Iklan: Waktu dan Bola

By PorosBumi 28 Jun 2025, 11:00:28 WIB Tilikan
 Iklan: Waktu dan Bola

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

PADA suatu masa, “pengajaran” waktu dalam pengertian modern diajarkan Barat. Di tanah jajahan, penggunaan dan pengalaman waktu memerlukan benda-benda. Pengetahuan tradisional mengandalkan alam perlahan kedatangan benda-benda. Konon, Barat menginginkan waktu modern berlaku di Nusantara. Mereka dalam kepentingan modal, politik, agama, dan lain-lain.

 Waktu itu tepat. Waktu itu kekuasaan. Waktu itu laba. Segala penjelasan waktu diadakan saat mengajarkan waktu kepada bumiputra. Di buku berjudul Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan (1996), Denys Lombard mengingatkan waktu modern ditancapkan di Nusantara. Waktu itu benda-benda. Lakon kekuasaan kolonial dan pembesaran kapitalisme dipengaruhi kehadiran benda-benda berwaktu. Jam-jam di pelbagai ruang, jam di saku, atau jam di pergelangan tangan membenarkan keberterimaan waktu modern.

Nusantara berubah dengan kesadaran waktu “baru” atau mengikut dalam gairah modernitas. Waktu itu benda makin kokoh dengan pembenaran bahasa. Di Indonesia, waktu dimengerti dan dialami dengan ratusan kata bersumber dari pelbagai bahasa. Pada masa kolonial, gagasan dan imajinasi waktu lumrah tercantum sebagai nama surat kabar atau penjudulan gubahan sastra.

Kita mengingat majalah menamakan diri dengan waktu: Tempo. Sejak masa 1970-an, para pembaca majalah Tempo tak sekadar mendapat berita dan esai. Mereka “dikutuk” iklan-iklan. Majalah laris sering sesak iklan. Kita menduga terjadi antrean lama agar iklan-iklan bisa tampil dalam lembaran-lembaran Tempo. Pada suatu masa, iklan-iklan terpenting: rokok, jam tangan, dan bir. Majalah itu menjadi referensi bagi kita jika ingin mengetahui gairah zaman silam mengandung asap, waktu, dan kenikmatan.

Di majalah Tempo, 7 Oktober 1978, pembaca terbujuk membaca berita utama mengenai PSSI. Foto dipasang di sampul depan: Ali Sadikin. Halaman-halaman terbuka, pembaca justru keseringan bertemu iklan-iklan jam tangan. Iklan bekertas licin dan berwarna: Rado. Iklan mengabarkan agar orang-orang membeli dan mengenakan.

Jaminan diberikan: “jantan dalam penampilan”. Jam di tangan menentukan derajat kejantanan. Merek jam tangan idaman memiliki keterangan: “Bagi pria inilah dimaksudkan jam tangan Rado. Perkasa dalam emas. Corak-corak klasik senantiasa berada dalam arus mode.” Jam itu terbuat dari baja dan emas. Dulu, lelaki jantan berarti lelaki berjam tangan emas.

Di halaman berbeda, pembaca dibujuk membeli jam tangan merek Omega. Slogan: “Orang yang memakai Omega tahu alasannya.” Benda tetap untuk kaum lelaki. Penjelasan: “Pada model baja dan sisipan emas, ia menemukan kembali suatu cara yang sudah dilupakan sejak Abad Pertengahan, suatu cara menyisipkan emas yang tidak kelihatan sambungan-sambungan pada baja.” Pada masa 1970-an, emas menjadi unggulan dalam pembuatan jam tangan. Lelaki bisa tampil dengan emas tanpa gelang tapi jam tangan mengingatkan waktu.

Pembaca masih bertemu iklan jam tangan. Di bagian tengah, iklan dari Seiko. Merek diakrabi orang-orang Indonesia. Sejak dulu, merek itu memberi gengsi. Iklan untuk Seiko 5. Iklan sederhana gara-gara cuma hitam-putih. Keunggulan diwartakan: “Semuanya serba otomatis dan semuanya dilengkapi dengan kalender hari dan tanggal yang praktis. Andalan ampuh Seiko dengan bentuk yang cantik.” Jam tangan memastikan berurusan waktu (jam, hari, tanggal). Jam di tangan, jam ikut berjalan, rapat, pesta, dan pelesiran.

Di majalah Tempo, 4 Oktober 1975, pembaca tergoda waktu dan perasaan. Iklan dari jam tangan merek Citizen. Foto ditampilkan: lelaki dan perempuan di lantai sedang berdansa. Jam tangan mengesankan perasaan. Iklan cukup romantis: “Citizen, jam tangan yang merupakan bagian dari anda di setiap tempat dan di setiap saat. Tepat, otomatis, berhari dan tanggal, tahan goncangan, tahan air, dan indah dipandang. Citizen, jam tangan untuk perasaan jutawan.”

Kita belum menemukan Rolex. Di majalah itu memang iklan Rolex tak tampil. Di edisi-edisi berbeda, Rolex mudah ditemukan dalam mengukuhkan “nafsu” orang terhadap waktu. Kita ingat Rolex gara-gara sepak bola. Di Indonesia, gegeran terjadi terpicu sepak bola menghasratkan tampil di Piala Dunia.

Pada suatu hari, Indonesia dalam pertaruhan untuk berlanjut menempuhi jalan menuju Piala Dunia. Indonesia berhasil menang saat melawan China. Prabowo Subianto girang. Ia berbagi bahagia bersama tim nasional sepak bola Indonesia berwujud jam tangan. Konon, jam tangan itu bermerek Rolex. Merek dijamin apik dan mahal.

Para pemain dipastikan tak mengenakan jam tangan Rolex saat bertanding di lapangan. Penampilan bakal tampak norak jika nekat menggunakan jam tangan. Di lapangan, mereka mendingan menendang bola, menggiring bola, atau membuat sundulan bola. Jam tangan tak terlalu penting dalam membuat gol. Pemberian hadiah dari Prabowo itu tanda girang, bukan bekal melakukan pertandingan di lapangan agar “mengganggu” tatapan mata ribuan penonton di stadion.

Pada hari berbeda, Indonesia menanggung kekalahan. Jepang membuat enam gol. Indonesia sulit menampilkan permainan bermutu. Jutaan orang Indonesia menonton di depan televisi. Mereka sedih dan kecewa. Sesalan lekas bermunculan di media sosial. Mereka menagih janji girang setelah pemberian Rolex. Menang dan kalah dalam sepak bola berkaitan Rolex? Bola dan jam tangan menjadi perbincangan mengandung sindiran, kritik, lelucon, dan curiga.

Indonesia dalam “kelucuan” saat mutu sepak bola dipengaruhi jam tangan. Kita mengira bakal terjadi “sepak waktu”.  Kita tak ikut ribut memilih bernostalgia iklan-iklan. Di majalah Intisari edisi Juni 1985, para pembaca berjumpa Rolex. Iklan cukup mengesankan dimulai dengan mengenalkan sosok kondang: “Frederick Forsyth dari kelompok sangat eksklusif. Buku-bukunya laris di tiap negara yang ingin anda kunjungi.” Pengarang itu eksklusif. Pembuktian dilakukan jika orang ikhlas pelesiran ke pelbagai negara.

Kalimat-kalimat pembuka membenarkan para pengguna Rolex. Mereka pasti eksklusif. Mereka memiliki selera cerita istimewa. Pengarang itu mengaku mengutamakan mutu dalam menggubah cerita mirip Rolex bersumpah menjamin mutu (kualitas). Iklan membuktikan Rolex membahagiakan pengarang. Para pembaca di pelbagai negara dianjurkan ikut mengenakan Rolex agar ikut merasakan keistimewaan seperti pengarang tenar. Tokoh dalam iklan itu pengarang, bukan pemain sepak bola.

Rolex menjadi idaman di dunia. Orang-orang berduit melimpah berhak membeli dan mengenakan di tangan. Di Indonesia, Rolex bisa diperoleh atau dikoleksi gara-gara sepak bola. Jam tangan sebagai hadiah. Jam tangan mengingatkan penguasa memiliki impian besar agar Indonesia tampil dalam Piala Dunia.  Ia belum wajib memberi penjelasan dan argumentasi kaitan terpenting antara sepak bola dan jam tangan.

Kita selingi saja dengan membuka majalah Intisari edisi April 1991. Dulu, majalah

 

 

 

 

 

 laris. Majalah menjadi bacaan keluarga. Kehadiran iklan-iklan jam tangan pelbagai merek turut membentuk gagasan dan imajinasi agar para bapak tampil parlente bertajuk waktu.

Golf dan jam tangan. Kita diminta menerima penjelasan berkaitan meski “dipaksakan”. Iklan jam tangan tapi tebar pujian kepada tokoh: “Arnold Palmer dewasa ini menggebrak dunia usaha dengan kehebatan yang sama dalam permainan golf. Ia penuh keyakinan, gigih, dan berani mengambil risiko… Kegiatannya yang paling penting adalah merancang desain dan lanskap padang golf.” Tokoh bergelimang uang. Ia terbukti pujaan dalam bisnis dan golf.

Pengakuan membuat iklan tampak memukau: “Bagi saya, golf sudah bagian dari jiwa. Perasaan yang sama kuatnya juga saya alami dengan Rolex. Rolex menjalankan tugasnya dengan sempurna.” Ia berharap selalu berkesadaran “menjaga ketepatan waktu.” Jam tangan itu waktu meski ia tak ingkar menunjang penampilan di hadapan ribuan orang. Pembaca menemukan kaitan golf dan Rolex, belum sepak bola.

Iklan-iklan pelbagai merek jam tangan itu milik masa lalu. Kini, orang-orang sudah malas membuka majalah-majalah lawas. Di tangan mereka, gawai memberi ketakjuban berbeda untuk mengetahui “berkah” dan “kutukan” iklan. Pada saat mereka mengetahui sepak bola di Indonesia berkaitan Rolex, pencarian keterangan dan berbagi komentar mudah diselenggarakan secara cepat. Mereka mengetahui hal-hal mutakhir meski lupa arus pembentukan identitas manusia Indonesia melalui serbuan merek-merek jam tangan, sejak puluhan tahun lalu.

Pada 2025, kita menunggu kemunculan iklan-iklan menguatkan jalinan sepak bola dan jam tangan. Kita menunggu iklan terbaru sambil menunggu nasib Indonesia: berhenti atau berlanjut untuk impian Piala Dunia. Begitu.

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment