- Revisi UU 41 Tahun 1999 Angin Segar Bagi Tata Kelola Kehutanan Indonesia
- Kepala BP Taskin: Desa Membantu Pengentasan Kemiskinan Lebih Kontekstual Berbasis Budaya
- Mudik Gratis PLN Bersama BUMN Dibuka, Begini Cara Daftarnya di Aplikasi PLN Mobile!
- FAST Tel-U Dukung Astacita Pendidikan Tinggi
- PB POSSI Kirim 4 Wasit ke Thailand, Tingkatkan Kualitas Freediving Indonesia
- AHY: Pengembangan Rempang Eco-City Harus Inklusif dan Berorientasi Pada Kesejahteraan Masyarakat
- NFA Dorong Keanekaragaman Konsumsi Pangan Lokal untuk Ketahanan Gizi Nasional
- Presiden Prabowo Resmikan 17 Stadion Berstandar FIFA di Berbagai Daerah Indonesia
- AHY: Infrastruktur Berkelanjutan, Kunci Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan
- Fishipol Universitas Negeri Yogyakarta Luncurkan Buku Eulogi untuk Prof Supardi
Indonesia: Bahasa dan Raga

Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
SEJARAH (rumit) Indonesia mengandung
bahasa. Kita kadang membaca samar atau “melewati” bab bahasa gara-gara tergoda
politik. Sejarah melulu politik. Kemauan menengok bahasa dalam halaman (besar)
sejarah Indonesia bisa memberi terang saat “penggelapan” sejarah terjadi demi
pamrih-pamrih kekuasaan.
Baca Lainnya :
- Guru Besar AI, Prof Suyanto Resmi Dilantik Jadi Rektor Telkom University 2025-20300
- Neutura dan AP Farm Hadirkan Solusi Carbon Farming #REMOVARM di Bandung0
- Arfiana Maulina, Perempuan Dayak yang Membawa Lerak, Sabun Alami Tradisional Indonesia Mendunia0
- Sejarah Tiwul, Makanan Pengganti Nasi Rakyat Jawa Zaman Dulu0
- Penyuluh Agama Islam Karanganyar Luncurkan Buku Kultum Spotlight Ramadan: Meniti Jalan Surga0
Peran bahasa dalam sejarah Indonesia itu dibahas Hilmar
Farid dalam buku berjudul Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan
(2024). Ia memastikan bahasa Indonesia wajib mendapat perhatian bila ingin
mengetahui gejolak pembentukan Indonesia, dari masa ke masa. Bahasa Indonesia
ditilik dalam kecamuk kapitalisme, geliat kaum pergerakan, arus pers, dan
kecamuk identitas.
Hilmar Farid menjelaskan: “Proses pembentukan ideologi
sebagai hasil perbenturan gagasan-gagasan politik dan pergolakan sosial adalah
proses sangat rumit. Bahasa adalah salah satu elemen penting untuk membongkar
dan menjernihkan kerumitan.”
Di pembahasan sejarah dan bahasa, Hilmar Farid mengajak
pembaca mendekati dengan pilihan kata merujuk raga. Ia mengingatkan tentang
“tulang punggung” perlawanan politik dan “tangan-tangan” kekuasaan sejak awal
abad XX. Bahasa bertumbuh dan digunakan dalam melawan dengan kesanggupan
menautkan raga dan kekuasaan.
Kita mulai disadarkan lagi tentang lakon kekuasaan Indonesia
mutakhir masih menautkan bahasa dan imajinasi raga. Pada babak awal kekuasaan
Prabowo-Gibran, publik berdebat merujuk “kepala” atau “ndas”. Keributan itu
memunculkan argumentasi linguistik dan politik. sekian pihak beranggapan
pilihan kata dalam berpolitik wajib berpatokan etika-kultural. Di kubu memahami
politik berisik, kata dan raga justru memicu seribu tanda seru untuk capaian
misi-misi besar.
Pada masa Orde Baru membahasakan raga dalam kekuasaan lumrah
terjadi berkepentingan mencipta kepatuhan dan ketertiban. Penggunaan kata
“gebug” pernah dilontarkan penguasa mudah diartikan tangan memegang benda
(keras) bakal menghukum raga. Publik pun memiliki ingatan tentang “tangan”,
“mata”, atau “telinga” menjadi siasat mengatasi pelbagai kritik atau protes.
Berlatar masa Orde Baru, Soeharto mahir dalam mencipta permainan imajinasi raga
dengan bahasa Jawa dan Indonesia.
Konon, masa depan Indonesia berada di “pundak” atau “bahu”
kaum muda. Siasat membesarkan gairah memuliakan Indonesia memang memerlukan
pilihan kata-kata merujuk raga. Dulu, Soekarno pun membarakan revolusi dengan
bahasa dan raga. Di ingatan sejarah, ia berseru tentang “kaki” untuk
kehormatan, kepribadian, dan kemenangan.
Sekian kata muncul dalam pidato atau tulisan menghendaki
jutaan orang Indonesia menunaikan kerja demi masa depan. Pada masa Soeharto
berkuasa, bahasa dan raga makin berpengaruh saat dimunculkan dalam percakapan
politik, pengajaran di sekolah, dan bertebaran di halaman-halaman pers (cetak).
Konon, rezim Orde Baru berusia lama gara-gara anggukan dan
tepuk tangan. Anggapan itu berkaitan dengan kemampuan elite dalam berbahasa
(Indonesia). Sudjoko (1989) mengingatkan pengetahuan bahasa elite dan dampak
untuk publik.
Para elite menggerakkan Orde Baru sering gagal dan sembrono
dalam menghidupkan dan memuliakan bahasa Indonesia. Mereka berlagak mengerti
dan menggunakan istilah-istilah asing tapi merendahkan sejarah dan martabat
bahasa Indonesia. Situasi pelik dan kenestapaan bahasa Indonesia berakibat
elite berperan sebagai “mulut” ketimbang “telinga” untuk mendengar suara-suara
Indonesia.
Di tilikan sejarah, kekuasaan dan bahasa (Indonesia)
mengandung ketakjuban mengubah tatanan hidup. Indonesia makin ramai dengan
kata-kata mengenai raga dalam nostalgia dan pembentukan masa depan. Kita masih
mengingat tentang ajakan dan ejekan.
Dulu, seruan mengepalkan tangan itu bermutu agar orang-orang
tak cuma bertopang dagu. Ajakan melihat dunia itu mulia. Ejekan mengenai
orang-orang ingin berlimpah dengan modal dengkul mengingatkan takdir kemalasan.
Indonesia memiliki bahasa agar orang-orang itu bergerak, bekerja, dan
membangun. Di situ, ada kekuatan kata dan raga. Kita tentu tak lupa
bersenandung: “bangunlah jiwa, bangunlah badan”.
Ariel Heryanto (1991) mengajukan gugatan atas
“pembangunan”. Soeharto berhasil
menjadikan Indonesia terlena pembangunan nasional. Istilah itu bermasalah meski
rezim Orde Baru menganggap janji terbesar untuk Indonesia.
Ariel Heryanto menjelaskan: “Kata ‘pembangunan; dibentuk
dari kata dasar ‘bangun’. Sudah berabad-abad, masyarakat Melayu maupun Jawa
mengenal kata dasar ini dan mengolahnya menjadi berbagai kata jadian, khusunya
menjadi apa yang dalam bahasa kita kini disebut ‘kata kerja’: membangun
(Melayu) atau mbangun (Jawa).
Tapi, mereka tidak berbicara pembangunan!” Masa lalu Orde
Baru sangat dipengaruhi penggunaan bahasa Indonesia oleh elite meski Soeharto
sering mengajukan kata-kata dalam bahasa Jawa demi kesuksesan pembangunan
nasional.
Kita tinggalkan masa lalu untuk mengerti bahasa (Indonesia)
dan raga. Di luar politik berisik atau arus kekuasaan, kita diundang memasuki
puisi-puisi gubahan Joko Pinurbo terbukti menautkan raga dan kata-kata dalam
bahasa Indonesia. Ia dalam renungan dan humor: mengingatkan pembaca mengenai
raga manusia (Indonesia) dan keampuhan bahasa Indonesia.
Di puisi berjudul “Kepada Mata”, kita membaca renungan: Kaulah
matahari malam/ yang betah berjaga menemani saya/ menemani kata, sehingga saya/
dan kata tetap bisa menulis/ di remang redup cahaya. Puisi memberi takjub
meski kita tergoda memikirkan orang-orang “menutup mata” atas nasib Indonesia
atau keberanian “membuka mata” agar Indonesia diralat meraih bahagia. Urusan
mata dalam puisi terlalu berbeda dengan mata dan pasang-surut kekuasaan di Indonesia.
Kini, bahasa dan raga terus membentuk Indonesia melalui
debat-debat tak ada ujung. Kita mengerti pilihan kata dan raga di kalangan
elite berbeda dengan orang-orang gandrung sastra. Capek memikirkan “raga”
dibahasakan oleh elite politik bisa ditebus dengan menikmati puisi-puisi. Usaha
menikmati puisi justru membuat pembaca insaf sejarah dan pertumbuhan bahasa
Indonesia.
Joko Pinurbo dalam puisi berjudul “Kamus Kecil”
mengingatkan: Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia/ yang pintar dan lucu
walau kadang rumit/ dan membingungkan… Bahasa Indonesiaku yang gundah
membawaku/ ke sebuah paragraf yang menguarkan/ bau tubuhmu. Malam merangkai
kita/ menjadi kalimat majemuk bertingkat/ yang hangat di mana kau induk kalimat
dan aku/ anak kalimat. Di puisi, kita merenungkan kata dan raga. Di
politik, kita ribut kata dan raga mungkin selama seribu hari. Begitu.
