- Menkeu, Teori dan Kebijakan Tarif
- Uji Kelayakan Lokasi PLTN, BRIN dan BMKG Lakukan Kajian Potensi Tsunami di Pantai Gosong
- Perjalanan Jatuh Bangun Ali Sarbani, Anak Petani Sukses Berbisnis Properti
- KAI Daop 8 Pelajari Media Percontohan Pembelajaran Pencegahan Krisis Planet
- Pemerintah Perkuat Infrastruktur Pengelolaan Sampah Lewat Teknologi
- Kakek 103 Tahun Sukses Jualan di Tiktok Shop
- Asal-Usul Bubur Ayam Jakarta 46
- Foto Itu...
- Gubernur Pramono Anung Apresiasi Kiprah Muhammadiyah DKI Jakarta
- Huawei Mate XT, Smartphone Lipat Tiga Pertama Hadir di Indonesia
Makan: Pepatah dan Peribahasa

Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- Kebahagiaan Anak Panti Ramadan di Jogja, Naik Pelita Air dan Menginap di Patra Malioboro Hotel0
- Menghidupkan Kembali Tradisi Muslim 500 Tahun Silam, Naik Haji Berkuda Andalusia-Mekkah0
- Tabiat Korupsi dalam Permodalan0
- Asa Pemuda Walahar, Ubah Limbah Jadi Berkah0
- Mudik Lebaran PT KAI Sediakan 4,5 Juta Tiket, Sebanyak 2,7 Juta Kelas Ekonomi Tarif Terjangkau0
PELAJARAN mengenai hidup terkandung
dalam peribahasa dan pepatah. Para leluhur menata kata bergelimang makna. Kita
mewarisi dengan tafsir-tafsir tetap atau berubah. Ingatan atas peribahasa dan
pepatah mungkin berkurang saat zaman mutakhir memamerkan jutaan “kutipan”
terbaru dengan citarasa berbeda. Dulu, peribahasa dan pepatah itu “mengalir”
melalui tuturan dam awet dalam ingatan.
Kita masih mungkin menengok silam dalam buku-buku lama
mengandung peribahasa dan pepatah. Kita memilih berkaitan “makan” meski sekadar
umpama. Di buku berjudul 500 Pepatah (1952) susunan Aman, kita membaca
pepatah: “Ketika ada djangan dimakan, telah habis maka dimakan.” Kata kunci di
situ “makan”. Pepatah lama tetap berkhasiat pada masa sekarang. Pengertian
diberikan oleh Aman: “Waktu ada pentjaharian, djangan diganggu harta simpanan.
Apabila tak ada pentjaharian lagi, barulah dipergunakan harta simpanan itu.”
Kita membaca ulang: pepatah sesuai dengan siasat hidup saat
pemerintah membuat kebijakan-kebijakan bertajuk “penghematan”. Situasi
mendebarkan saat orang-orang ingin terus mencari rezeki demi kebutuhan
keluarga. Situasi bisnis sedang rumit. Ribuan orang terpaksa tak lagi bekerja
di pelbagai pabrik atau perusahaan. Mereka harus tetap hidup. Simpanan masih
bisa untuk mengadakan makanan di keluarga. Hari-hari tak boleh sekadar
menghabiskan simpanan. Bekerja dan nafkah menjadi tema terpenting meski sadar
hidup terjerat pesimis dan putus asa.
Kita lanjutkan membaca pepatah lama: “Tidak bernasi di balik
kerak.” Kita tak sedang berimajinasi makan nasi terlezat. Pepatah itu
mengandung arti: “Tak ada orang jang lebih dari pada dia sendiri. Tabiat orang
jang sombong, jang menjebut dirinja segala lebih.” Pepatah mengandung diksi
“nasi” mengingatkan orang agar tidak sombong dan merasa “paling” ketimbang
orang lain. Kini, sombong itu tampang saat orang-orang berkuasa dan bergelimang
harta mudah menikmati makanan-makanan terlezeat di hadapan jutaan orang sedang
prihatin.
“Makan” dan “nasi” dalam dua pepatah itu mendekatkan kita
dengan kebutuhan pokok keseharian. Kecermatan mengartikan pepatah menghubungkan
kita dengan “pangan” dan tata cara hidup bersama. Sikap “menghemat” agar terus
hidup itu penting agar saat terpuruk tak terlalu merepotkan orang lain.
Keinsafan hidup bareng orang-orang memiliki kelebihan dan kekurangan
menggagalkan sombong. Kita mengingat lagi pepatah bukan untuk segera makan nasi
bersama lauk meraih kenikmatan. Pepatah itu ajaran hidup.
Para lelulur di Nusantara pun mewariskan ribuan peribahasa.
Sejak masa penjajahan, para sarjana Belanda, pendidik, dan pengarang mengadakan
dokumentasi “tertulis” untuk terbit menjadi buku. Peribahasa menjadi pelajaran
di sekolah dan bermunculan dalam peristiwa-peristiwa sosial. Ribuan peribahasa
lestari meski perlahan jarang lagi menjadi kutipan keseharian.
Kita membuka Kamus Peribahasa (1991) susunan Sarwono
Pusposaputro. Kita bertemu lagi peribahasa: “Makan upas berulam racun.”
Pengertian terkandung: “Hidup dalam kesusahan”. Kita mengandaikan orang sulit
mengelak dari derita. Ia tampak makan tapi bukan menghilangkan lapar. Makan
justru memberi pengulangan dan bobot kesengsaraan. Nasib orang seperti itu
mudah ditemukan masa sekarang.
Peribahasa mengandung peringatan: “Makan bubur panas-panas.”
Tindakan gagal mendapatkan kenikmatan. Peringatan diberikan: “Terlalu
mengharapkan rezeki lalu bertindak tergesa-gesa, akhirnya kecewa.” Konon,
kesabaran dan hati-hati diperlukan bagi orang dalam bekerja mencari rezeki. Ia
mesti tahu diri dalam raihan rezeki, bukan gegabah atau tergesa berdasarkan
nafsu atau godaan mata duitan. Orang sedang berhadapan bubur, bukan lagi nasi.
Kesadaran dan kesabaran itu bekal mendapatkan rezeki meski sedikit dan telah
berubah rupa.
Di Indonesia, orang bekerja mencari “sesuap nasi”, “sepiring
nasi”, atau sebakul nasi. Rezeki terlalu mudah berarti uang menjadi nasi. Kita
membuka lagi khazanah peribahasa lama. Tanda seru disampaikan para leluhur
melalui peribahasa: “Menantikan nasi di mulut.” Kalimat pendek menjadi
peringatan bertanda seru: “Pemalas menanti pemberian Tuhan.” Bekerja tak cuma
mencari rezeki atau mendapatkan “nasi”. Bekerja itu kehormatan manusia. Bekerja
menjadikan diri bermakna dan pemerolehan harga diri. Pemalas itu aib
kemanusiaan. Malas merendahkan derajat manusia,
Peribahasa masih berdiksi nasi membuat kita merenung: “Nasi
tak dingin pinggan tak retak.” Pengertian dianut orang-orang masa silam:
“Cermat bekerja, walau banyak pekerjaan, tetapi jarang salah.” Nasi
mengingatkan sikap dan siasat dalam bekerja. Kita tetap mendapat khasiat
peribahasa lama saat hidup dalam zaman “teknologis” menuntut cermat agar
pekerjaan tak amburadul. Peribahasa mudah terpahamkan generasi lama tapi agak
sulit terkutip oleh kaum muda masa sekarang. Peribahasa mudah tergantikan oleh
kutipan-kutipan dari buku-buku bertema “manajemen”, “motivasi”, atau “kiat”.
Kita beralih ke buku mendokumentasi pelbagai pengajaran
hidup. Buku itu berjudul Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (1979) susunan
JS Badudu. Kita sengaja memilih ungkapan memuat diksi “makan”. Ungkapan cocok
dalam lakon terbaru di Indonesia: “Pegawai yang terbukti suka makan suap segera
dipecat.” Kita terbiasa dengan istilah korupsi. Orang-orang kadang bilang
“makan uang rakyat”. Pemunculan ungkapan “makan suap” memberi ingatan tentang
makan bukan nasi tapi merugikan jutaan orang dan menjadikan Indonesia bobrok.
Di birokrasi dan perusahaan milik negara, ada
pegawai-pegawai “makan suap”. Di kalangan jelata, kita mengingat nasib melalui
ungkapan: “Kalau bukan karena peperangan tidaklah aku sampai makan tanah
seperti ini.” Peristiwa “peperangan” bisa diganti “pesta korupsi”. Kita
mengartikan orang-orang menderita dan kelaparan dampak “pesta korupsi” digelar
di Indonesia, dari hari ke hari.
Pesta kaum koruptor “makan uang” triliunan rupiah. Konon,
uang itu bisa untuk memberi makan puluhan juta orang agar bermartabat
menjadikan Indonesia mulia. Puluhan dan ratusan juta orang memiliki hak untuk
makan di negara berimpian makmur tapi triliunan rupiah justru termiliki sedikit
orang.
Pada abad XXI, kita sekadar mengingat pepatah dan
peribahasa, tak bermaksud mengalami (ulang) zaman silam. Kini, hidup terlalu
ramai oleh “kutipan bijak” atau “nasihat” saat Indonesia menggelar
pentas-pentas menimbulkan derita, kecewa, bingung, marah, dan prihatin. Pepatah
dan peribahasa berdiksi “makan” dan “nasi” tak lagi laris terkutip tapi kita
mengerti ada ajaran-ajaran pernah membimbing Nusantara masa lalu. Begitu.
