- Petani Sawit di Lebak Wujudkan Ketahanan Pangan dengan Padi Gogo
- PNBP Pasca Produksi Tingkatkan Penerimaan Negara dan Akurasi data Perikanan Tangkap
- KKP Ragamkan Potensi Mangrove di Pangandaran Jadi Lokasi Eduwisata
- Sambut Libur Nataru, Menteri PU Tinjau Jalan Tol Fungsional Gending-Krasaan
- Dosen Ilkom UNY Beri Pelatihan Pelayanan Prima Bagi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Depok
- Kota dan Perkara Makan
- Libur Nataru 2025: Pertamina NRE Jamin Pasokan Energi Ramah Lingkungan
- Tonggak Baru Menuju Kemandirian Pangan 2025
- Epic Sale 2024: Sinergi Pemerintah dan Ritel Jaga Stabilitas Harga Pangan
- Perpustakaan: Berita dan Nostalgia
Perpustakaan: Berita dan Nostalgia
Bandung Mawardi
Bapak rumah tangga dan tukang kliping
Baca Lainnya :
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak0
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'0
- Jadah Tempe, Makanan Tradisional Khas Kaliurang Kegemaran Sultan0
- DIY Boyong Emas Anugerah Kebudayaan Indonesia 20240
- CBT Mudahkan Penilaian Akhir Sekolah di Jawa Barat0
PERPUSTAKAAN itu uang. Kita sejenak mendapat “lelucon”. Isi
perpustakaan tak melulu buku. Pada suatu masa, perpustakaan menjadi tempat
menghasilkan uang (palsu). Kita dibingungkan berita dari perpustakaan di UIN
Alauddin Makassar. Di situ, ada ruang digunakan membuat uang palsu. Pembuatan
dengan mesin cetak. Kita mengandaikan mesin cetak itu menghasilkan buku-buku
agar makin membuat perpustakaan sesak bacaan. Mesin cetak dimengerti sebagai
mesin uang (palsu).
Berita di Kompas, 20 Desember 2024, berjudul
“Pustakawan UIN Alauddin Menjadi Tersangka” memicu kita berpikiran lagi
perpustakaan ketimbang tergiur uang (palsu). Buku-buku masih berada di
perpustakaan meski tak dijanjikan mencipta peristiwa indah: membaca. Buku-buku
berada di tempat tanpa pemegang dan pembuka biasa disebut pembaca.
Nasib buku di perpustakaan sering rawan. Buku-buku
dikeluarkan dari perpustakaan. Konon, buku-buku tak boleh abadi menjadi
penghuni. Ruang dinamakan perpustakaan itu gampang sesak jika buku-buku lama
terus menjadi penghuni, ditambah kedatangan buku-buku baru. Buku-buku telah
menghuni lama gampang “diusir” atau sengajak berpindah tempat. Perpindahan
kadang berdasarkan nalar-dagang atau menghibahkan.
Di pasar buku bekas di pelbagai kota, para pedagang biasa
mengabarkan pemeroleh buku-buku dalam jumlah ratusan atau ribuan eksemplar.
Buku-buku berstempel perpustakaan sekolah atau universitas. Buku-buku dalam
kondisi masih bagus tak diperbolehkan tinggal lama di perpustakaan.
Buku-buku sampai ke pedagang dengan cara jual-beli dengan
pihak perpustakaan atau orang-orang mengerti nasib buku tak dikehendaki bisa
diuangkan. Kodrat buku-buku tak lestari bila mengikuti “kaidah” atau
“konstitusi” dalam mengurus perpustakaan di seantero Indonesia. Kita
mengandaikan sekian perpustakaan itu dikelola oleh pemerintah atau mendapat
anggeran dari pemerintah.
Buku-buku berstempel beragam perpustakaan berada di pasar
buku bekas. Para pedagang ingin mendapatkan untung. Buku-buku lumrah dijual
murah. Kita tak usah berpikiran jumlah uang digunakan pengelola perpustakaan
saat membeli bukubuku baru. Pada saat mengeluarkan buku-buku dari perpustakaan
dapat ditebak harga menjadi turun atau jatuh. Konon, para pedagang bilang bisa
diperdagangkan secara kiloan.
Para pengunjung dan pembeli buku-buku bercap atau berstempel
perpustakaan merasa gembira. Buku-buku berharga murah dibeli untuk menambah
koleksi buku di rumah. Pembeli itu bakal menjadi kolektor ganda. Ia memang mengoleksi buku-buku. Ia pun
kolektor stempel-stempel perpustakaan di halaman-halaman buku mengartikan
“perjumpaan” dan “persekutuan” dari pelbagai alamat.
Kita mengganti pengalaman dan pengamatan “sekejap” atas
nasib buku-buku perpustakaan dengan berita berasal dari Gedung DPR RI, Jakarta,
Rabu, 6 November 2024. Orang-orang terhormat di Komisi X DPR RI menginginkan
Perpustakaan Nasional melakukan alih media. Kita biasa mengenal sebagai
digitalisasi. Seruan disampaikan ke pihak pejabat-pejabat di Perpustakaan
Nasional agar tekun mengadakan alih media bahan pustaka (buku, koran, majalah)
ke dalam bentuk digital.
Pemahaman mutakhir berpihak ke digital ketimbang wujud
cetak. Mereka memiliki alasan agar bahan pustaka itu dapat dilestarikan. Wujud
kertas dituduh mudah rusak, hancur, dan boros. Berita itu mengajak kita
“bermufakat” atas pemikiran-pemikiran jernih dan mulai dari kaum terhormat di
DPR RI.
Kita diminta memberi pujian jika Perpustakaan Nasional terus
mengagungkan digitalisasi. Semua demi kemajuan Indonesia membaca pada masa
depan. Kita mendingan mengangguk ketimbang memejamkan mata atau menggelengkan
kepala. Mereka berusaha membuat kebijakan tanpa ada janji membuktikan sebagai
pembaca buku (cetak) atau berseru pemuliaan buku bersumber rumah dan lakon
keseharian.
Kita menghindari berita dan tuduhan dengan menikmati puisi.
Di Koran Tempo, 3 November 2024, kita disuguhi puisi berjudul “Mata
Pelajaran Mencintai Perpustakaan” gubahan Imam Budiman: Perpustakaan adalah
masa kecil/ yang semakin menyusut di matamu/ sebuah kebun yang melahirkan
bahasa. Kita sejenak digoda mengartikan perpustakaan. Di situ, perpustakaan
menghimpun buku-buku berpengaruh dalam pembentukan biografi pembaca.
Buku dan waktu dalam pertumbuhan manusia-pembaca dan
pasang-surut nasib (pengelolaan) perpustakaan. Di puisi, kita mengira buku-buku
dikisahkan berwujud kertas atau cetak. Imam Budiman melanjutkan: Dan kau
bibliofil yang tidak sepenuhnya rela/ memulangkan kata-kata kembali ke jendela/
selain merajut dan menjadikannya selimut/ yang mengakrabi segala ihwal
cita-cita.
Kita mengandaikan tokoh dalam puisi memegang buku, memangku
buku, dan membaca buku. Tangan itu membuka lembaran-lembaran kertas, belum
mengarah ke adegan pembaca buku edisi digital dalam gawai. Perpustakaan masih
dimengerti dan dikenang berisi buku-buku cetak. Perpustakaan itu ruang
menggirangkan bagi pembaca mencipta biografi dan nostalgia.
Pada masa dan tempat berbeda, kita mengikuti pengalaman
dalam perpustakaan seperti disampaikan Nicholas Carr dalam buku berjudul The
Shallows (2011). Ia mula-mula menggandrungi buku-buku cetak, sebelum
teknologi-baca mutakhir bermunculan memberi jebakan dan pesona di Amerika
Serikat.
Nicholas Carr mengenang: “Namun, sebagian besar waktu saya
di perpustakaan adalah untuk menelusuri koridor tumpukan buku yang sempit dan
panjang. Meskipun dikelilingi puluhan ribu buku, saya tidak ingat pernah
merasakan kegundahan yang merupakan gejala dari yang sekarang ini kita sebut
‘informasi berlebih’. Ada sesuatu yang menyenangkan dalam keheningan buku-buku
itu, kesediaan mereka bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, menunggu kedatangan
pembaca yang tepat dan menarik mereka dari tempatnya… Buku-buku itu berbisik
kepada saya dengan suara berdebu.” Pengalaman puitis sebelum para pembaca
dibujuk menikmati keajaiban digitalisasi.
Perpustakaan itu rumah-buku belum terkena “takdir”
digitalisasi dialami Jorge Luis Borges. Pengarang asal Argentina rajin
menggubah cerita-cerita mengenai perpustakaan. Ia pun lama berada di
perpustakaan untuk bekerja dan mengarang. Ia selalu takjub buku-buku cetak.
Borges masih menganggap perpustakaan adalah deretan rak, persekutuan buku,
lorong, dan lain-lain.
Di buku kecil berjudul Esai Autobiografis (2019),
kita mengikuti babak-babak hidup Borges bersama buku-buku cetak. Ia berada
dalam “labirin” biografis dan “mencipta” dalam buku-buku. Di perpustakaan, ia
mengerti diri dan alam-semesta sebelum kebutaan. Ia tetap membawa “takdir”
buku-buku cetak, belum terjebak seruan-seruan digitalisasi.
Kini, kita menanggungkan lakon hidup “melulu” digital saat
abad XXI tak lagi menginginkan buku berdebu, rak-rak tua, dan pembaca merasakan
kertas. Dunia berubah dengan segala keajaiban, kemudahan, dan kemanjaan.
Perpustakaan wajib berubah agar tak dicap kedaluwarsa, kuno, dan kolot. Kita
perlahan membiarkan nostalgia-nostalgia berada di tepian untuk menikmati
pembuktian kemajuan keaksaraan dengan digitalisasi. Begitu. (*)