Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?
Esai Budaya

By PorosBumi 28 Jun 2025, 11:42:28 WIB Tilikan
Kemandirian Pangan, Koperasi dan Seni, Sebuah Utopia?

Sebuah Mural gigantik tentang Sagu Papua, di salah satu tembok di Taman Ismail Marzuki, Jakarta berukuran sekitar 7,5 mx 2,5 meter, karya komunitas Jakarta Art Movement dan sejumlah individu dan kelompok seniman Street Art

 

Bambang Asrini Widjanarko

Baca Lainnya :

Penulis, pelukis dan kurator seni

 

“AGAR perut rakyat terisi, Kedaulatan Rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin. Melainkan rakyat tidak berdaya” – Bung Hatta, dalam untaian esai-esai di buku Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, 1971.

Mungkin saja Hatta salah, dengan api semangat di tahun 50-70an, ia lantang berpidato ada yang tidak beres dengan jalannya roda pembangunan. Jika mengutip data BPS saat ini ‘konon perut rakyat selalu terisi’. Sebab limpahan beras di Indonesia pada semester I tahun 2025, yang diserap terutama oleh Bulog, surplus dibandingkan dengan konsumsi.

Yang berarti semenjak Januari hingga Juni 2025 mencapai 18,76 juta ton. Sedangkan konsumsi diperkirakan 15,43 juta ton, menghasilkan surplus sekitar 3,33 juta ton. Rakyat untuk sementara ‘hampir tidak selalu lapar’, dengan ketersediaan beras yang cukup itu.

Namun, Hatta bisa jadi benar. Tatkala Juni ini, Bank Dunia atau World Bank telah menaikkan garis kemiskinan global. Menimbang akurasi adopsi ukuran purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli terbaru,--yang harusnya Indonesia masuk di negara menengah menjelang ‘negara dikatakan maju’. Tetiba anjlok selama satu dasawarsa ini, tak pelak implikasinya tingkat kemiskinan terkoreksi, Indonesia dikategorikan ‘negara melarat’; dan World Bank menafsir 192 juta populasi rakyat Indonesia tentu saja ‘diambang kelaparan’ terutama di sebagian wilayah Indonesia Timur.

Meski pemerintah, seperti biasa tak segera tergopoh-gopoh merespon ‘penyesuaian standar garis kemiskinan Bank Dunia itu’, yang selayaknya BPS mengubah metode penghitungan garis kemiskinan saat ini. Hal itu, memang realitas bahwa perlunya penggunaan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Terutama fenomena kelas menengah telah melorot menjadi ‘kelas menengah yang melarat’.

Tak mengulik standar milik BPS, Pemerintah lebih mengedepankan, misalnya membangun 30 ribu koperasi di desa-desa menjawab upaya ‘mengentas kemiskinan’. Dengan kepastian kebijakan itu diharapkan menyesuaikan standar OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), organisasi kerja sama dan pembangunan ekonomi. Sebuah forum global untuk penyebaran info, ilmu-pengetahuan dan hub untuk data-data, analisa dan praktik tersahih dalam kebijakan publik dunia, yang Indonesia dalam proses mengakses keanggotaan.

Kunci utamanya, rakyat harus berdaya sebagai Hatta sebut di awal tulisan. Kita semua tahu, Proklamator itu tenar dengan terobosan jenialnya yang disebut Hattanomics. Yakni, memprioritaskan tiga pilar konsep pemberdayaan ekonomi rakyat: Penguasaan Aset Negara, Kontrol pada Perusahaan Privat dan Kemandirian Ekonomi pada Pembentukan Koperasi yang semuanya berhulu pada UUD 1945.

Pasal 33 ayat (1), menjadi tonggak kuat fundamen legalitas pun falsafi Koperasi, yang mentransmisi pesan ‘Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan’; dari seluruh aktifitas dan implementasi bentukan koperasi.

Hatta dengan semangat skeptisnya pada watak dan karakter orang Indonesia, terutama birokrat dan pejabatnya mewanti-wanti. “Bahwa koperasi menguatkan kemandirian ekonomi rakyat, jangan memecahkannya dengan politik kotor para pengurus pusatnya, sebab azasnya demokrasi, kekeluargaan dan kebersamaan’, ujar Hatta tegas.

Kemandirian Pangan ala Pemberdayaan via Seni

Realita terjadinya ketakberdayaan rakyat, yang secara refleks direspon dengan membumikan konsep tinggi Asta Cita misalnya, lewat salah satunya adalah prioritas Kemandirian Pangan bisakah terkait dengan seni? Yang tentu saja adalah pertanyaannnya kemudian, seberapa efektifkah dan bagaimana konsep dan strateginya? 

Sebagai kurator seni, pelukis dan penulis tentu saja jawabnya adalah sangat bisa. Tentu saja pedoman utamanya Hatta, yang pernah menjalani hidup di Eropa dan meneliti di kawasan negara-negara maju di Skandinavia semenjak tahun 40-an awal, Koperasi yang dianggap modern adalah berkarakter: demokrasi, kekeluargaan dan kebersamaan, yang tak bisa ditawar-tawar!

Jika dijabarkan konsep Hatta itu, sebagai berikut. Satu, seni itu pada dasarnya adalah ungkapan energi yang sangat personal serta demokratis dan tumbuh di wilayah-wilayah sangat khusus meski teknologi informasi mengglobal, namun endapan memori kolektif tiap daerah di Indonesia memiliki warisan kultural yang kaya dan sangat membeda.

Dalam artian, bahwa secara personal dan kolektif, seni itu membuat orang-orang daerah memberdayakan keinginan-keinginan personal dan kolektifnya yang sangat khas, yang menjadi miliknya. Yang kedua, adalah kekeluargaan, bahwa endapan seni yang mengerak adalah keistimewaan ekspresi kultural yang sangat istimewa dengan ciri memiliki semangat kekeluargaan.

Artinya seni bisa menjadi perekat atas nasib bersama, sebab dengan klasifikasi, sifat dan curahan ekspresi yang memiliki kemiripan-kemiripan komunal antar para pelaku seni di daerah-daerah. Dengan demikian mereka menjadi kekuatan dan potensi kuat untuk bersama, bergerak dan mengikat satu dan lainnya dalam ekspresi kultural, berupa karya-karya seni.

Yang terakhir adalah kebersamaan. Jika kita menimbang kebersamaan, maka ingatan kita ada pada klasifikasi dan struktur ideologi sosialis. Yakni kebutuhan untuk hidup secara ekonomi, nilai-nilai lokalitas serta isu-isu sosial bisa dibagi dan pencarian solusi bersama secara rata dan adil. Hatta membuktikan betapa efektifnya nilai kebersamaan menguatkan struktur masyarakat sosialis dengan ketimpangan kaya-miskin yang sangat minim. Berbagai fasilitas publik yang terakses dan saling terkait untuk menopang jika terjadi kegoncangan dan cacat sosial yang terjadi dalam komunitas-komunitas yang spesifik.

Masyarakat gotong-royong adalah mungkin utopia, namun itu adalah darah dan pastinya DNA masing-masing kultur-kultur etnisitas di seluruh pelosok Tanah Air.Tiga hal fundamen dasar itu, manifestasinya adalah ekspresi kultural yang bisa disempitkan dalam karya-karya seni tradisi pun yang paling terkini, yakni yang mampu menangkap segala fenomena dan isu-isu sosial dengan pendekatan-pendekatan karakter dasar kolektif manusia Nusantara.

Dalam pemahaman penulis, makna Kemandirian Pangan, secara sederhana bisa dimanifestasikan dalam tiga pilar utama, yakni ikatan antara: Produsen-Distributor-Konsumen! Maka yang terjadi adalah keterikatan yang saling sambung-menyambung antar tiga pilar itu, tak terpisah yang jika salah satunya kedodoran, makan berdampak pada yang lain.

Maka, bagaimana peran seni yang memberi kontribusi pada ‘pemberdayaan’ pada tiga pilar utama itu? Perlu dikasifikasikan peran dan sektor apa saja yang bisa secara meresap dan menguatkan akar-akar jalinan dan irisan-irisan antar tiga pilar utama dan dengan masing-masing ‘habitatnya’.

Misalnya, kultur mendasar karakter-karakter petani dan nelayan pun peternak, kecukupan dan kenyamanan menumbuhkan produksi Sembilan Bahan Pokok. Kemudian jaringan dan model-model kultural akses-akses transmisi rantai pemasok dan distribusi para pembawa produknya dengan teknologi terkini, sampai perilaku konsumsi dan daya beli masyarakatnya di tiap daerah di Tanah air.

Seni akan memerankan perlunya imajinasi, dalam hal ini kreatifitas untuk menoleh kembali pada kebijaksanaan tradisi, tanpa mengabaikan teknologi pun menyemai intuisi-intuisi purba setiap manusia secara kolektif untuk bersama membangun konsep lama sebagai arti: Gotong-Royong.

Yang pada akhirnya mengakselerasi, mengetuk kantung-kantung terdalam kumpulan para peternak, nelayan atau petani untuk menjaga kebersamaan, saat sama dengan semangat kekeluargaan ditularkan pada keberimbangan dan kesetaraan dalam distribusi ekonomi yang hakikatnya adalah bangga menjadi bagian merayakan keberbedaan poduk-produk daerahnya sendiri. Demokrasi bukan lagi jargon namun dibawa turun ke bumi hari ini. Tak mudah, namun sekali lagi, bukan utopia.

 

Karya Bambang Asrini, Wanted: New Gold, drawing mixed media, on Paper, 60x40cm,2025

 

 

Karya Bambang Asrini, ‘Truth: Monumen Nasional’, Drawing mixed media on paper, 60x40cm, 2025

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment