- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Masyarakat Meratus Tolak Usulan Taman Nasional: Kedok Perampasan Wilayah Adat
.jpg)
BANJARBARU - Pasca diketahui seluas
119.779 hektar pegunungan Meratus diusulkan menjadi Taman Nasional, Masyarakat
Adat di Pegunungan Meratus serta masyarakat sipil di Kalimantan Selatan
melakukan penolakan atas usulan tersebut. Usulan Taman Nasional ini
dikhawatirkan hanya sebagai kedok perampasan ruang hidup Masyarakat Adat, dan
tentunya akan membatasi akses mereka terhadap sumber daya alam, serta
mengabaikan sistem pengelolaan hutan yang sudah berlangsung secara lestari
selama ratusan tahun.
Masyarakat Adat Meratus di Kalimantan Selatan telah mendiami
pegunungan Meratus jauh sebelum adanya Indonesia. Bagi Masyarakat Adat Meratus,
hutan ibarat ibu kami tempat tersimpan obat-obatan dan sumber-sumber ekonomi.
Di sanalah kami behuma untuk bertanam pagi dan sebagainya, kata Anang
Suriani, perwakilan Masyarakat Adat Meratus.
“Jika wilayah adat kami dijadikan sebagai Taman Nasional,
kemana lagi kami akan pergi dan bagaimana kehidupan masa depan kami. Penetapan
Taman Nasional juga akan menghilangkan budaya dan kearifan lokal dalam behuma.
Jika Masyarakat Adat tidak menanam padi, sama artinya kami tidak melakukan aru.
Kami beraru dari hasil behuma. Bagi kami, hutan adalah sumber penghidupan
kami’, tegas Anang Suriani.
Baca Lainnya :
- FEB Telkom University Dorong Promosi Digital Desa Wisata Sugihmukti 0
- Surga yang Dibisukan: Dua Dekade Greenpeace Merekam Kisah dan Kesah dari Tanah Papua0
- Menakar Transformasi Teknologi, Mengakselerasi Meritokrasi dan Good Governance di ASDP 0
- Hadir Sebagai Ruang Hidup Bersama, KAI Pastikan Setiap Orang Memiliki Akses Setara 0
- Garap Tahap II, Kementerian PU Pastikan Fasilitas Sekolah Rakyat Tahap I Tetap Terawat 0
WALHI Kalimantan Selatan juga menduga kuat penetapan Taman
Nasional di Pegunungan Meratus tidak lepas dari kepentingan penguasaan wilayah
untuk memastikan bisnis tetap masuk ke pegunungan Meratus dengan mengabaikan
perlindungan hak-hak Masyarakat Adat dan keselamatan lingkungan. “Selama ini
pegunungan Meratus telah dieksploitasi dengan berbagai bisnis ekstraktif
seperti tambang dan perkebunan monokultur sawit, daya rusaknya nyata terhadap
ekosistem pegunungan Meratus dan telah menyingkirkan Masyarakat Adat dari ruang
hidupnya. Mereka kehilangan wilayah kelolanya, mereka terpisah dari ruang
hidupnya. Penetapan Taman Nasional akan semakin memperkuat penyingkiran rakyat,
kata Raden Rafiq, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan.
Masyarakat Adat Meratus sebenarnya telah melakukan
perlindungan pegunungan Meratus sesuai dengan nilai-nilai hukum adat,
pengetahuan tradisional dan telah mempraktikkannya selama ratusan tahun.
“Mestinya konservasi yang dilakukan oleh Masyarakat Adat tersebut harus diakui
dan dilindungi oleh pemerintah, sebab konservasi ala masyarakat adat tersebut
telah terbukti menjaga kelestarian lingkungan dan pegunungan Meratus. Hal ini
lah yang membuat pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat menjadi hal yang penting
untuk dilakukan pemerintah,” kata Rubi, Ketua Pengurus Harian Wilayah
AMAN Kalsel.
Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan
Kebun WALHI Nasional mengatakan bahwa usulan Taman Nasional di
pegunungan Meratus adalah ejawantah dari paradigma usang konservasi ala negara
yang menganggap rakyat sebagai ancaman, sedangkan negara seolah memiliki
kekuasaan untuk menetapkan secara sepihak wilayah mana yang akan ditetapkan
sebagai kawasan hutan dengan berbagai fungsi. “Paradigma inilah yang menjadi
paradigma utama UU Kehutanan saat ini, yang telah terbukti menciptakan berbagai
konflik tenurial yang tidak pernah selesai hingga saat ini. Maka, harusnya
revisi UU Kehutanan yang tengah dilakukan saat ini harus menjadi momentum
perubahan paradigma pengaturan kehutanan Indonesia, sehingga mengubah total UU
Kehutanan adalah keharusan, bukan menambal sulam UU Kehutanan dengan merevisi
beberapa pasal saja”, kata Uli.
Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan,
Hukum dan HAM, AMAN menyatakan, persoalan penetapan kawasan
hutan termasuk Taman Nasional secara sepihak merupakan salah-satu wujud
pengingkaran hak-hak Masyarakat Adat sebagai pemegang hak terdahulu sebelum
terbentuknya entitas negara. Negaraisasi wilayah-wilayah adat menjadi kawasan
hutan negara tidak hanya berdampak pada tercerabutnya identitas budaya
Masyarakat Adat, tetapi juga berakibat pada kemiskinan dan pemiskinan
Masyarakat Adat karena kehilangan ruang penghidupannya. “Hal-hal inilah yang
menjadi salah-satu dasar urgensi pengesahan UU Masyarakat Adat yang telah
mangkrak lebih dari 15 tahun. Saatnya DPR dan Presiden RI mengambil tindakan
nyata untuk melindungi, menghormati dan memenuhi hak-hak konstitusional
Masyarakat Adat dengan tindakan nyata, Sahkan UU Masyarakat Adat,” tegas Arman.
Netty Herawaty, Pusat Studi Hak Asasi Manusia
(HAM) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menyatakan,
usulan kebijakan penetapan Taman Nasional di Pegunungan Meratus yang dilakukan
sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat adat Meratus yang telah
lama menghuni dan mengelola kawasan tersebut merefleksikan pendekatan kebijakan
yang sentralistik, top-down, dan eksklusif. Terlebih, dalam UU
KSDAHE yang baru meniadakan pelibatan pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat
adat dalam mengelola dan melindungi hutan yang semestinya haruslah menjadi
aktor utama dalam mengelola dan melindungi hutan. Dengan kata lain, usulan
kebijakan konservasi melalui penetapan Taman Nasional jauh dari paradigma
konservasi berbasis pengetahuan tradisional masyarakat adat dan hak-hak atas
tanah masyarakat adat.
Muhammad Ihsan Maulana, Policy Engagement,
Working Group ICCA Indonesia, menyatakan pengusulan dan
penetapan Meratus secara sepihak sebagai Taman Nasional yang ditolak menambah
daftar panjang potensi konflik di Kawasan Konservasi dan Taman Nasional yang
akan dialami oleh Masyarakat Adat. Selain itu, penetapan Meratus sebagai Taman
Nasional juga berpotensi menghilangkan praktik konservasi berbasis pengetahuan
tradisional yang sudah dilakukan secara turun temurun (ICCA). Meratus sendiri
sudah tercatat sebagai salah satu dari 293 komunitas yang memegang hak dari
wilayah ICCA. Kasus merupakan bukti bahwa UU KSDAHE yang baru berpotensi
memperparah urusan pengelolaan kawasan konservasi karena tidak mengatur proses
FPIC dan Penyelesaian konflik dalam pengaturannya. Ujar Ihsan.
Fakta-fakta penolakan usulan Taman Nasional ini disampaikan
lewat diskusi publik bertema “Taman Nasional Meratus untuk Siapa?” yang
diselenggarakan oleh WALHI Kalsel dan AMAN Kalsel bersama organisasi masyarakat
sipil, perwakilan komunitas adat, akademisi, dan aktivis lingkungan yang
tergabung dalam Aliansi Meratus. Kegiatan ini menjadi wadah untuk membongkar
dampak ekologis, sosial, dan politik dari kebijakan yang dinilai mengancam
keberlangsungan hidup masyarakat adat serta meminggirkan hak-hak mereka atas
tanah dan hutan warisan leluhur.
Diskusi publik ini juga menghasilkan Resolusi
Meratus yang memuat pernyataan sikap:
- Menolak
rencana penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus di wilayah adat
Masyarakat Adat Meratus di Kalimantan Selatan.
- Mendesak
Gubernur dan DPRD Provinsi Kalimantan Selatan untuk segera menarik kembali
pengajuan penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus di Kalimantan
- Mendesak
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia untuk menghentikan seluruh proses
penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan.
- Mendesak
kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan untuk Mengimplementasikan
Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Berdasarkan sikap tersebut, Aliansi Meratus mengusulkan agar
Presiden dan DPR untuk melakukan:
- Mengesahkan
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat dalam masa sidang tahun
- Melakukan
revisi total Undang-Undang Kehutanan yang saat ini sedang dibahas oleh DPR
RI.
- Mencabut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
