Makan: Pepatah dan Peribahasa

By PorosBumi 17 Mar 2025, 10:01:03 WIB Tilikan
Makan: Pepatah dan Peribahasa

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

PELAJARAN mengenai hidup terkandung dalam peribahasa dan pepatah. Para leluhur menata kata bergelimang makna. Kita mewarisi dengan tafsir-tafsir tetap atau berubah. Ingatan atas peribahasa dan pepatah mungkin berkurang saat zaman mutakhir memamerkan jutaan “kutipan” terbaru dengan citarasa berbeda. Dulu, peribahasa dan pepatah itu “mengalir” melalui tuturan dam awet dalam ingatan.

Kita masih mungkin menengok silam dalam buku-buku lama mengandung peribahasa dan pepatah. Kita memilih berkaitan “makan” meski sekadar umpama. Di buku berjudul 500 Pepatah (1952) susunan Aman, kita membaca pepatah: “Ketika ada djangan dimakan, telah habis maka dimakan.” Kata kunci di situ “makan”. Pepatah lama tetap berkhasiat pada masa sekarang. Pengertian diberikan oleh Aman: “Waktu ada pentjaharian, djangan diganggu harta simpanan. Apabila tak ada pentjaharian lagi, barulah dipergunakan harta simpanan itu.”

Kita membaca ulang: pepatah sesuai dengan siasat hidup saat pemerintah membuat kebijakan-kebijakan bertajuk “penghematan”. Situasi mendebarkan saat orang-orang ingin terus mencari rezeki demi kebutuhan keluarga. Situasi bisnis sedang rumit. Ribuan orang terpaksa tak lagi bekerja di pelbagai pabrik atau perusahaan. Mereka harus tetap hidup. Simpanan masih bisa untuk mengadakan makanan di keluarga. Hari-hari tak boleh sekadar menghabiskan simpanan. Bekerja dan nafkah menjadi tema terpenting meski sadar hidup terjerat pesimis dan putus asa.

Kita lanjutkan membaca pepatah lama: “Tidak bernasi di balik kerak.” Kita tak sedang berimajinasi makan nasi terlezat. Pepatah itu mengandung arti: “Tak ada orang jang lebih dari pada dia sendiri. Tabiat orang jang sombong, jang menjebut dirinja segala lebih.” Pepatah mengandung diksi “nasi” mengingatkan orang agar tidak sombong dan merasa “paling” ketimbang orang lain. Kini, sombong itu tampang saat orang-orang berkuasa dan bergelimang harta mudah menikmati makanan-makanan terlezeat di hadapan jutaan orang sedang prihatin.

“Makan” dan “nasi” dalam dua pepatah itu mendekatkan kita dengan kebutuhan pokok keseharian. Kecermatan mengartikan pepatah menghubungkan kita dengan “pangan” dan tata cara hidup bersama. Sikap “menghemat” agar terus hidup itu penting agar saat terpuruk tak terlalu merepotkan orang lain. Keinsafan hidup bareng orang-orang memiliki kelebihan dan kekurangan menggagalkan sombong. Kita mengingat lagi pepatah bukan untuk segera makan nasi bersama lauk meraih kenikmatan. Pepatah itu ajaran hidup.

Para lelulur di Nusantara pun mewariskan ribuan peribahasa. Sejak masa penjajahan, para sarjana Belanda, pendidik, dan pengarang mengadakan dokumentasi “tertulis” untuk terbit menjadi buku. Peribahasa menjadi pelajaran di sekolah dan bermunculan dalam peristiwa-peristiwa sosial. Ribuan peribahasa lestari meski perlahan jarang lagi menjadi kutipan keseharian.

Kita membuka Kamus Peribahasa (1991) susunan Sarwono Pusposaputro. Kita bertemu lagi peribahasa: “Makan upas berulam racun.” Pengertian terkandung: “Hidup dalam kesusahan”. Kita mengandaikan orang sulit mengelak dari derita. Ia tampak makan tapi bukan menghilangkan lapar. Makan justru memberi pengulangan dan bobot kesengsaraan. Nasib orang seperti itu mudah ditemukan masa sekarang.

Peribahasa mengandung peringatan: “Makan bubur panas-panas.” Tindakan gagal mendapatkan kenikmatan. Peringatan diberikan: “Terlalu mengharapkan rezeki lalu bertindak tergesa-gesa, akhirnya kecewa.” Konon, kesabaran dan hati-hati diperlukan bagi orang dalam bekerja mencari rezeki. Ia mesti tahu diri dalam raihan rezeki, bukan gegabah atau tergesa berdasarkan nafsu atau godaan mata duitan. Orang sedang berhadapan bubur, bukan lagi nasi. Kesadaran dan kesabaran itu bekal mendapatkan rezeki meski sedikit dan telah berubah rupa.

Di Indonesia, orang bekerja mencari “sesuap nasi”, “sepiring nasi”, atau sebakul nasi. Rezeki terlalu mudah berarti uang menjadi nasi. Kita membuka lagi khazanah peribahasa lama. Tanda seru disampaikan para leluhur melalui peribahasa: “Menantikan nasi di mulut.” Kalimat pendek menjadi peringatan bertanda seru: “Pemalas menanti pemberian Tuhan.” Bekerja tak cuma mencari rezeki atau mendapatkan “nasi”. Bekerja itu kehormatan manusia. Bekerja menjadikan diri bermakna dan pemerolehan harga diri. Pemalas itu aib kemanusiaan. Malas merendahkan derajat manusia,

Peribahasa masih berdiksi nasi membuat kita merenung: “Nasi tak dingin pinggan tak retak.” Pengertian dianut orang-orang masa silam: “Cermat bekerja, walau banyak pekerjaan, tetapi jarang salah.” Nasi mengingatkan sikap dan siasat dalam bekerja. Kita tetap mendapat khasiat peribahasa lama saat hidup dalam zaman “teknologis” menuntut cermat agar pekerjaan tak amburadul. Peribahasa mudah terpahamkan generasi lama tapi agak sulit terkutip oleh kaum muda masa sekarang. Peribahasa mudah tergantikan oleh kutipan-kutipan dari buku-buku bertema “manajemen”, “motivasi”, atau “kiat”.

Kita beralih ke buku mendokumentasi pelbagai pengajaran hidup. Buku itu berjudul Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (1979) susunan JS Badudu. Kita sengaja memilih ungkapan memuat diksi “makan”. Ungkapan cocok dalam lakon terbaru di Indonesia: “Pegawai yang terbukti suka makan suap segera dipecat.” Kita terbiasa dengan istilah korupsi. Orang-orang kadang bilang “makan uang rakyat”. Pemunculan ungkapan “makan suap” memberi ingatan tentang makan bukan nasi tapi merugikan jutaan orang dan menjadikan Indonesia bobrok.

Di birokrasi dan perusahaan milik negara, ada pegawai-pegawai “makan suap”. Di kalangan jelata, kita mengingat nasib melalui ungkapan: “Kalau bukan karena peperangan tidaklah aku sampai makan tanah seperti ini.” Peristiwa “peperangan” bisa diganti “pesta korupsi”. Kita mengartikan orang-orang menderita dan kelaparan dampak “pesta korupsi” digelar di Indonesia, dari hari ke hari.

Pesta kaum koruptor “makan uang” triliunan rupiah. Konon, uang itu bisa untuk memberi makan puluhan juta orang agar bermartabat menjadikan Indonesia mulia. Puluhan dan ratusan juta orang memiliki hak untuk makan di negara berimpian makmur tapi triliunan rupiah justru termiliki sedikit orang. 

Pada abad XXI, kita sekadar mengingat pepatah dan peribahasa, tak bermaksud mengalami (ulang) zaman silam. Kini, hidup terlalu ramai oleh “kutipan bijak” atau “nasihat” saat Indonesia menggelar pentas-pentas menimbulkan derita, kecewa, bingung, marah, dan prihatin. Pepatah dan peribahasa berdiksi “makan” dan “nasi” tak lagi laris terkutip tapi kita mengerti ada ajaran-ajaran pernah membimbing Nusantara masa lalu. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment