- Menkeu, Teori dan Kebijakan Tarif
- Uji Kelayakan Lokasi PLTN, BRIN dan BMKG Lakukan Kajian Potensi Tsunami di Pantai Gosong
- Perjalanan Jatuh Bangun Ali Sarbani, Anak Petani Sukses Berbisnis Properti
- KAI Daop 8 Pelajari Media Percontohan Pembelajaran Pencegahan Krisis Planet
- Pemerintah Perkuat Infrastruktur Pengelolaan Sampah Lewat Teknologi
- Kakek 103 Tahun Sukses Jualan di Tiktok Shop
- Asal-Usul Bubur Ayam Jakarta 46
- Foto Itu...
- Gubernur Pramono Anung Apresiasi Kiprah Muhammadiyah DKI Jakarta
- Huawei Mate XT, Smartphone Lipat Tiga Pertama Hadir di Indonesia
Masa Lalu: (Industri) Film dan Ketokohan

Bandung Mawardi
Tukang Kliping, Bapak Rumah Tangga
KITA diajak terbiasa mengartikan 30 Maret itu Hari Film Nasional. Peringatan berdasarkan hari awal pengambilan gambar untuk film berjudul “Darah dan Doa”. Film itu disutradarai Usmar Ismail. Dulu, Usmar Ismail itu menulis, berperan sebagai sutradara, menggarap resensi, dan mengurusi perusahaan film. Sosok penting dan berpengaruh dalam (industri) perfilman di Indonesia.
Pada masa berbeda, orang-orang jarang mengingat Usmar Ismail dan menonton film-film lawas dari zaman revolusi. Indonesia terlalu cepat berubah dalam selera tontonan. Pada masa 1990-an, orang-orang Indonesia keranjingan menonton film dan sinetron.
Cerita-cerita disajikan sering mengenai kesuksesan menghendaki kemunculan tokoh dinamakan direktur. Para penonton mudah mengetahui posisi direktur di kantor. Kursi dipastikan apik dan mewah. Di atas meja, ada koleksi bolpoin mahal untuk tanda tangan. Penampilan tokoh berperan sebagai direktur: rapi, gagah, dan berwibawa.
Konon, kehadiran tokoh direktur dalam film dan sinetron merekam lakon zaman. Orang-orang Indonesia sedang dalam kemajuan bisnis atau ekonomi. Pendirian pabrik atau perubahan di pelbagai tempat mengabarkan Indonesia di “zaman industri”. Kedudukan dan sebutan diimpikan jutaan orang: direktur.
Kepantasan direktur: mengenakan jas, naik mobil mewah, makan di restoran, jam tangan mahal, dan lain-lain. Kemunculan tokoh direktur dalam film dan sinetron kadang menguak skandal asmara, bobrok korupsi, persaingan bisnis, penindasan buruh, dan pemujaan kapitalisme.
Kita belum beruntung gara-gara tak ada janji pembuatan film bersumber novel Hamka berjudul Tuan Direktur (1939). Pengarang tenar dan pendakwah itu menghadirkan sosok dan etos kerja dalam novel jarang menjadi pembahasan para kritikus sastra. Hamka mengingatkan tentang kedudukan atasan dan bawahan.
Dulu, orang-orang kadang membahasakan majikan dan buruh. Penghadiran tokoh dalam kedudukan direktur menjelaskan Indonesia masa 1930-an memuat bab-bab modal, penimbunan laba, dan nasib buruh. Novel pendek itu sekadar warisan untuk terbaca, belum ada pihak-pihak mau menggarap menjadi film.
Pada 2025, debat mengenai film bukan berkaitan cerita atau novel. Debat seru di pelbagai media gara-gara artis menjadi Direktur Utama PT PFN (Produksi Film Negara). Debat melibatkan orang-orang film dan publik dengan segala tuduhan, argumentasi, dan prihatin.
Kita menganggap Indonesia makin bising oleh perdebatan-perdebatan merujuk pemerintah. Direktur sedang menjadi sasaran kritik dan perhatian itu bekerja di naungan BUMN. Debat masih mengaitkan sosok penguasa dan bagi-bagi jabatan kepada para artis setelah hajatan demokrasi. Keramaian debat “sedikit” membahas nasib perfilman di Indonesia.
Kita leleh dengan debat memilih mengingat sejarah dan perkembangan film di Indonesia. Perfilman di Indonesia ditentukan oleh perusahaan-perusahaan memiliki direktur. Dulu, penggarapan film-film saat masa kolonial ditentukan perusahaan-perusahaan dikelola pihak-pihak asing atau bumiputera.
Di buku berjudul Film Indonesia: 1900-1950 (1993) susunan Taufik Abdullah, Misbach Jusa Biran, dan SM Ardan, kita membaca masa lalu perfilman Indonesia dihasilkan oleh pelbagai perusahaan. Kita mengutip: “… Pada masa 1940-an, muncul empat perusahaan film baru. Jadi, seluruh perusahaan film yang aktif berproduksi sebanyak enam buah: Java Industrial Film, Tan’s Film Coy, Populair’s Film Coy, Oriental Film Coy, Union Films, dan Star Film Coy.”
Di perusahaan-perusahaan itu dipastikan ada jabatan direktur. Jabatan dengan kekuasaan besar untuk menentukan mutu film dan laba bisa diraih. Pada masa kolonial, perusahaan-perusahaan film bermunculan dengan nasib berbeda: moncer atau ambruk.
Masa lalu memuat peran perusahaan-perusahaan dalam menghasilkan film (bermutu) dan menentukan selera penonton. Konklusi berlatar masa kolonial: “Demikianlah dengan film Terang Boelan yang disusul oleh Fatima dan Alang-Alang, produksi film telah menemukan khalayaknya. Masa percobaan telah berakhir – film Indonesia akan terus diproduksi – tetapi proses pendewasaan, dari sudut komersial, teknis dan estetik, tetap merupakan masalah.”
Kita sedang mengingat industri film di Indonesia, tanpa harus memikirkan serius sosok-sosok menjadi direktur dalam perusahaan-perusahaan film. Pada masa revolusi, kita mengingat nama penting dalam industri film di Indonesia: Djamaludin Malik.
Ingat nama Djamaludin Malik, ingat Persari (Perseroan Artis Indonesia). Kita membuka buku berjudul Djamaludin Malik: Melekat di Hati Banyak Orang (2006). Di situ, kita mengetahui peran besar tokoh berkecimpung di NU turut memajukan industri film di Indonesia masa revolusi.
Kesaksian disampaikan Rosihan Anwar: “Djamaludin Malik kembali ke Jakarta. Pada 1950, ia mendirikan perusahaan film yang dinamakan Persari. Pada masa itu perusahaan film didominasi oleh pedagang dan sineas Tionghoa seperti Studio Tan & Wong, Golden Arrow Thung Nam Film Coy, dan lain-lain. Perusahaan film pribumi pada awal berdirinya Republik Indonesia ialah Persari yang dipimpin Djamaludin Malik dan Perfini dipimpin Usmar Ismail.”
Masa lalu itu seru. Film tak sekadar bertumbuh dengan sutradara, bintang film, penulis skenario, dan lain-lain. Para direktur di pelbagai perusahaan film ikut menentukan keberhasilan membuat film, memasarkan, dan mencipta selera. Semua memerlukan modal dan kebijakan-kebijakan sesuai situasi zaman atau mengarah pembentukan masa depan.
Pada masa 1950-an, kebijakan-kebijakan Djamaludin Malik dianggap berani dan terlalu berisiko. Di media bertahun 1952, Djamaludin Malik diberitakan pergi ke Manila untuk mencucikan film-film produksi Persari. Film berjudul Akibat berhasil digarap di Manila, dibawa pulang untuk peningkatan mutu hasil film.
Lima film ikut dicucikan di sana: Rindu, Bunga Bangsa, Bakti Bahagia, Malioboro, dan Rumah Hantu. Kritik pun disampaikan dalam usaha memajukan industri film: “Tujuan dari Persari mengirimkan film-filmnya ke Manila (Filipina) adalah karena sama sekali tidak mendapat kerja sama yang baik dari Perusahaan Film Nasional (PFN) yang semestinya membantu perusahaan film nasional.”
Pada masa lalu, kita juga mengingat Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Perusahaan itu bermisi besar sesuai pengabdian dan impian ingin diwujudkan Usmar Ismail. Sejak masa 1950-an, kerja-kerja besar dilakukan meski selalu mendapat hambatan dan rawan gagal. Ingat Perfini, ingat Usmar Ismail. Pada masa berbeda, muncul tokoh-tokoh berbeda memiliki kemauan memajukan mutu film di Indonesia.
Perfini pun mengingatkan Misbach Jusa Biran. Di buku berjudul Kenang-Kenangan Orang Bandel (2008), ia bercerita masa bekerja dan bergaul di Perfini masa lalu. Pada masa 1950-an, Misbach diterima bekerja di Perfini: “…. Jam tujuh pagi, saya sudah tiba di rumah Ardan di Kwitang (Kramat II), sekitar setengah kilo dari kantor Perfini. Setengah delapan, kami berdua sudah berada di Jalan Menteng Raya No 24A. Tentu masih tutup. Sekitar jam sepuluh barulah kami diangkut ke studio di daerah Warung Buncit – kini bernama Jalan Kapten Tendean. Sampai tahun 2006, studio tersebut masih bisa dilihat sebagai bangunan tak terpakai yang dipasangi merek Studio PFN. Pada tahun 1954, dari mulai Pancoran sampau Jalan Warung Buncit lebih banyak kelihatan kebun dan semak. Rumah-rumah berada nun jauh di dalam. Hanya sesekali terlihat sapi-sapi merumput di pinggir jalan.” Masa lalu industri film tak selalu optimis, terang, dan lancar.
Kita mengingat masa lalu memuat masalah perusahaan film dan tokoh-tokoh penting dalam kemajuan film di Indonesia. Masa lalu tak harus dimunculkan lagi saat debat-debat direktur dan PFN belum selesai. Kini, kita mengerti film itu mengandung bab-bab industri, ketokohan, mutu, dan politik. Begitu.
