Indonesia: Bahasa dan Raga

By PorosBumi 05 Mar 2025, 06:34:12 WIB Tilikan
Indonesia: Bahasa dan Raga

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

SEJARAH (rumit) Indonesia mengandung bahasa. Kita kadang membaca samar atau “melewati” bab bahasa gara-gara tergoda politik. Sejarah melulu politik. Kemauan menengok bahasa dalam halaman (besar) sejarah Indonesia bisa memberi terang saat “penggelapan” sejarah terjadi demi pamrih-pamrih kekuasaan.

Baca Lainnya :

Peran bahasa dalam sejarah Indonesia itu dibahas Hilmar Farid dalam buku berjudul Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan (2024). Ia memastikan bahasa Indonesia wajib mendapat perhatian bila ingin mengetahui gejolak pembentukan Indonesia, dari masa ke masa. Bahasa Indonesia ditilik dalam kecamuk kapitalisme, geliat kaum pergerakan, arus pers, dan kecamuk identitas.

Hilmar Farid menjelaskan: “Proses pembentukan ideologi sebagai hasil perbenturan gagasan-gagasan politik dan pergolakan sosial adalah proses sangat rumit. Bahasa adalah salah satu elemen penting untuk membongkar dan menjernihkan kerumitan.”

Di pembahasan sejarah dan bahasa, Hilmar Farid mengajak pembaca mendekati dengan pilihan kata merujuk raga. Ia mengingatkan tentang “tulang punggung” perlawanan politik dan “tangan-tangan” kekuasaan sejak awal abad XX. Bahasa bertumbuh dan digunakan dalam melawan dengan kesanggupan menautkan raga dan kekuasaan.

Kita mulai disadarkan lagi tentang lakon kekuasaan Indonesia mutakhir masih menautkan bahasa dan imajinasi raga. Pada babak awal kekuasaan Prabowo-Gibran, publik berdebat merujuk “kepala” atau “ndas”. Keributan itu memunculkan argumentasi linguistik dan politik. sekian pihak beranggapan pilihan kata dalam berpolitik wajib berpatokan etika-kultural. Di kubu memahami politik berisik, kata dan raga justru memicu seribu tanda seru untuk capaian misi-misi besar.

Pada masa Orde Baru membahasakan raga dalam kekuasaan lumrah terjadi berkepentingan mencipta kepatuhan dan ketertiban. Penggunaan kata “gebug” pernah dilontarkan penguasa mudah diartikan tangan memegang benda (keras) bakal menghukum raga. Publik pun memiliki ingatan tentang “tangan”, “mata”, atau “telinga” menjadi siasat mengatasi pelbagai kritik atau protes. Berlatar masa Orde Baru, Soeharto mahir dalam mencipta permainan imajinasi raga dengan bahasa Jawa dan Indonesia.

Konon, masa depan Indonesia berada di “pundak” atau “bahu” kaum muda. Siasat membesarkan gairah memuliakan Indonesia memang memerlukan pilihan kata-kata merujuk raga. Dulu, Soekarno pun membarakan revolusi dengan bahasa dan raga. Di ingatan sejarah, ia berseru tentang “kaki” untuk kehormatan, kepribadian, dan kemenangan.

Sekian kata muncul dalam pidato atau tulisan menghendaki jutaan orang Indonesia menunaikan kerja demi masa depan. Pada masa Soeharto berkuasa, bahasa dan raga makin berpengaruh saat dimunculkan dalam percakapan politik, pengajaran di sekolah, dan bertebaran di halaman-halaman pers (cetak).

Konon, rezim Orde Baru berusia lama gara-gara anggukan dan tepuk tangan. Anggapan itu berkaitan dengan kemampuan elite dalam berbahasa (Indonesia). Sudjoko (1989) mengingatkan pengetahuan bahasa elite dan dampak untuk publik.

Para elite menggerakkan Orde Baru sering gagal dan sembrono dalam menghidupkan dan memuliakan bahasa Indonesia. Mereka berlagak mengerti dan menggunakan istilah-istilah asing tapi merendahkan sejarah dan martabat bahasa Indonesia. Situasi pelik dan kenestapaan bahasa Indonesia berakibat elite berperan sebagai “mulut” ketimbang “telinga” untuk mendengar suara-suara Indonesia.

Di tilikan sejarah, kekuasaan dan bahasa (Indonesia) mengandung ketakjuban mengubah tatanan hidup. Indonesia makin ramai dengan kata-kata mengenai raga dalam nostalgia dan pembentukan masa depan. Kita masih mengingat tentang ajakan dan ejekan.

Dulu, seruan mengepalkan tangan itu bermutu agar orang-orang tak cuma bertopang dagu. Ajakan melihat dunia itu mulia. Ejekan mengenai orang-orang ingin berlimpah dengan modal dengkul mengingatkan takdir kemalasan. Indonesia memiliki bahasa agar orang-orang itu bergerak, bekerja, dan membangun. Di situ, ada kekuatan kata dan raga. Kita tentu tak lupa bersenandung: “bangunlah jiwa, bangunlah badan”.

Ariel Heryanto (1991) mengajukan gugatan atas “pembangunan”.  Soeharto berhasil menjadikan Indonesia terlena pembangunan nasional. Istilah itu bermasalah meski rezim Orde Baru menganggap janji terbesar untuk Indonesia.

Ariel Heryanto menjelaskan: “Kata ‘pembangunan; dibentuk dari kata dasar ‘bangun’. Sudah berabad-abad, masyarakat Melayu maupun Jawa mengenal kata dasar ini dan mengolahnya menjadi berbagai kata jadian, khusunya menjadi apa yang dalam bahasa kita kini disebut ‘kata kerja’: membangun (Melayu) atau mbangun (Jawa).

Tapi, mereka tidak berbicara pembangunan!” Masa lalu Orde Baru sangat dipengaruhi penggunaan bahasa Indonesia oleh elite meski Soeharto sering mengajukan kata-kata dalam bahasa Jawa demi kesuksesan pembangunan nasional.

Kita tinggalkan masa lalu untuk mengerti bahasa (Indonesia) dan raga. Di luar politik berisik atau arus kekuasaan, kita diundang memasuki puisi-puisi gubahan Joko Pinurbo terbukti menautkan raga dan kata-kata dalam bahasa Indonesia. Ia dalam renungan dan humor: mengingatkan pembaca mengenai raga manusia (Indonesia) dan keampuhan bahasa Indonesia.

Di puisi berjudul “Kepada Mata”, kita membaca renungan: Kaulah matahari malam/ yang betah berjaga menemani saya/ menemani kata, sehingga saya/ dan kata tetap bisa menulis/ di remang redup cahaya. Puisi memberi takjub meski kita tergoda memikirkan orang-orang “menutup mata” atas nasib Indonesia atau keberanian “membuka mata” agar Indonesia diralat meraih bahagia. Urusan mata dalam puisi terlalu berbeda dengan mata dan pasang-surut kekuasaan di Indonesia.

Kini, bahasa dan raga terus membentuk Indonesia melalui debat-debat tak ada ujung. Kita mengerti pilihan kata dan raga di kalangan elite berbeda dengan orang-orang gandrung sastra. Capek memikirkan “raga” dibahasakan oleh elite politik bisa ditebus dengan menikmati puisi-puisi. Usaha menikmati puisi justru membuat pembaca insaf sejarah dan pertumbuhan bahasa Indonesia.

Joko Pinurbo dalam puisi berjudul “Kamus Kecil” mengingatkan: Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia/ yang pintar dan lucu walau kadang rumit/ dan membingungkan… Bahasa Indonesiaku yang gundah membawaku/ ke sebuah paragraf yang menguarkan/ bau tubuhmu. Malam merangkai kita/ menjadi kalimat majemuk bertingkat/ yang hangat di mana kau induk kalimat dan aku/ anak kalimat. Di puisi, kita merenungkan kata dan raga. Di politik, kita ribut kata dan raga mungkin selama seribu hari. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment