- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Gatal Kepala dan Sebal
.jpg)
Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta 0
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat0
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur 0
- Ini Penjelasan Peneliti BRIN Soal Fenomena Gerhana Bulan Merah Darah0
- RS Kapal PIS dan doctorSHARE Layani 4000 Pasien di Pelosok Raja Ampat 0
SEKIAN bulan lalu, kita bermasalah
dengan menteri-menteri pilihan Prabowo-Gibran. Kita bingung dengan jumlah orang
dalam kabinet. Bingung bertambah melalui omongan-omongan mereka dan pelbagai
kebijakan “kejutan”. Kita mengira pihak (paling) bermasalah itu eksekutif.
Bulan-bulan berlalu, kita memiliki kliping berita bertajuk Indonesia “linglung”
dan “sebal”.
Kita memang rajin memikirkan presiden, wakil presiden, dan
kabinet diselingi memberi perhatian kepada para artis, gubernur, ulama, dan
pengusaha. Indonesia terlalu ramai polemik-polemik mengakibatkan lelah
ketimbang terang dan lega. Jumlah dan dampak polemik terduga sangat sulit
mengubah Indonesia menjadi mulia, makmur, dan girang.
Sekian hari lalu, polemik membesar bersumber DPR RI. Kita
tak usah kaget bila DPR memberi masalah, bukan merampungkan masalah-masalah
kita. Institusi terhormat itu tetap diakui sebagai perwujudan demokrasi di
Indonesia. Konon, DPR membuktikan makna partai politik dan “kebenaran”
mengadakan pemilihan umum. Kita terhitung sedikit memuji tapi kebelet terus
memberi kritik kepada DPR. Pengandaian lembaga itu menghibur tentu mustahil.
Kita mungkin wajib berperan menghibur mereka setelah berhasil dan betah menjadi
kaum legislatif.
“Berbicara atau menulis mengenai DPR selalu dihadapkan pada
greget seperti kepala gatal, yang salah-salah resepnya hanyalah dengan
menggunduli seluruh rambut di kepala, botak dan plontos,” tulis Desmond J
Mahesa dalam buku berjudul Fungsi-Fungsi DPR RI: Teks, Sejarah, Kritik
(2020). Kalimat itu mengelak dari jenis kalimat resmi bila orang DPR menghadapi
publik. Umpama untuk hubungan kita dan DPR bisa puluhan tapi belum pasti
bermakna.
Bersumber beragam pustaka babon, Desmond J Mahesa
menerangkan sesuai latar Indonesia: “Sebagai struktur politik, legislatif
melakukan artikulasi kepentingan, mendiskusikan isu-isu nasional secara terbuka
(debat) sebelu suatu kebijakan diambil atau mengkritik kebijakan yang dibuat.
Legislatif juga melakukan agregasi kepentingan dan mengomunikasikan
alternatif-alternatif kebijakan itu kepada rakyat, selanjutnya dilahirkan
menjadi kebijakan atau peraturan. Atas kebijakan atau peraturan, legislatif
melakukan pengawasan kebijakan dan pelaksanaannya.” Kalimat mudah dimengerti
tapi merepotkan bagi kita jika ingin membuktikan kesesuaian dalam lakon
demokrasi Indonesia.
Kritik malah membuat gatal kepala atau menghabisi rambut
menjadi gundul. Di Indonesia kita diminta jangan capek mengurusi DPR. Sekian
hari lalu, semua terbukti saat jutaan orang memikirkan DPRI berkaitan
(tunjangan) rumah dan beras. Orang-orang terhormat di DPR RI memerlukan uang
atas nama kebutuhan pokok: papan dan pangan. Mereka sudah bisa memenuhi
kebutuhan sandang. Kita melihat penampilan mereka keren, anggun, dan necis.
Konon, mereka tak boleh berpakaian lusuh dan jelek agar tak “memalukan” demokrasi
Indonesia.
Kita bosan menghadapi politik mutakhir mengandung ulah
orang-orang di legislatif bisa membuka kembali masa lalu. Keperluan bukan
membuat perbandingan, sekadar ingin mengetahui geliat demokrasi di Indonesia.
Buku penting untuk dipelajari berjudul Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965
(1988) dengan editor Herbert Feith dan Lance Castles. Kita belum ingin serius
memikirkan sejarah. Halaman-halaman di buku menjadi rangsang agar masalah
demokrasi berkaitan legislatif dan eksekutif agak dimengerti secuil demi
secuil.
Herbert Feith menjelaskan: “Setelah pemilihan umum tahun
1955, pentingnya kedudukan partai-partai dalam politik nasional berkurang dan
perpecahan-perpecahan tidak lagi terang-terangan bersifat ideologis, tetapi
intensitas konfliknya tidak berkurang. Selama masa 1956 hingga 1958,
pemerintahan parlementer sipil mendapat tantangan yang semakin mengancam…” Kita
mengingat Indonesia belajar dengan salah, bingung, dan kacau mengenai partai
politik, parlemen, presiden, kabinet, dan lain-lain.
Kemarin, kita cukup bingung memasalahkan tokoh-tokoh di DPR
RI. Gegeran terjadi di Jakarta dan pelbagai kota mengakibatkan ketua umum
(parta politik) membuat keputusan untuk nam-anama harus “nonaktif”. Sekian
pihak menganggap itu sulit dipahami dalam kaidah DPR. Pengamat demokrasi
menghendaki tokoh-tokoh bermasalah dipecat. Ada pihak menganjurkan mengundurkan
diri. Kita bertambah bingung memikirkan partai politik, tambahan dari ruwet
DPR.
Kini, kita membutuhkan hiburan bila memikirkan legislatif
dan eksekutif. Bingung belum selesai. Sekian hari lalu ada pengumuman mantan
menteri menjadi tersangka. Situasi memaksa kita mengeluarkan energi memikirkan
keburukan-keburukan saja. Kita tak perlu lagi mutlak memikirkan presiden, DPR,
atau menteri masa sekarang.
Hiburan sambil mengerti demokrasi di Indonesia bisa
bersumber puisi. Pada masa 1970-an, Remy Sylado menggubah puisi berjudul
“Pelestarian Tradisi Birokrasi”. Puisi pendek cukup menghibur dan mengecewakan.
Kita membaca: koruptor/ tak punya udel/ koruptor/ cuma punya umbel. Kita
berimajinasi para koruptor memiliki rumah mewah, mengoleksi puluhan mobil,
rajin piknik, memiliki jam tangan dan tas mewah, dan penampilan wajib parlente.
Koruptor bercap umbel mungkin gara-gara menangis sangat sedih atau tiba-tiba sakit
dalam menghadapi kasus di pengadilan.
Kita lanjutkan membaca “Sajak Sanjak” gubahan Remy Sylado.
Pembaca boleh tertawa atau maki-maki. Larik-larik tak dibuat sembarangan:
pejabat lalim tak punya pusar/ kalau dikritik langsung gusar. Remy Syaldo
memberi larik-larik lagi: pejabat mengaku legowo/ rakyatnya tetap rekoso. Kita
akhiri dengan empat larik berlatar Orde Baru meski bisa digunakan di
rezim-rezim berbeda: penguasa yang bermuka tebal/ paling cocok disawang bebal/
adonan kalbunya sudah kebal/ tak sadar semua orang bebal.
Kita mengerti bila puisi tak memiliki peran besar dalam
membenahi DPR atau kabinet. Kita membaca saja ketimbang mengikuti berita-berita
biasa merusak hari-hari. Keputusan membaca satu atau dua puisi setiap hari
mungkin menjadikan kita agak waras di Indonesia berbekal imajinasi dan usaha
mencari cocok-cocok dengan segala kejadian di legislatif dan eksekutif. Begitu.
