Sawah: Pekerjaan dan Pangan

By PorosBumi 16 Des 2024, 08:47:54 WIB Tilikan
Sawah: Pekerjaan dan Pangan

Bandung Mawardi

Bapak Rumah Tangga dan Tukang Kliping


Baca Lainnya :

SAWAH masih penting untuk Indonesia abad XXI. Kalimat dianggap tepat: Indonesia makin membutuhkan sawah. Konon, sawah-sawah di pelbagai desa dan pinggiran kota berkurang akibat permukiman, pabrik, perkantoran, dan lain-lain. Sawah mendapat nasib buruk: menghilang atau alih fungsi. Sawah masih dimengerti bertema pangan. Orang-orang meratap atas nasib sawah meski pemerintah sering bingung dalam membuat kebijakan dan memberi argumentasi mengandung bantahan.

Seruan swasembada pangan dan makanan bergizi gratis memastikan sawah itu referensi. Kita diminta berpikiran (lagi) tentang sawah. Urusan sawah tak sekadar menimbulkan debat dan pengharapan di Indonesia. Di pelbagai negara, sawah tetap diinginkan “berkah”. Ingatan sawah bermunculan saat para pemikir mengingatkan beban kerja dan makna kerja bagi umat manusia abad XXI. Kerja makin melelahkan. Kerja (hampir) hampa makna.

Kepentingan mengubah pemahaman kerja menguak sejarah manusia dan kerja, sejak sekian abad silam: “Pertanian membuat manusia sibuk karena mereka harus menyiapkan lahan, menanam benih, merawat tanaman, hingga memanennya… Mereka bekerja sejak matahari terbit hingga terbenam (Kompas, 26 November 2024). Babak peradaban manusia bertajuk pertanian atau sawah masih berlanjut sampai sekarang dengan beragam dilema.

Konon, urusan sawah di Indonesia dalam seruan rezim Prabowo-Gibran makin dipentingkan demi capaian swasembada pangan. Kita boleh turut dipusingkan pamrih pemerintah. Kita tetap berpikiran sawah tapi pijakan dan arah berbeda.

Pada 2016, Muhammad de Putra menggubah puisi berjudul “Anak-Anak Sawah”. Puisi tak dimaksudkan berada di alur swasembada pangan. Kita membaca dengan kecenderungan berbeda dari tema dibesarkan penguasa di Indonesia. Puisi mengandung sedikit nostalgia imajinasi tandingan dari situasi mutakhir: akulah anak-anak sawah/ yang lahir dari jerami-jerami/ ibu yang kering/ berharap teman-temanku/ cepat bunting membuncitkan tunduk// telah menunggu beberapa bulan/ kala hujan, juga kemarau/ batang-batang padi/ mulai bersalah// tak ada yang lebih indah/ dari panen penuh luka, tanya,/ dan suara anak-anak.

Kita melihat atau berada di sawah. Pemandangan memberi janji pangan. Kita pun mengerti sawah kadang terkena musibah. Kaum petani tak dipastikan bisa panen dengan girang. Padi-padi di sawah diinginkan oleh pelbagai pihak. Sawah dalam pentas diinginkan menggembirakan ketimbang selalu kabar buruk dan terpuruk. Sawah pun pentas kegagalan dan kesalahan. Panen kadang cuma impian dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan angan berjudul kemakmuran.

Di bait terakhir, kita membaca: wahai ibuku, yang telah lama/ dimakan tikus, apakah aku harus/ terus terpancang di rusuk sawah/ dengan senyum yang dibuat-buat// atau dunia terlampau sulit untuk dipanen. Para petani sudah bekerja dan berharap mewujudkan makna-makna menggembirakan. Sawah justru memberi duka dan tanda seru tentang kerja belum selesai atau panen batal terselenggara.

Puisi tak mencukupi untuk mengerti sawah. Kita berlanjut ke prasasti. Ajatrohaedi (1981) menjelaskan: “Bukti tertua tentang sawah kita dapatkan dalam prasasti Dieng, yang dikeluarkan pada tahun 731 Saka atau 809 Masehi.” Di prasasti, terbaca: “hana sima i sri manggala watak hino sa wah lam wit 1 hana”. Terjemahan dalam bahasa Indonesia: “ada sima (daerah perdikan, bebas pajak) di sri manggala daerah hino berupa sawah seluas 1 lambit.” Kata “sawah” terbaca. Kita perlahan mengerti sejarah sawah. Prasasti mengingatkan dan memberi petunjuk.

Sawah tak cuma kata. Di Nusantara, sawah mengisahkan keluarga, desa, kekuasaan, pemberontakan. Ritual, seni, dan lain-lain. Sawah menjadi “pusat” dalam arus peradaban meski perubahan abad-abad berakibat sawah menjadi “remeh” dan “hancur”. Semula, sawah itu pangan. Di babak berbeda, sawah malah dianggap masalah untuk nalar serakah dan keangkuhan kaum perusak imajinasi agraris.

Sejak lama, sawah dilestarikan atau diwariskan dengan dongeng, lagu, gambar, dan lain-lain. Kita mengingat lagu gubahan Madong Lubis (1949) berjudul “Anak Tani”. Lagu untuk anak dan remaja agar mengenali kerja dan pangan. Lagu memang tak terkenal tapi mengandung ajakan-ajakan kebaikan agraris: Kaki dan tangan mesti goenakan/ Terbitpoen peloeh, djangan hiraukan/ Kotorpoen badan, djangan soesahkan/ Soedah berhenti boleh bersihkan// Djikau kaudapat hasil peloehmoe/ Oepah tenaga djerih pajahmoe/ Sedaplah makan, njenjak tidoermoe/ Senanglah hati dalam hidoepmoe. Lagu mengandung pesan agar orang-orang bekerja untuk terhormat dan bahagia. Kerja itu berkonsekuensi pangan. Kerja memang melelahkan tapi panen memberi girang.

AE Wairata (1958) turut memuliakan sawah dalam lagu berjudul “Hamparan Sawah”. Lagu berimajinasi keindahan dan kemakmuran. Penggubah lagu sedang memastikan Indonesia itu album sawah. Kita simak lirik: Sawah jang hidjau terhampar/ Nampaknja djauh mendatar/ Merupakan permadani/ Alam tjantik berseri/ Bertepikan tanah berbukit/ Dan sebuah anak sungai/ Jang mengilaukan warna langit/ Seluruhnja tampak permai.

Lagu dibawakan anak dan remaja saat Indonesia sedang bergerak dengan revolusi tapi tak pernah selesai. Soekarno menginginkan sawah turut menjadi pijakan revolusi agar Indonesia makmur. Tahun-tahun berlalu, perintah dan impian itu mengabur. Indonesia masih sulit makmur meski memiliki hamparan sawah tampak indah.

Ingatan sawah, pertanian, pangan, atau kemakmuran tak dijamin selalu menggembirakan. Penguasa, kaum tani, pedagang, dan penikmat pangan dalam jalinan rumit dalam mengartikan peradaban sawah atau pemaknaan makanan. Di majalah Zaman, 19 Desember 1982, kita membaca puisi gubahan anak bernama Anto Sisdiarto. Ia membuat renungan pangan bernama nasi. Di Indonesia, nasi itu tema berkuasa dalam kebijakan pangan dibandingkan sagu, jagung, atau ubi.

Kita tak lagi berada di sawah. Puisi mengajak kita hadir di depan meja: Sepiring nasi/ biarlah di meja situ/ kesepian dalam tahapan/ mata-mata yang lapar/ Sepiring nasi tergeletak/ seribu lalat mengerumuni/ basi/ Pada sepiring nasi tak ada/ suatu kasih/ mata yang lapar cuma/ menatap malu.

Kita kadang gagal dalam pemuliaan pangan. Situasi mutakhir tak lagi memunculkan prihatin atas nasib kaum lapar. Pesta makanan dengan pemborosan dan pembuangan pun menguak buruk. Orang-orang sengaja menjadikan pangan itu limbah. Selera dan kemampuan makan pun bermasalah bagi orang-orang sulit selaras alam. Makan dalam nalar industrial justru berakibat kerusakan dan penghinaan ketimbang keinsafan atas kebutuhan raga atas makanan.

Pangan dimulai dengan sawah dan kerja. Pada babak lanjutan, orang menikmati makanan atau membuang makanan. Kita diajak berpikiran lagi alam dan pekerjaan. Pada abad XXI, alam makin rusak mengakibatkan sawah itu dambaan-nostalgia. Pekerjaan membuat manusia hampa makna gara-gara gagal mengerti raga, waktu, batin, hiburan, kesenggangan, dan lain-lain. Kita masih bermasalah tanpa mampu memberi jawaban-jawaban meralat dan meredakan segala krisis pangan dan nestapa dunia. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment