- Menkeu, Teori dan Kebijakan Tarif
- Uji Kelayakan Lokasi PLTN, BRIN dan BMKG Lakukan Kajian Potensi Tsunami di Pantai Gosong
- Perjalanan Jatuh Bangun Ali Sarbani, Anak Petani Sukses Berbisnis Properti
- KAI Daop 8 Pelajari Media Percontohan Pembelajaran Pencegahan Krisis Planet
- Pemerintah Perkuat Infrastruktur Pengelolaan Sampah Lewat Teknologi
- Kakek 103 Tahun Sukses Jualan di Tiktok Shop
- Asal-Usul Bubur Ayam Jakarta 46
- Foto Itu...
- Gubernur Pramono Anung Apresiasi Kiprah Muhammadiyah DKI Jakarta
- Huawei Mate XT, Smartphone Lipat Tiga Pertama Hadir di Indonesia
Hujan Asam Berpotensi Merusak Lingkungan dan Infrastruktur
.jpg)
BANDUNG - Peneliti Ahli Utama Pusat
Riset Iklim dan Atmosfer (PRIA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Trismidianto mengatakan, salah satu fenomena yang sering diabaikan masyarakat
adalah dampak air hujan yang telah tercemar polusi. Jika mengandung polutan seperti
logam berat, sulfur dioksida, dan nitrogen oksida, air hujan dapat membentuk
hujan asam yang berpotensi merusak lingkungan dan infrastruktur.
“Apa kalian tahu Patung Pancoran Jakarta? Patung tersebut sudah tercemar hujan asam. Hujan asam terjadi karena berbagai faktor lingkungan, termasuk polusi udara dan hujan. Faktor-faktor ini yang menyebabkan korosi pada permukaan patung,” kata Trismidianto, dalam kunjungan ilmiah Institut Teknologi Pagar Alam, di Bandung, Senin (17/2/2025).
baca juga: Greenpeace Asia Tenggara Umumkan Transisi Kepemimpinan
Baca Lainnya :
- KKP Tanam Ribuan Pohon Vegetasi Perkuat Mitigasi di Pesisir Rawan Bencana 0
- Superkomputer Prediksi Kapan Bumi Kehabisan Oksigen, Panas Ekstrem akan Musnahkan Manusia0
- KEHATI dan Eyang Memet Kembali Tanam 100 Pohon Endemik Jawa Barat0
- Vonis Tertinggi Sepanjang Sejarah, 6 Pemburu Badak Jawa Diganjar 11-12 Tahun Penjara0
- Krisis Ekologi dan ”Bla Bla Bla” Elite0
Air hujan, ujar Trismidianto, sering disepelekan oleh
masyarakat karena mereka menilai air hujan tidak berbahaya. “Padahal, jika air
hujan tercemar polusi bisa membawa polutan seperti logam berat, sulfur
dioksida, nitrogen oksida, yang bisa membentuk hujan asam,” tambahnya.
Karena itu, jelas Trismidianto, penelitian di bidang iklim
dan atmosfer sangat penting untuk meningkatkan pemahaman serta kemampuan dalam
memprediksi peringatan dini bencana, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,
pengelolaan lingkungan berkelanjutan, serta pencapaian Sustainable Development
Goals (SDGs).
Trismidianto menguraikan, atmosfer bumi memiliki lapisan
utama, yaitu troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer/ionosfer, dan eksosfer.
Setiap lapisan tersebut memiliki karakteristik dan fungsi yang berbeda-beda.
“Hujan asam terbentuk di troposfer, yaitu lapisan atmosfer
paling bawah yang membentang hingga sekitar 8-15 km di atas permukaan bumi.
Troposfer merupakan tempat terjadinya sebagian besar fenomena cuaca, termasuk
hujan, maka hujan asam juga terjadi di lapisan ini,” urainya.
Sementara ionosfer, lanjut Trismidianto, berpengaruh
terhadap penerbangan dan memprediksi bencana. “Sampai saat ini, sedang
berlanjut pengujian riset tentang total elektron ionosfer untuk memprediksi
terjadinya gempa bumi, dengan melihat pergerakan atau perubahan di permukaan
melalui total elektron,” terangnya.
Interaksi antara atmosfer dan lautan juga berperan penting
dalam pertanian serta pola cuaca global. Perubahan arus laut dapat memengaruhi
curah hujan dan kondisi iklim di Indonesia.
Salah satu contoh fenomena ini adalah El Niño, yang terjadi
akibat gangguan pada sirkulasi atmosfer dan lautan di Samudra Pasifik. El Niño
menyebabkan perubahan pola cuaca ekstrem, yang dapat berdampak negatif pada
tanaman dan hasil panen.
baca juga: Kebun dari Limbah Galon: Inovasi FTUI dengan Koperasi SAS di Desa Sukajaya
Trismidianto menyebut, dalam perubahan iklim, sebenarnya ada
kaitan dengan aktivitas dari manusianya. “Jika kita melihat dari semuanya itu
berkontribusi menyumbang dengan terjadinya perubahan iklim. Pertanyaannya
sekarang bagaimana kita menstabilkan perubahan iklim tersebut,” ucapnya.
Lebih lanjut Trismidianto menjelaskan, perubahan iklim
merupakan perubahan yang terjadi atas variabel-variabel iklim, khususnya
temperatur udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam
jangka waktu panjang, antara 50 sampai 100 tahun. Dalam perubahan iklim bisa
saja terjadi banjir, kekeringan, pergeseran musim, pergeseran cuaca, dan lain
sebagainya.
“Nah, ini awalnya gas rumah kaca (GRK). Saya yakin semuanya
pernah merasakan, salah satu contoh parkir mobil yang ditaruh di lapangan yang
panas. Pas pertama kita masuk di dalam terasa sangat panas, itulah GRK. Kenapa?
karena panas atau radiasi yang masuk itu terperangkap dan tidak bisa keluar,”
tutur Trismidianto.
GRK adalah gas-gas di atmosfer yang dihasilkan dari berbagai
kegiatan manusia. Gas ini berkemampuan untuk menyerap radiasi matahari di
atmosfer sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi lebih hangat. “Dalam
mempelajari sains atmosfer kita itu butuh model untuk memprediksi,” ujar
Trismidianto.
Model merupakan representasi (biasanya lebih sederhana) dari
suatu objek atau proses yang ada atau terjadi di alam yang sesungguhnya.
Terdapat dua jenis model, yaitu model fisik dan model matematik atau numerik.
Model dapat berbentuk sebagai objek fisik, gambar, grafik, persamaan
matematika, ataupun perangkat lunak yang dijalankan dengan bantuan komputer.
Di akhir, Trismidianto menjelaskan beberapa sistem yang
dibuat di PRIA BRIN. Salah satunya SADEWA (Satellite Disaster Early Warning
System) terkait prediksi curah hujan untuk tiga hari ke depan.
SADEWA memantau dan memprediksi kejadian hujan ekstrem yang
berpotensi menimbulkan bencana banjir dan longsor hingga resolusi 5 km
menggunakan satelit dan model atmosfer. Sistem ini juga dapat mengurangi risiko
bencana hidrometeorologis dengan meningkatkan kesiapsiagaan. “Sistem ini dapat
dimanfaatkan untuk penanggulangan bencana, pekerjaan umum, pertambangan, dan
smart city,” tutup Trismidianto. (rgs, tdd/ed:kg, tnt)
