Perpustakaan: Berita dan Nostalgia

By PorosBumi 23 Des 2024, 19:10:16 WIB Tilikan
Perpustakaan: Berita dan Nostalgia

Bandung Mawardi

Bapak rumah tangga dan tukang kliping

 

Baca Lainnya :

PERPUSTAKAAN itu uang. Kita sejenak mendapat “lelucon”. Isi perpustakaan tak melulu buku. Pada suatu masa, perpustakaan menjadi tempat menghasilkan uang (palsu). Kita dibingungkan berita dari perpustakaan di UIN Alauddin Makassar. Di situ, ada ruang digunakan membuat uang palsu. Pembuatan dengan mesin cetak. Kita mengandaikan mesin cetak itu menghasilkan buku-buku agar makin membuat perpustakaan sesak bacaan. Mesin cetak dimengerti sebagai mesin uang (palsu).

Berita di Kompas, 20 Desember 2024, berjudul “Pustakawan UIN Alauddin Menjadi Tersangka” memicu kita berpikiran lagi perpustakaan ketimbang tergiur uang (palsu). Buku-buku masih berada di perpustakaan meski tak dijanjikan mencipta peristiwa indah: membaca. Buku-buku berada di tempat tanpa pemegang dan pembuka biasa disebut pembaca.

Nasib buku di perpustakaan sering rawan. Buku-buku dikeluarkan dari perpustakaan. Konon, buku-buku tak boleh abadi menjadi penghuni. Ruang dinamakan perpustakaan itu gampang sesak jika buku-buku lama terus menjadi penghuni, ditambah kedatangan buku-buku baru. Buku-buku telah menghuni lama gampang “diusir” atau sengajak berpindah tempat. Perpindahan kadang berdasarkan nalar-dagang atau menghibahkan.

Di pasar buku bekas di pelbagai kota, para pedagang biasa mengabarkan pemeroleh buku-buku dalam jumlah ratusan atau ribuan eksemplar. Buku-buku berstempel perpustakaan sekolah atau universitas. Buku-buku dalam kondisi masih bagus tak diperbolehkan tinggal lama di perpustakaan.

Buku-buku sampai ke pedagang dengan cara jual-beli dengan pihak perpustakaan atau orang-orang mengerti nasib buku tak dikehendaki bisa diuangkan. Kodrat buku-buku tak lestari bila mengikuti “kaidah” atau “konstitusi” dalam mengurus perpustakaan di seantero Indonesia. Kita mengandaikan sekian perpustakaan itu dikelola oleh pemerintah atau mendapat anggeran dari pemerintah.

Buku-buku berstempel beragam perpustakaan berada di pasar buku bekas. Para pedagang ingin mendapatkan untung. Buku-buku lumrah dijual murah. Kita tak usah berpikiran jumlah uang digunakan pengelola perpustakaan saat membeli bukubuku baru. Pada saat mengeluarkan buku-buku dari perpustakaan dapat ditebak harga menjadi turun atau jatuh. Konon, para pedagang bilang bisa diperdagangkan secara kiloan.

Para pengunjung dan pembeli buku-buku bercap atau berstempel perpustakaan merasa gembira. Buku-buku berharga murah dibeli untuk menambah koleksi buku di rumah. Pembeli itu bakal menjadi kolektor ganda.  Ia memang mengoleksi buku-buku. Ia pun kolektor stempel-stempel perpustakaan di halaman-halaman buku mengartikan “perjumpaan” dan “persekutuan” dari pelbagai alamat.

Kita mengganti pengalaman dan pengamatan “sekejap” atas nasib buku-buku perpustakaan dengan berita berasal dari Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu, 6 November 2024. Orang-orang terhormat di Komisi X DPR RI menginginkan Perpustakaan Nasional melakukan alih media. Kita biasa mengenal sebagai digitalisasi. Seruan disampaikan ke pihak pejabat-pejabat di Perpustakaan Nasional agar tekun mengadakan alih media bahan pustaka (buku, koran, majalah) ke dalam bentuk digital.

Pemahaman mutakhir berpihak ke digital ketimbang wujud cetak. Mereka memiliki alasan agar bahan pustaka itu dapat dilestarikan. Wujud kertas dituduh mudah rusak, hancur, dan boros. Berita itu mengajak kita “bermufakat” atas pemikiran-pemikiran jernih dan mulai dari kaum terhormat di DPR RI.

Kita diminta memberi pujian jika Perpustakaan Nasional terus mengagungkan digitalisasi. Semua demi kemajuan Indonesia membaca pada masa depan. Kita mendingan mengangguk ketimbang memejamkan mata atau menggelengkan kepala. Mereka berusaha membuat kebijakan tanpa ada janji membuktikan sebagai pembaca buku (cetak) atau berseru pemuliaan buku bersumber rumah dan lakon keseharian.

Kita menghindari berita dan tuduhan dengan menikmati puisi. Di Koran Tempo, 3 November 2024, kita disuguhi puisi berjudul “Mata Pelajaran Mencintai Perpustakaan” gubahan Imam Budiman: Perpustakaan adalah masa kecil/ yang semakin menyusut di matamu/ sebuah kebun yang melahirkan bahasa. Kita sejenak digoda mengartikan perpustakaan. Di situ, perpustakaan menghimpun buku-buku berpengaruh dalam pembentukan biografi pembaca.

Buku dan waktu dalam pertumbuhan manusia-pembaca dan pasang-surut nasib (pengelolaan) perpustakaan. Di puisi, kita mengira buku-buku dikisahkan berwujud kertas atau cetak. Imam Budiman melanjutkan: Dan kau bibliofil yang tidak sepenuhnya rela/ memulangkan kata-kata kembali ke jendela/ selain merajut dan menjadikannya selimut/ yang mengakrabi segala ihwal cita-cita.

Kita mengandaikan tokoh dalam puisi memegang buku, memangku buku, dan membaca buku. Tangan itu membuka lembaran-lembaran kertas, belum mengarah ke adegan pembaca buku edisi digital dalam gawai. Perpustakaan masih dimengerti dan dikenang berisi buku-buku cetak. Perpustakaan itu ruang menggirangkan bagi pembaca mencipta biografi dan nostalgia.

Pada masa dan tempat berbeda, kita mengikuti pengalaman dalam perpustakaan seperti disampaikan Nicholas Carr dalam buku berjudul The Shallows (2011). Ia mula-mula menggandrungi buku-buku cetak, sebelum teknologi-baca mutakhir bermunculan memberi jebakan dan pesona di Amerika Serikat.

Nicholas Carr mengenang: “Namun, sebagian besar waktu saya di perpustakaan adalah untuk menelusuri koridor tumpukan buku yang sempit dan panjang. Meskipun dikelilingi puluhan ribu buku, saya tidak ingat pernah merasakan kegundahan yang merupakan gejala dari yang sekarang ini kita sebut ‘informasi berlebih’. Ada sesuatu yang menyenangkan dalam keheningan buku-buku itu, kesediaan mereka bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, menunggu kedatangan pembaca yang tepat dan menarik mereka dari tempatnya… Buku-buku itu berbisik kepada saya dengan suara berdebu.” Pengalaman puitis sebelum para pembaca dibujuk menikmati keajaiban digitalisasi.

Perpustakaan itu rumah-buku belum terkena “takdir” digitalisasi dialami Jorge Luis Borges. Pengarang asal Argentina rajin menggubah cerita-cerita mengenai perpustakaan. Ia pun lama berada di perpustakaan untuk bekerja dan mengarang. Ia selalu takjub buku-buku cetak. Borges masih menganggap perpustakaan adalah deretan rak, persekutuan buku, lorong, dan lain-lain.

Di buku kecil berjudul Esai Autobiografis (2019), kita mengikuti babak-babak hidup Borges bersama buku-buku cetak. Ia berada dalam “labirin” biografis dan “mencipta” dalam buku-buku. Di perpustakaan, ia mengerti diri dan alam-semesta sebelum kebutaan. Ia tetap membawa “takdir” buku-buku cetak, belum terjebak seruan-seruan digitalisasi.

Kini, kita menanggungkan lakon hidup “melulu” digital saat abad XXI tak lagi menginginkan buku berdebu, rak-rak tua, dan pembaca merasakan kertas. Dunia berubah dengan segala keajaiban, kemudahan, dan kemanjaan. Perpustakaan wajib berubah agar tak dicap kedaluwarsa, kuno, dan kolot. Kita perlahan membiarkan nostalgia-nostalgia berada di tepian untuk menikmati pembuktian kemajuan keaksaraan dengan digitalisasi. Begitu. (*)




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment