- Revisi UU 41 Tahun 1999 Angin Segar Bagi Tata Kelola Kehutanan Indonesia
- Kepala BP Taskin: Desa Membantu Pengentasan Kemiskinan Lebih Kontekstual Berbasis Budaya
- Mudik Gratis PLN Bersama BUMN Dibuka, Begini Cara Daftarnya di Aplikasi PLN Mobile!
- FAST Tel-U Dukung Astacita Pendidikan Tinggi
- PB POSSI Kirim 4 Wasit ke Thailand, Tingkatkan Kualitas Freediving Indonesia
- AHY: Pengembangan Rempang Eco-City Harus Inklusif dan Berorientasi Pada Kesejahteraan Masyarakat
- NFA Dorong Keanekaragaman Konsumsi Pangan Lokal untuk Ketahanan Gizi Nasional
- Presiden Prabowo Resmikan 17 Stadion Berstandar FIFA di Berbagai Daerah Indonesia
- AHY: Infrastruktur Berkelanjutan, Kunci Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan
- Fishipol Universitas Negeri Yogyakarta Luncurkan Buku Eulogi untuk Prof Supardi
Ilmuwan Jelajahi Laut Merah yang Dibelah Nabi Musa, Kondisi di Dasar Laut Bikin Terkejut

Keterangan Gambar : Sebuah tim peneliti dipimpin Sam Purkis, seorang profesor dan Ketua Departemen Geosains Kelautan di Universitas Miami, menjelajahi area palung laut dalam yang terletak di antara Afrika dan Jazirah Arab. Foto/Foxnews
MIAMI – Sebuah tim peneliti dipimpin Sam Purkis, seorang profesor dan Ketua Departemen Geosains Kelautan di Universitas Miami, menjelajahi area palung laut dalam yang terletak di antara Afrika dan Jazirah Arab.
Penjelajahan dilakukan dengan menggunakan kapal selam yang dioperasikan dari jarak jauh dan wahana laut. Lokasi penelitian diperkirakan merupakan area yang disebutkan dalam Alkitab sebagai lokasi Nabi Musa membelah Laut Merah.
Dari penjelajahan ini para ilmuwan mengatakan lingkungan di sana sangat ekstrem sehingga bertentangan dengan kehidupan di Bumi. Mereka menemukan perangkap kematian alami berupa kolam air garam di wilayah yang sekarang diyakini sebagai lokasi Nabi Musa membelah laut.
Baca Lainnya :
- Penemuan Arkeologi Terbesar, Ilmuwan Temukan Makam Raja Mesir Kuno Thutmose II0
- Superkomputer Prediksi Kapan Bumi Kehabisan Oksigen, Panas Ekstrem akan Musnahkan Manusia0
- Mahasiswa Universitas Indonesia Raih Penghargaan Prototype Hydrogen Fuel Cell di Qatar0
- NASA Akan Menampilkan Teleskop Pemetaan Langit Sebelum Peluncuran0
- BRIN dan IRD Prancis Teliti Dampak Perikanan Rumpon Tuna Sirip Kuning0
Dalam penelitian yang diterbitkan di Nature Communications, kolam air garam itu ditemukan 4.000 kaki sekitar 1.219 meter di bawah permukaan Teluk Aqaba. Kondisi airnya diperkirakan 10 kali lebih asin daripada air laut normal.
Baca juga: Gletser Dunia Kehilangan 6,5 Triliun Ton Es dalam 23 Tahun, Ternyata Ini Penyebabnya
Oksigen di sekitar kolam sangat sedikit sehingga dapat membunuh atau membuat pingsan semua makhluk hidup yang memasukinya. Penelitian itu juga mengklaim predator yang lebih besar mengintai di dekat tepi kolam untuk menangkap mangsa yang tak berdaya akibat kekurangan oksigen.
Tim tersebut berspekulasi bahwa lingkungan ini disebabkan oleh kondisi yang keras seperti Bumi purba. Kondisi ini berlaku untuk lokasi di laut dalam tempat kehidupan mungkin pertama kali muncul.
“Pemahaman kami saat ini adalah bahwa kehidupan berasal di Bumi di laut dalam, hampir pasti dalam kondisi anoksik—tanpa oksigen," kata Purkis dikutip dari laman Foxnews, Jumat (21/2/2025).
Penelitian tersebut bahkan menunjukkan bahwa "kolam kematian" ini mungkin dapat memberikan petunjuk yang membantu pencarian organisme luar angkasa. Ekosistem unik ini adalah salah satu lingkungan paling ekstrem di planet ini.
Baca juga: Superkomputer Prediksi Kapan Bumi Kehabisan Oksigen, Panas Ekstrem akan Musnahkan Manusia
Karena sangat sedikit organisme yang bertahan hidup di kolam air garam, lapisan sedimen tetap tidak terganggu dan telah melestarikan perubahan iklim dan peristiwa geologis masa lalu.
“Biasanya, hewan-hewan ini melakukan bioturbasi atau mengaduk dasar laut, mengganggu sedimen yang terkumpul di sana. Tidak demikian halnya dengan kolam air garam. Di sini, setiap lapisan sedimen yang mengendap di dasar kolam air garam tetap utuh dengan sangat indah,” tutur Purkis.
Dia tim peneliti berharap kondisi murni ini memungkinkan untuk mempelajari kondisi laut purba dengan lebih baik. Keadaan ini diharapkan membantu merekonstruksi pola iklim dan melacak evolusi ekosistem Bumi selama jutaan tahun. (Wasis Wibowo)
