- AHY: Ini Call to Action, Kita Tidak Tinggal Diam Saat Bumi Terluka
- Serahkan 326 Akta Notaris Kopdes, Mendes Optimistis Serap Tenaga Kerja Produktif di Desa
- Menhut Gagas Syarat Pendakian Berdasar Level Kesulitan Suatu Gunung
- Komisi V DPR RI Desak Kawasan Transmigrasi Dibebaskan Dari Kawasan Hutan
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan
- Greenpeace Dorong Tanggung Jawab Produsen untuk Lebih Serius Menangani Sampah Plastik
- Produksi Beras Nasional Januari-Agustus 2025 Capai 29,97 Juta Ton, Naik 14,09 Persen
- Mentan: 212 Produsen Beras Bermasalah Telah Dilaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS
- Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?
Iklan: Waktu dan Bola
.jpg)
Bandung
Mawardi
Tukang
kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- SBY Menggebrak dengan Lukisan Keprihatinan Anti Perang0
- Birding Bersama Ellena, Penulis Buku GET TO KNOW THEM: Introduction to Singapore Common Birds Folk0
- Tahlil & Doa 7 Hari Wafatnya Hj Euis Nurlaila Binti KH Idam Damiri 0
- Atmosfer (Suasana) Belajar (Kok) Dicipta?0
- Tim PkM Universitas Negeri Yogyakarta Sosialisasi Komunikasi Pendidikan di Era Digital 0
PADA suatu
masa, “pengajaran” waktu dalam pengertian modern diajarkan Barat. Di tanah
jajahan, penggunaan dan pengalaman waktu memerlukan benda-benda. Pengetahuan
tradisional mengandalkan alam perlahan kedatangan benda-benda. Konon, Barat
menginginkan waktu modern berlaku di Nusantara. Mereka dalam kepentingan modal,
politik, agama, dan lain-lain.
Waktu itu tepat.
Waktu itu kekuasaan. Waktu itu laba. Segala penjelasan waktu diadakan saat
mengajarkan waktu kepada bumiputra. Di buku berjudul Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan (1996), Denys
Lombard mengingatkan waktu modern ditancapkan di Nusantara. Waktu itu
benda-benda. Lakon kekuasaan kolonial dan pembesaran kapitalisme dipengaruhi
kehadiran benda-benda berwaktu. Jam-jam di pelbagai ruang, jam di saku, atau
jam di pergelangan tangan membenarkan keberterimaan waktu modern.
Nusantara berubah dengan kesadaran waktu “baru” atau
mengikut dalam gairah modernitas. Waktu itu benda makin kokoh dengan pembenaran
bahasa. Di Indonesia, waktu dimengerti dan dialami dengan ratusan kata
bersumber dari pelbagai bahasa. Pada masa kolonial, gagasan dan imajinasi waktu
lumrah tercantum sebagai nama surat kabar atau penjudulan gubahan sastra.
Kita mengingat majalah menamakan diri dengan waktu: Tempo. Sejak masa 1970-an, para pembaca
majalah Tempo tak sekadar mendapat
berita dan esai. Mereka “dikutuk” iklan-iklan. Majalah laris sering sesak
iklan. Kita menduga terjadi antrean lama agar iklan-iklan bisa tampil dalam
lembaran-lembaran Tempo. Pada suatu
masa, iklan-iklan terpenting: rokok, jam tangan, dan bir. Majalah itu menjadi
referensi bagi kita jika ingin mengetahui gairah zaman silam mengandung asap,
waktu, dan kenikmatan.
Di majalah Tempo,
7 Oktober 1978, pembaca terbujuk membaca berita utama mengenai PSSI. Foto
dipasang di sampul depan: Ali Sadikin. Halaman-halaman terbuka, pembaca justru
keseringan bertemu iklan-iklan jam tangan. Iklan bekertas licin dan berwarna:
Rado. Iklan mengabarkan agar orang-orang membeli dan mengenakan.
Jaminan diberikan: “jantan dalam penampilan”. Jam di tangan
menentukan derajat kejantanan. Merek jam tangan idaman memiliki keterangan:
“Bagi pria inilah dimaksudkan jam tangan Rado. Perkasa dalam emas. Corak-corak
klasik senantiasa berada dalam arus mode.” Jam itu terbuat dari baja dan emas.
Dulu, lelaki jantan berarti lelaki berjam tangan emas.
Di halaman berbeda, pembaca dibujuk membeli jam tangan merek
Omega. Slogan: “Orang yang memakai Omega tahu alasannya.” Benda tetap untuk
kaum lelaki. Penjelasan: “Pada model baja dan sisipan emas, ia menemukan
kembali suatu cara yang sudah dilupakan sejak Abad Pertengahan, suatu cara
menyisipkan emas yang tidak kelihatan sambungan-sambungan pada baja.” Pada masa
1970-an, emas menjadi unggulan dalam pembuatan jam tangan. Lelaki bisa tampil
dengan emas tanpa gelang tapi jam tangan mengingatkan waktu.
Pembaca masih bertemu iklan jam tangan. Di bagian tengah,
iklan dari Seiko. Merek diakrabi orang-orang Indonesia. Sejak dulu, merek itu
memberi gengsi. Iklan untuk Seiko 5. Iklan sederhana gara-gara cuma
hitam-putih. Keunggulan diwartakan: “Semuanya serba otomatis dan semuanya
dilengkapi dengan kalender hari dan tanggal yang praktis. Andalan ampuh Seiko
dengan bentuk yang cantik.” Jam tangan memastikan berurusan waktu (jam, hari,
tanggal). Jam di tangan, jam ikut berjalan, rapat, pesta, dan pelesiran.
Di majalah Tempo,
4 Oktober 1975, pembaca tergoda waktu dan perasaan. Iklan dari jam tangan merek
Citizen. Foto ditampilkan: lelaki dan perempuan di lantai sedang berdansa. Jam
tangan mengesankan perasaan. Iklan cukup romantis: “Citizen, jam tangan yang
merupakan bagian dari anda di setiap tempat dan di setiap saat. Tepat,
otomatis, berhari dan tanggal, tahan goncangan, tahan air, dan indah dipandang.
Citizen, jam tangan untuk perasaan jutawan.”
Kita belum menemukan Rolex. Di majalah itu memang iklan
Rolex tak tampil. Di edisi-edisi berbeda, Rolex mudah ditemukan dalam
mengukuhkan “nafsu” orang terhadap waktu. Kita ingat Rolex gara-gara sepak
bola. Di Indonesia, gegeran terjadi terpicu sepak bola menghasratkan tampil di
Piala Dunia.
Pada suatu hari, Indonesia dalam pertaruhan untuk berlanjut
menempuhi jalan menuju Piala Dunia. Indonesia berhasil menang saat melawan
China. Prabowo Subianto girang. Ia berbagi bahagia bersama tim nasional sepak
bola Indonesia berwujud jam tangan. Konon, jam tangan itu bermerek Rolex. Merek
dijamin apik dan mahal.
Para pemain dipastikan tak mengenakan jam tangan Rolex saat
bertanding di lapangan. Penampilan bakal tampak norak jika nekat menggunakan
jam tangan. Di lapangan, mereka mendingan menendang bola, menggiring bola, atau
membuat sundulan bola. Jam tangan tak terlalu penting dalam membuat gol.
Pemberian hadiah dari Prabowo itu tanda girang, bukan bekal melakukan
pertandingan di lapangan agar “mengganggu” tatapan mata ribuan penonton di
stadion.
Pada hari berbeda, Indonesia menanggung kekalahan. Jepang
membuat enam gol. Indonesia sulit menampilkan permainan bermutu. Jutaan orang
Indonesia menonton di depan televisi. Mereka sedih dan kecewa. Sesalan lekas
bermunculan di media sosial. Mereka menagih janji girang setelah pemberian
Rolex. Menang dan kalah dalam sepak bola berkaitan Rolex? Bola dan jam tangan
menjadi perbincangan mengandung sindiran, kritik, lelucon, dan curiga.
Indonesia dalam “kelucuan” saat mutu sepak bola dipengaruhi
jam tangan. Kita mengira bakal terjadi “sepak waktu”. Kita tak ikut ribut memilih bernostalgia
iklan-iklan. Di majalah Intisari edisi Juni 1985, para pembaca berjumpa Rolex.
Iklan cukup mengesankan dimulai dengan mengenalkan sosok kondang: “Frederick
Forsyth dari kelompok sangat eksklusif. Buku-bukunya laris di tiap negara yang
ingin anda kunjungi.” Pengarang itu eksklusif. Pembuktian dilakukan jika orang ikhlas
pelesiran ke pelbagai negara.
Kalimat-kalimat pembuka membenarkan para pengguna Rolex.
Mereka pasti eksklusif. Mereka memiliki selera cerita istimewa. Pengarang itu
mengaku mengutamakan mutu dalam menggubah cerita mirip Rolex bersumpah menjamin
mutu (kualitas). Iklan membuktikan Rolex membahagiakan pengarang. Para pembaca
di pelbagai negara dianjurkan ikut mengenakan Rolex agar ikut merasakan
keistimewaan seperti pengarang tenar. Tokoh dalam iklan itu pengarang, bukan
pemain sepak bola.
Rolex menjadi idaman di dunia. Orang-orang berduit melimpah
berhak membeli dan mengenakan di tangan. Di Indonesia, Rolex bisa diperoleh
atau dikoleksi gara-gara sepak bola. Jam tangan sebagai hadiah. Jam tangan
mengingatkan penguasa memiliki impian besar agar Indonesia tampil dalam Piala
Dunia. Ia belum wajib memberi penjelasan
dan argumentasi kaitan terpenting antara sepak bola dan jam tangan.
Kita selingi saja dengan membuka majalah Intisari edisi April 1991. Dulu, majalah
laris. Majalah
menjadi bacaan keluarga. Kehadiran iklan-iklan jam tangan pelbagai merek turut
membentuk gagasan dan imajinasi agar para bapak tampil parlente bertajuk waktu.
Golf dan jam tangan. Kita diminta menerima penjelasan
berkaitan meski “dipaksakan”. Iklan jam tangan tapi tebar pujian kepada tokoh:
“Arnold Palmer dewasa ini menggebrak dunia usaha dengan kehebatan yang sama
dalam permainan golf. Ia penuh keyakinan, gigih, dan berani mengambil risiko…
Kegiatannya yang paling penting adalah merancang desain dan lanskap padang golf.”
Tokoh bergelimang uang. Ia terbukti pujaan dalam bisnis dan golf.
Pengakuan membuat iklan tampak memukau: “Bagi saya, golf
sudah bagian dari jiwa. Perasaan yang sama kuatnya juga saya alami dengan
Rolex. Rolex menjalankan tugasnya dengan sempurna.” Ia berharap selalu
berkesadaran “menjaga ketepatan waktu.” Jam tangan itu waktu meski ia tak
ingkar menunjang penampilan di hadapan ribuan orang. Pembaca menemukan kaitan
golf dan Rolex, belum sepak bola.
Iklan-iklan pelbagai merek jam tangan itu milik masa lalu.
Kini, orang-orang sudah malas membuka majalah-majalah lawas. Di tangan mereka,
gawai memberi ketakjuban berbeda untuk mengetahui “berkah” dan “kutukan” iklan.
Pada saat mereka mengetahui sepak bola di Indonesia berkaitan Rolex, pencarian
keterangan dan berbagi komentar mudah diselenggarakan secara cepat. Mereka
mengetahui hal-hal mutakhir meski lupa arus pembentukan identitas manusia
Indonesia melalui serbuan merek-merek jam tangan, sejak puluhan tahun lalu.
Pada 2025, kita menunggu kemunculan iklan-iklan menguatkan
jalinan sepak bola dan jam tangan. Kita menunggu iklan terbaru sambil menunggu
nasib Indonesia: berhenti atau berlanjut untuk impian Piala Dunia. Begitu.
