- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
Sawah: Pekerjaan dan Pangan
Bandung Mawardi
Bapak Rumah Tangga dan Tukang Kliping
Baca Lainnya :
- Kebun dari Limbah Galon: Inovasi FTUI dengan Koperasi SAS di Desa Sukajaya0
- Sejarah Asal Mula dan Jenis Tanaman Cabai0
- Kelapa: Hilirisasi dan Imajinasi0
- Eratani dan Distphbun Sulsel Siap Bersinergi Transformasi Teknologi Modern0
- Rilis Permentan No 13/2024, Pemerintah Pastikan Harga TBS Tidak Merugikan Pekebun0
SAWAH masih penting untuk Indonesia abad XXI. Kalimat dianggap tepat: Indonesia makin membutuhkan sawah. Konon, sawah-sawah di pelbagai desa dan pinggiran kota berkurang akibat permukiman, pabrik, perkantoran, dan lain-lain. Sawah mendapat nasib buruk: menghilang atau alih fungsi. Sawah masih dimengerti bertema pangan. Orang-orang meratap atas nasib sawah meski pemerintah sering bingung dalam membuat kebijakan dan memberi argumentasi mengandung bantahan.
Seruan swasembada pangan dan makanan bergizi gratis
memastikan sawah itu referensi. Kita diminta berpikiran (lagi) tentang sawah.
Urusan sawah tak sekadar menimbulkan debat dan pengharapan di Indonesia. Di
pelbagai negara, sawah tetap diinginkan “berkah”. Ingatan sawah bermunculan
saat para pemikir mengingatkan beban kerja dan makna kerja bagi umat manusia
abad XXI. Kerja makin melelahkan. Kerja (hampir) hampa makna.
Kepentingan mengubah pemahaman kerja menguak sejarah manusia
dan kerja, sejak sekian abad silam: “Pertanian membuat manusia sibuk karena
mereka harus menyiapkan lahan, menanam benih, merawat tanaman, hingga
memanennya… Mereka bekerja sejak matahari terbit hingga terbenam (Kompas,
26 November 2024). Babak peradaban manusia bertajuk pertanian atau sawah masih
berlanjut sampai sekarang dengan beragam dilema.
Konon, urusan sawah di Indonesia dalam seruan rezim
Prabowo-Gibran makin dipentingkan demi capaian swasembada pangan. Kita boleh
turut dipusingkan pamrih pemerintah. Kita tetap berpikiran sawah tapi pijakan
dan arah berbeda.
Pada 2016, Muhammad de Putra menggubah puisi berjudul
“Anak-Anak Sawah”. Puisi tak dimaksudkan berada di alur swasembada pangan. Kita
membaca dengan kecenderungan berbeda dari tema dibesarkan penguasa di
Indonesia. Puisi mengandung sedikit nostalgia imajinasi tandingan dari situasi
mutakhir: akulah anak-anak sawah/ yang lahir dari jerami-jerami/ ibu yang
kering/ berharap teman-temanku/ cepat bunting membuncitkan tunduk// telah
menunggu beberapa bulan/ kala hujan, juga kemarau/ batang-batang padi/ mulai
bersalah// tak ada yang lebih indah/ dari panen penuh luka, tanya,/ dan suara
anak-anak.
Kita melihat atau berada di sawah. Pemandangan memberi janji
pangan. Kita pun mengerti sawah kadang terkena musibah. Kaum petani tak
dipastikan bisa panen dengan girang. Padi-padi di sawah diinginkan oleh
pelbagai pihak. Sawah dalam pentas diinginkan menggembirakan ketimbang selalu
kabar buruk dan terpuruk. Sawah pun pentas kegagalan dan kesalahan. Panen
kadang cuma impian dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan angan berjudul
kemakmuran.
Di bait terakhir, kita membaca: wahai ibuku, yang telah
lama/ dimakan tikus, apakah aku harus/ terus terpancang di rusuk sawah/ dengan
senyum yang dibuat-buat// atau dunia terlampau sulit untuk dipanen. Para
petani sudah bekerja dan berharap mewujudkan makna-makna menggembirakan. Sawah
justru memberi duka dan tanda seru tentang kerja belum selesai atau panen batal
terselenggara.
Puisi tak mencukupi untuk mengerti sawah. Kita berlanjut ke
prasasti. Ajatrohaedi (1981) menjelaskan: “Bukti tertua tentang sawah kita
dapatkan dalam prasasti Dieng, yang dikeluarkan pada tahun 731 Saka atau 809
Masehi.” Di prasasti, terbaca: “hana sima i sri manggala watak hino sa wah
lam wit 1 hana”. Terjemahan dalam bahasa Indonesia: “ada sima (daerah
perdikan, bebas pajak) di sri manggala daerah hino berupa sawah seluas 1
lambit.” Kata “sawah” terbaca. Kita perlahan mengerti sejarah sawah. Prasasti
mengingatkan dan memberi petunjuk.
Sawah tak cuma kata. Di Nusantara, sawah mengisahkan
keluarga, desa, kekuasaan, pemberontakan. Ritual, seni, dan lain-lain. Sawah
menjadi “pusat” dalam arus peradaban meski perubahan abad-abad berakibat sawah
menjadi “remeh” dan “hancur”. Semula, sawah itu pangan. Di babak berbeda, sawah
malah dianggap masalah untuk nalar serakah dan keangkuhan kaum perusak
imajinasi agraris.
Sejak lama, sawah dilestarikan atau diwariskan dengan
dongeng, lagu, gambar, dan lain-lain. Kita mengingat lagu gubahan Madong Lubis
(1949) berjudul “Anak Tani”. Lagu untuk anak dan remaja agar mengenali kerja
dan pangan. Lagu memang tak terkenal tapi mengandung ajakan-ajakan kebaikan
agraris: Kaki dan tangan mesti goenakan/ Terbitpoen peloeh, djangan
hiraukan/ Kotorpoen badan, djangan soesahkan/ Soedah berhenti boleh bersihkan//
Djikau kaudapat hasil peloehmoe/ Oepah tenaga djerih pajahmoe/ Sedaplah makan,
njenjak tidoermoe/ Senanglah hati dalam hidoepmoe. Lagu mengandung pesan
agar orang-orang bekerja untuk terhormat dan bahagia. Kerja itu berkonsekuensi
pangan. Kerja memang melelahkan tapi panen memberi girang.
AE Wairata (1958) turut memuliakan sawah dalam lagu berjudul
“Hamparan Sawah”. Lagu berimajinasi keindahan dan kemakmuran. Penggubah lagu
sedang memastikan Indonesia itu album sawah. Kita simak lirik: Sawah jang
hidjau terhampar/ Nampaknja djauh mendatar/ Merupakan permadani/ Alam tjantik
berseri/ Bertepikan tanah berbukit/ Dan sebuah anak sungai/ Jang mengilaukan
warna langit/ Seluruhnja tampak permai.
Lagu dibawakan anak dan remaja saat Indonesia sedang
bergerak dengan revolusi tapi tak pernah selesai. Soekarno menginginkan sawah
turut menjadi pijakan revolusi agar Indonesia makmur. Tahun-tahun berlalu,
perintah dan impian itu mengabur. Indonesia masih sulit makmur meski memiliki
hamparan sawah tampak indah.
Ingatan sawah, pertanian, pangan, atau kemakmuran tak
dijamin selalu menggembirakan. Penguasa, kaum tani, pedagang, dan penikmat
pangan dalam jalinan rumit dalam mengartikan peradaban sawah atau pemaknaan
makanan. Di majalah Zaman, 19 Desember 1982, kita membaca puisi gubahan
anak bernama Anto Sisdiarto. Ia membuat renungan pangan bernama nasi. Di
Indonesia, nasi itu tema berkuasa dalam kebijakan pangan dibandingkan sagu,
jagung, atau ubi.
Kita tak lagi berada di sawah. Puisi mengajak kita hadir di
depan meja: Sepiring nasi/ biarlah di meja situ/ kesepian dalam tahapan/
mata-mata yang lapar/ Sepiring nasi tergeletak/ seribu lalat mengerumuni/ basi/
Pada sepiring nasi tak ada/ suatu kasih/ mata yang lapar cuma/ menatap malu.
Kita kadang gagal dalam pemuliaan pangan. Situasi mutakhir
tak lagi memunculkan prihatin atas nasib kaum lapar. Pesta makanan dengan
pemborosan dan pembuangan pun menguak buruk. Orang-orang sengaja menjadikan
pangan itu limbah. Selera dan kemampuan makan pun bermasalah bagi orang-orang
sulit selaras alam. Makan dalam nalar industrial justru berakibat kerusakan dan
penghinaan ketimbang keinsafan atas kebutuhan raga atas makanan.
Pangan dimulai dengan sawah dan kerja. Pada babak lanjutan,
orang menikmati makanan atau membuang makanan. Kita diajak berpikiran lagi alam
dan pekerjaan. Pada abad XXI, alam makin rusak mengakibatkan sawah itu
dambaan-nostalgia. Pekerjaan membuat manusia hampa makna gara-gara gagal
mengerti raga, waktu, batin, hiburan, kesenggangan, dan lain-lain. Kita masih
bermasalah tanpa mampu memberi jawaban-jawaban meralat dan meredakan segala
krisis pangan dan nestapa dunia. Begitu.