Hujan Asam Berpotensi Merusak Lingkungan dan Infrastruktur

By PorosBumi 20 Feb 2025, 07:21:32 WIB Lingkungan
Hujan Asam Berpotensi Merusak Lingkungan dan Infrastruktur

BANDUNG - Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Trismidianto mengatakan, salah satu fenomena yang sering diabaikan masyarakat adalah dampak air hujan yang telah tercemar polusi. Jika mengandung polutan seperti logam berat, sulfur dioksida, dan nitrogen oksida, air hujan dapat membentuk hujan asam yang berpotensi merusak lingkungan dan infrastruktur.

“Apa kalian tahu Patung Pancoran Jakarta? Patung tersebut sudah tercemar hujan asam. Hujan asam terjadi karena berbagai faktor lingkungan, termasuk polusi udara dan hujan. Faktor-faktor ini yang menyebabkan korosi pada permukaan patung,” kata Trismidianto, dalam kunjungan ilmiah Institut Teknologi Pagar Alam, di Bandung, Senin (17/2/2025). 

baca juga: Greenpeace Asia Tenggara Umumkan Transisi Kepemimpinan

Baca Lainnya :

Air hujan, ujar Trismidianto, sering disepelekan oleh masyarakat karena mereka menilai air hujan tidak berbahaya. “Padahal, jika air hujan tercemar polusi bisa membawa polutan seperti logam berat, sulfur dioksida, nitrogen oksida, yang bisa membentuk hujan asam,” tambahnya.

Karena itu, jelas Trismidianto, penelitian di bidang iklim dan atmosfer sangat penting untuk meningkatkan pemahaman serta kemampuan dalam memprediksi peringatan dini bencana, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pengelolaan lingkungan berkelanjutan, serta pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

Trismidianto menguraikan, atmosfer bumi memiliki lapisan utama, yaitu troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer/ionosfer, dan eksosfer. Setiap lapisan tersebut memiliki karakteristik dan fungsi yang berbeda-beda.

“Hujan asam terbentuk di troposfer, yaitu lapisan atmosfer paling bawah yang membentang hingga sekitar 8-15 km di atas permukaan bumi. Troposfer merupakan tempat terjadinya sebagian besar fenomena cuaca, termasuk hujan, maka hujan asam juga terjadi di lapisan ini,” urainya.

Sementara ionosfer, lanjut Trismidianto, berpengaruh terhadap penerbangan dan memprediksi bencana. “Sampai saat ini, sedang berlanjut pengujian riset tentang total elektron ionosfer untuk memprediksi terjadinya gempa bumi, dengan melihat pergerakan atau perubahan di permukaan melalui total elektron,” terangnya.

Interaksi antara atmosfer dan lautan juga berperan penting dalam pertanian serta pola cuaca global. Perubahan arus laut dapat memengaruhi curah hujan dan kondisi iklim di Indonesia.

Salah satu contoh fenomena ini adalah El Niño, yang terjadi akibat gangguan pada sirkulasi atmosfer dan lautan di Samudra Pasifik. El Niño menyebabkan perubahan pola cuaca ekstrem, yang dapat berdampak negatif pada tanaman dan hasil panen.

baca juga:  Kebun dari Limbah Galon: Inovasi FTUI dengan Koperasi SAS di Desa Sukajaya

Trismidianto menyebut, dalam perubahan iklim, sebenarnya ada kaitan dengan aktivitas dari manusianya. “Jika kita melihat dari semuanya itu berkontribusi menyumbang dengan terjadinya perubahan iklim. Pertanyaannya sekarang bagaimana kita menstabilkan perubahan iklim tersebut,” ucapnya.

Lebih lanjut Trismidianto menjelaskan, perubahan iklim merupakan perubahan yang terjadi atas variabel-variabel iklim, khususnya temperatur udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu panjang, antara 50 sampai 100 tahun. Dalam perubahan iklim bisa saja terjadi banjir, kekeringan, pergeseran musim, pergeseran cuaca, dan lain sebagainya.

“Nah, ini awalnya gas rumah kaca (GRK). Saya yakin semuanya pernah merasakan, salah satu contoh parkir mobil yang ditaruh di lapangan yang panas. Pas pertama kita masuk di dalam terasa sangat panas, itulah GRK. Kenapa? karena panas atau radiasi yang masuk itu terperangkap dan tidak bisa keluar,” tutur Trismidianto.

GRK adalah gas-gas di atmosfer yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia. Gas ini berkemampuan untuk menyerap radiasi matahari di atmosfer sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi lebih hangat. “Dalam mempelajari sains atmosfer kita itu butuh model untuk memprediksi,” ujar Trismidianto.

Model merupakan representasi (biasanya lebih sederhana) dari suatu objek atau proses yang ada atau terjadi di alam yang sesungguhnya. Terdapat dua jenis model, yaitu model fisik dan model matematik atau numerik. Model dapat berbentuk sebagai objek fisik, gambar, grafik, persamaan matematika, ataupun perangkat lunak yang dijalankan dengan bantuan komputer.

Di akhir, Trismidianto menjelaskan beberapa sistem yang dibuat di PRIA BRIN. Salah satunya SADEWA (Satellite Disaster Early Warning System) terkait prediksi curah hujan untuk tiga hari ke depan.

SADEWA memantau dan memprediksi kejadian hujan ekstrem yang berpotensi menimbulkan bencana banjir dan longsor hingga resolusi 5 km menggunakan satelit dan model atmosfer. Sistem ini juga dapat mengurangi risiko bencana hidrometeorologis dengan meningkatkan kesiapsiagaan. “Sistem ini dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan bencana, pekerjaan umum, pertambangan, dan smart city,” tutup Trismidianto. (rgs, tdd/ed:kg, tnt)




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment