeringan dan kebakaran hebat juga
terjadi di Australia akibat IOD positif 2019 ini.
Bencana iklim seperti kekeringan yang parah tentu akan berimbas pada kegagalan
pangan dan selanjutnya berpengaruh pada perekonomian dan juga kesehatan
masyarakat.
Berdasarkan data Emergency Event Database (EM-DAT), bencana iklim jauh lebih
sering terjadi dalam deckde terakhir ini dibandingkan dengan bencana geologi
seperti gempa bumi, gunung berapi, tanah longsor dan lain-lain.
Jumlah orang yang terkena dampak akibat bencana iklim ini juga jauh lebih
tinggi daripada becana geologi. Dan sudah seharusnya pemahaman mengenai
mekanisme iklim, khususnya di wilayah Indonesia, menjadi penting dalam usaha
melakukan mitigasi atau adaptasi terjadinya bencana iklim.
Untuk memahami mekanisme iklim diperlukan pemahaman historis iklim itu sendiri,
sehingga diperlukan data parameter iklim (seperti suhu permukaan laut, curah
hujan, salinitas dan lain-lain) dalam skala waktu yang panjang yang melebihi
cakupan data pengukuran. Oleh karena itu, studi iklim masa lampau
(paleoclimate) menjadi sangat penting.
Pemahaman iklim masa lampau akan membantu dalam memahami iklim masa sekarang
untuk meningkatkan keakuratan model prediksi iklim. Arsip iklim Data iklim masa
lampau dapat disediakan oleh arsip iklim yaitu seperti karang, sedimen laut,
sedimen danau, speleoterm, lingkaran pohon dan lain-lain. Indonesia memiliki
lengkap semua jenis arsip iklim, bahkan termasuk arsip iklim inti bor es (ice
core) yang dapat dijumpai di Puncak Jaya, Papua.
Setiap arsip iklim memiliki resolusi yang berbeda-beda dalam penyediaan data
iklim dan saling melengkapi satu sama lainnya. Sebagai contoh, arsip iklim
sedimen laut, mampu menyediakan informasi iklim sampai jutaan tahun lampau
dengan resolusi data puluhan-ratusan tahun, sedangkan arsip iklim karang mampu
menyediakan data dengan resolusi lebih tinggi yaitu bulanan, namun hanya mampu
menyediakan informasi iklim paling tidak sampai ratusan-ribuan tahun lampau.
Dalam arsip iklim, terkandung unsur-unsur kimia yang dapat digunakan untuk
merekontruksi suhu permukaan laut, salinitas, curah hujan, dan lain-lain yang
dikenal dengan istilah data proxy geokimia.
Karang, terutama dari jenis Porites, mampu merekam jejak iklim masa lampau
dengan baik. Kandungan unsur jejak perbandingan Sr/Ca dalam karang mampu
merekam informasi suhu permukaan laut dan kandungan oxygen isotope dalam karang
mampu menyediakan informasi presipitasi (ataupun salinitas).
Kombinasi karang yang hidup dan mati dapat menghasilkan data iklim dalam
resolusi bulanan dari masa sekarang sampai masa lampau secara kontinyu.
Perlapisan pertumbuhan tahunan karang yang ditunjukkan warna gelap/terang
dibawah sinar X (ronsen) menyimpan informasi urut-urutan waktu (chronology).
Rekaman dari karang
Hasil penelitian LIPI dari catatan rekaman iklim di karang teluk Kupang Timor
sejak 1914 menunjukkan bahwa variabilitas suhu dan salinitas pada skala antar
tahun di wilayah tersebut berkorelasi kuat dengan IOD, sedangkan ENSO hanya
berkorelasi dengan suhu.
Studi ini menunjukkan pengaruh mode iklim Indo-Pasifik terhadap variabilitas
suhu dan salinitas di jalur arus lintas indonesia (Arlindo) sangat kompleks.
Penelitian terbaru yang diterbitkan di Nature tahun 2020, hasil kerjasama tim
peneliti LIPI dengan peneliti dari berbagai negara Australia, US, Taiwan, dan
China menghasilkan rekonstruksi variabilitas IOD menggunakan arsip iklim karang
dari wilayah bagian timur Samudra Hindia (yaitu di pesisir barat Sumatra dan
selat Sunda).
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa fenomena seperti IOD positif seperti
yang terjadi pada tahun 2019 lalu dulunya jarang terjadi, namun sekarang
peristiwa semacam ini menjadi lebih sering terjadi. Dapat dikatakan bahwa pada
abad 20 ini, frekuensi dan intensitas IOD/ENSO terjadi peningkatan, dan
diperkirakan akan memburuk jika emisi gas rumah kaca terus meningkat.
Penelitian ini juga menekankan bahwa Samudra Hindia dapat ‘menampung’ peristiwa
yang bahkan lebih kuat daripada peristiwa iklim ekstrem yang terjadi pada tahun
2019 lalu.
Secara historis, peristiwa kuat seperti tahun 2019 lalu sangat jarang terjadi.
Pada periode di tahun 1675, pernah terjadi iklim ekstrem yang 42 persen lebih
kuat daripada peristiwa terkuat yang pernah teramati sejauh ini dalam catatan
data pengukuran, yaitu peristiwa El Niño 1997.
Tanpa campur tangan manusia saja, iklim ekstrem seperti peristiwa di periode
tahun 1675 pernah terjadi; apalagi pada masa sekarang di mana kerusakan
lingkungan makin parah akibat ulah manusia, maka kemungkinan bahwa peristiwa
ekstrem seperti itu dapat terjadi lagi dengan lebih kuat dan lebih sering.
Hasil rekonstruksi iklim dari tahun 1240 sampai sekarang, hanya merekam 10
peristiwa iklim ekstrem, dan empat di antaranya terjadi pada kurun waktu 60
tahun terakhir ini.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa walaupun peristiwa IOD positif dan El
Niño dapat terjadi secara independen, namun peristiwa ekstrem IOD yang terjadi
dapat juga meningkatkan variabilitas ENSO di Samudra Pasifik.
Untuk itu, guna meningkatkan pemahaman kita mengenai variasi iklim musiman
hingga puluhan tahun decadal-interdecadal dari masa lampau sampai masa sekarang
di kawasan maritim Indonesia perlu melihat secara terintegrasi perubahan
parameter iklim di sepanjang lautan tropis baik di Samudra Hindia dan Pasifik.
Oleh karena itu, kerjasama yang terintegrasi erat antara peneliti yang bekerja
dengan data iklim masa sekarang dengan peneliti yang bekerja dengan data iklim
masa lampau sangat diperlukan untuk lebih memahami mekanisme iklim di wilayah
Indonesia yang sangat kompleks ini, sehingga membantu kita menjadi lebih siap
dalam menghadapi risiko bencana iklim masa depan.