Gatal Kepala dan Sebal

By PorosBumi 10 Sep 2025, 11:14:32 WIB Tilikan
Gatal Kepala dan Sebal

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

SEKIAN bulan lalu, kita bermasalah dengan menteri-menteri pilihan Prabowo-Gibran. Kita bingung dengan jumlah orang dalam kabinet. Bingung bertambah melalui omongan-omongan mereka dan pelbagai kebijakan “kejutan”. Kita mengira pihak (paling) bermasalah itu eksekutif. Bulan-bulan berlalu, kita memiliki kliping berita bertajuk Indonesia “linglung” dan “sebal”.

Kita memang rajin memikirkan presiden, wakil presiden, dan kabinet diselingi memberi perhatian kepada para artis, gubernur, ulama, dan pengusaha. Indonesia terlalu ramai polemik-polemik mengakibatkan lelah ketimbang terang dan lega. Jumlah dan dampak polemik terduga sangat sulit mengubah Indonesia menjadi mulia, makmur, dan girang.

Sekian hari lalu, polemik membesar bersumber DPR RI. Kita tak usah kaget bila DPR memberi masalah, bukan merampungkan masalah-masalah kita. Institusi terhormat itu tetap diakui sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia. Konon, DPR membuktikan makna partai politik dan “kebenaran” mengadakan pemilihan umum. Kita terhitung sedikit memuji tapi kebelet terus memberi kritik kepada DPR. Pengandaian lembaga itu menghibur tentu mustahil. Kita mungkin wajib berperan menghibur mereka setelah berhasil dan betah menjadi kaum legislatif.

“Berbicara atau menulis mengenai DPR selalu dihadapkan pada greget seperti kepala gatal, yang salah-salah resepnya hanyalah dengan menggunduli seluruh rambut di kepala, botak dan plontos,” tulis Desmond J Mahesa dalam buku berjudul Fungsi-Fungsi DPR RI: Teks, Sejarah, Kritik (2020). Kalimat itu mengelak dari jenis kalimat resmi bila orang DPR menghadapi publik. Umpama untuk hubungan kita dan DPR bisa puluhan tapi belum pasti bermakna.

Bersumber beragam pustaka babon, Desmond J Mahesa menerangkan sesuai latar Indonesia: “Sebagai struktur politik, legislatif melakukan artikulasi kepentingan, mendiskusikan isu-isu nasional secara terbuka (debat) sebelu suatu kebijakan diambil atau mengkritik kebijakan yang dibuat. Legislatif juga melakukan agregasi kepentingan dan mengomunikasikan alternatif-alternatif kebijakan itu kepada rakyat, selanjutnya dilahirkan menjadi kebijakan atau peraturan. Atas kebijakan atau peraturan, legislatif melakukan pengawasan kebijakan dan pelaksanaannya.” Kalimat mudah dimengerti tapi merepotkan bagi kita jika ingin membuktikan kesesuaian dalam lakon demokrasi Indonesia.

Kritik malah membuat gatal kepala atau menghabisi rambut menjadi gundul. Di Indonesia kita diminta jangan capek mengurusi DPR. Sekian hari lalu, semua terbukti saat jutaan orang memikirkan DPRI berkaitan (tunjangan) rumah dan beras. Orang-orang terhormat di DPR RI memerlukan uang atas nama kebutuhan pokok: papan dan pangan. Mereka sudah bisa memenuhi kebutuhan sandang. Kita melihat penampilan mereka keren, anggun, dan necis. Konon, mereka tak boleh berpakaian lusuh dan jelek agar tak “memalukan” demokrasi Indonesia.

Kita bosan menghadapi politik mutakhir mengandung ulah orang-orang di legislatif bisa membuka kembali masa lalu. Keperluan bukan membuat perbandingan, sekadar ingin mengetahui geliat demokrasi di Indonesia. Buku penting untuk dipelajari berjudul Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (1988) dengan editor Herbert Feith dan Lance Castles. Kita belum ingin serius memikirkan sejarah. Halaman-halaman di buku menjadi rangsang agar masalah demokrasi berkaitan legislatif dan eksekutif agak dimengerti secuil demi secuil.

Herbert Feith menjelaskan: “Setelah pemilihan umum tahun 1955, pentingnya kedudukan partai-partai dalam politik nasional berkurang dan perpecahan-perpecahan tidak lagi terang-terangan bersifat ideologis, tetapi intensitas konfliknya tidak berkurang. Selama masa 1956 hingga 1958, pemerintahan parlementer sipil mendapat tantangan yang semakin mengancam…” Kita mengingat Indonesia belajar dengan salah, bingung, dan kacau mengenai partai politik, parlemen, presiden, kabinet, dan lain-lain.

Kemarin, kita cukup bingung memasalahkan tokoh-tokoh di DPR RI. Gegeran terjadi di Jakarta dan pelbagai kota mengakibatkan ketua umum (parta politik) membuat keputusan untuk nam-anama harus “nonaktif”. Sekian pihak menganggap itu sulit dipahami dalam kaidah DPR. Pengamat demokrasi menghendaki tokoh-tokoh bermasalah dipecat. Ada pihak menganjurkan mengundurkan diri. Kita bertambah bingung memikirkan partai politik, tambahan dari ruwet DPR.

Kini, kita membutuhkan hiburan bila memikirkan legislatif dan eksekutif. Bingung belum selesai. Sekian hari lalu ada pengumuman mantan menteri menjadi tersangka. Situasi memaksa kita mengeluarkan energi memikirkan keburukan-keburukan saja. Kita tak perlu lagi mutlak memikirkan presiden, DPR, atau menteri masa sekarang.

Hiburan sambil mengerti demokrasi di Indonesia bisa bersumber puisi. Pada masa 1970-an, Remy Sylado menggubah puisi berjudul “Pelestarian Tradisi Birokrasi”. Puisi pendek cukup menghibur dan mengecewakan. Kita membaca: koruptor/ tak punya udel/ koruptor/ cuma punya umbel. Kita berimajinasi para koruptor memiliki rumah mewah, mengoleksi puluhan mobil, rajin piknik, memiliki jam tangan dan tas mewah, dan penampilan wajib parlente. Koruptor bercap umbel mungkin gara-gara menangis sangat sedih atau tiba-tiba sakit dalam menghadapi kasus di pengadilan.

Kita lanjutkan membaca “Sajak Sanjak” gubahan Remy Sylado. Pembaca boleh tertawa atau maki-maki. Larik-larik tak dibuat sembarangan: pejabat lalim tak punya pusar/ kalau dikritik langsung gusar. Remy Syaldo memberi larik-larik lagi: pejabat mengaku legowo/ rakyatnya tetap rekoso. Kita akhiri dengan empat larik berlatar Orde Baru meski bisa digunakan di rezim-rezim berbeda: penguasa yang bermuka tebal/ paling cocok disawang bebal/ adonan kalbunya sudah kebal/ tak sadar semua orang bebal.

Kita mengerti bila puisi tak memiliki peran besar dalam membenahi DPR atau kabinet. Kita membaca saja ketimbang mengikuti berita-berita biasa merusak hari-hari. Keputusan membaca satu atau dua puisi setiap hari mungkin menjadikan kita agak waras di Indonesia berbekal imajinasi dan usaha mencari cocok-cocok dengan segala kejadian di legislatif dan eksekutif. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment