Dari PHK ke Jualan Nasi Uduk: Cerita Yadi dan JKP yang Tertunaikan untuk Melanjutkan Hidup

By PorosBumi 14 Nov 2025, 15:30:13 WIB Humaniora
Dari PHK ke Jualan Nasi Uduk: Cerita Yadi dan JKP yang Tertunaikan untuk Melanjutkan Hidup

Keterangan Gambar : Program JKP dari BPJS Ketenagakerjaan menjadi bukti kehadiran negara memenuhi hak pekerja. (dok BPJS)


DEPOK-Pukul 04.30 WIB, kabut tebal masih menyelimuti Pondok Petir, Bojongsari, Depok. Yadi, mantan karyawan jasa ekspedisi yang kini menjadi satpam perumahan, sudah terjaga. Ingatan Yadi melayang di masa lalu. Dulu setiap hari ia mengaspal minimal 60 kilometer demi membawa pulang Rp150.000. Sebagai pekerja kontrak, ia tak pernah mendapat asuransi—sampai akhirnya terkena PHK tahun lalu.

Kini nasib Yadi berubah. Berkat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2025, ia menerima Rp1,8 juta per bulan selama enam bulan pasca-PHK. Uang itu ia gunakan sebagai modal berjualan nasi uduk bersama istrinya di pinggir jalan dekat rumahnya. “Dengan JKP ini, saya bisa mulai lagi dari nol,” ujarnya akhir pekan di penghujung Oktober lalu.

Yadi bukan satu-satunya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, Yadi mungkin mewakili nasib setidaknya 86,58 juta pekerja informal di Indonesia—rekor tertinggi sejak pandemi. Di balik angka itu ada tukang ojek, penjual gorengan, pembantu rumah tangga, dan buruh musiman yang puluhan tahun tak pernah merasakan pesangon.

Baca Lainnya :

Wajah Ketenagakerjaan Indonesia 2025

Kisah Yadi dan juga persoalan pemenuhan hak-hak pekerja informal masih menjadi pekerjaan rumah negeri ini. Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, sedang berada di persimpangan krusial menuju visi pembangunan berkelanjutan. Dengan angkatan kerja mencapai 153,05 juta orang per Februari 2025, sektor ketenagakerjaan sejatinya menjadi pondasi utama bagi kemajuan ekonomi nasional. Namun, di balik pertumbuhan PDB yang diproyeksikan mencapai 5,2% pada 2025, terdapat tantangan ketenagakerjaan berupa ketidaksetaraan akses hak pekerja, dominasi sektor informal, dan kesenjangan gender.

Padahal di era modern saat ini perlindungan pekerja bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan investasi strategis untuk masa depan yang lebih adil. Terpenuhinya hak dasar pekerja bisa  mendorong transformasi sosial-ekonomi yang inklusif, di mana setiap individu—terlepas dari gender, status formalitas, atau latar belakang—berkontribusi optimal terhadap kemakmuran bangsa. Apakah pemenuhan hak-hak dasar pekerja seperti dialami Taryono saat ini sudah terwujud dalam sektor tenaga kerja Indonesia? Atau pertanyaan yang paling umum bisa dilontarkan adalah bagaimana hak-hak pekerja saat ini dipenuhi oleh negara?

Data BPS menyebut, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia mencapai 4,76% pada Februari 2025, menurun sedikit dari tahun sebelumnya, dengan rata-rata upah buruh sebesar Rp3,09 juta per bulan—naik 1,78% year-on-year. Meski demikian, angka ini menyembunyikan realitas bahwa 70,60% penduduk usia kerja tergabung dalam angkatan kerja, di mana banyak yang rentan terhadap eksploitasi.

JKP Jawab Pemenuhan Kebutuhan Hak Pekerja

Hingga akhirnya wajah pekerja mulai berubah ke arah yang lebih baik. Dimulai dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) yang direvisi pada 2025. UU CK ini dengan disokong Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 menjadi landasan utama untuk memperkuat jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Berdasarkan PP ini, pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) berhak atas 60% upah selama enam bulan pertama, diikuti penurunan bertahap, sebagai bentuk perlindungan transisi.

Selain itu, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2025 mengatur klaim JKP, memastikan hak hilang hanya jika tidak diajukan dalam enam bulan pasca-PHK. Aturan kontrak kerja waktu tertentu (PKWT) terbaru membatasi durasi maksimal tiga tahun, dengan hak konversi ke permanen untuk pekerja berprestasi, mencegah praktik outsourcing abusif.

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Anggoro Eko Cahyo mengakui bahwa program JKP telah memberikan manfaat kepada lebih dari 250 ribu pekerja yang terkena PHK sejak Januari 2025. “Ini membuktikan bahwa negara hadir disaat pekerja membutuhkan.” ujar Anggoro dalam sebuah diskusi di Jakarta, 15 Oktober 2025. Pada gilirannya JKP menjadi bukti nyata bahwa persoalan pemenuhan hak-hak pekerja bukan hanya di atas kerta formalitas, tetapi juga bentuk manifestasi untuk menjawab tuntutan global.

Keniscayaan Ekosistem Pekerja Berkelanjutan

International Labour Organization (ILO) dalam Dokumen Kerja Layak Nasional (DWCP) 2020-2025 jauh-jauh sudah mewanti-wanti bahwa pengakuan hak pekerja, termasuk dalam hal ini pekerja rumah tangga dan migran dapat mengurangi eksploitasi, yang selama ini menghambat kontribusi mereka terhadap PDB.

Di Indonesia, di mana pekerja migran menyumbang remitansi hingga USD10 miliar per tahun, inisiatif seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) Penempatan PMI 2025 dirancang untuk menciptakan ekosistem penempatan yang aman dan berkelanjutan.

Namun, tantangan terbesar tetap pada sektor informal, yang mendominasi 59,40% tenaga kerja pada Februari 2025—setara 86,58 juta orang, rekor tertinggi sejak pandemi. Data BPS Agustus 2025 menunjukkan penurunan tipis menjadi 57,80% atau 84,58 juta orang, tetapi sektor ini masih rentan tanpa jaminan sosial. Pekerja informal, mayoritas di pertanian dan perdagangan, sering menghadapi upah di bawah upah minimum provinsi (UMP), dengan produktivitas rendah dibanding negara ASEAN lain.

Selain status pekerja informal yang banyak disandang masyarakat, secara umum beranda dunia ketenagakerjaan bangsa ini juga masih berkutat soal keseteraan antara pekerja laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender masih menjadi batu sandungan dalam menciptakan inklusivitas di dunia pekerja. Data tahun 2023 menyebutkan, partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 55%, jauh di bawah laki-laki (85%). Tren ini berlanjut ke tahun 2025 dengan indeks kesetaraan gender naik tipis menjadi 0,692.

Pada gilirannya kesenjangan upah gender tetap mencolok: perempuan diupah 20-30% lebih rendah untuk pekerjaan serupa, meski 14,37% pekerja perempuan berperan sebagai female breadwinners (tulang punggung keluarga). Wajah perempuan sebagai ‘pekerja kelas dua’ ini juga simetris dengan adanya kultur kungkungan beban domestik kaum hawa. Data per Februari 2025 menyebut, tingkat pekerja paruh waktu perempuan mencapai 36,66%, dua kali lipat laki-laki (18,55%), sering karena beban domestik ganda. Komnas Perempuan mencatat 2.702 kasus kekerasan terhadap pekerja perempuan sepanjang 2024, tren yang berpotensi naik di 2025 tanpa intervensi kuat.

Padahal di sektor informal, perempuan mendominasi 60% tenaga kerja, dengan kerentanan tinggi terhadap eksploitasi. Untuk mengikis ekploitasi ini butuh partisipasi aktif perempuan di bidang ketenagakerjaan. Riset McKinsey memproyeksikan bahwa peningkatan partisipasi perempuan hingga 56% pada 2025 bisa menambah PDB hingga USD135 miliar, menjadikan kesetaraan gender sebagai leverage ekonomi.

Untuk mengatasi kondisi tersebut, pemerintah meluncurkan berbagai jurus dengan paradigma berkelanjutan. Salah satunya pada Juni 2025, kolaborasi pemerintah dan PBB menghadirkan program "Pekerjaan, Keterampilan, dan Perlindungan Sosial", menargetkan 500 ribu tenaga kerja baru melalui pelatihan vokasi hijau. Sebagai langkah tindaklanjut, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mempercepat transformasi menuju ekonomi hijau adil, dengan Peta Jalan Pengembangan Tenaga Kerja Hijau yang mencakup tiga strategi: ekosistem hijau, peningkatan keterampilan, dan akses pasar kerja.

Sementara itu, dunia internasional melalui organisasi buruh sedunia (ILO) juga terus mendorong pengakuan pekerja platform digital sebagai pekerja formal. Melalui Sidang ILC 113, ILO ingin memastikan upah dan jaminan sosial bagi 7 juta pekerja potensial yang terancam kehilangan pekerjaan pada 2025 akibat disrupsi teknologi.

Setelah berbagai ikhtiar dilakukan, dampak perlindungan hak-hak pekerja terhadap ekonomi mulai terasa. ILO menyatakan bahwa RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dapat menekan pengangguran dengan mengakui 2 juta pekerja informal, meningkatkan produktivitas nasional hingga 15%. Jaminan sosial yang optimal, seperti BPJS Ketenagakerjaan dengan 42 juta peserta aktif per September 2025, mengurangi kemiskinan struktural dan mendorong konsumsi domestik.  Di sektor energi, sinergi pemberdayaan pekerja migran melalui kompetensi berkelanjutan diproyeksikan menambah devisa USD2 miliar.

Pada akhirnya semua ikhtiar dan terobosan yang dilakukan dalam hal perlindungan hak-hak pekerja sejatinya bukan hanya berkaitan dengan birokrasi kaku, melainkan idealnya menjadi jembatan menuju kehidupan pekerja yang lebih baik. Kisah Yadi yang hidupnya bisa berubah berkat JKP, menunjukkan bahwa persoalan hak pekerja bukan sekadar angka statistik dari wajah ketenagakerjaan. Lebih dari itu dinamika hak pekerja adalah bagian dari ikhtiar Indonesia yang sedang membangun ekosistem untuk melindungi dan memenuhi hak-hak pekerja. Dan ketika 153 juta pekerja bangsa ini akhirnya merasa dilindungi, maka langkah menatap Indonesia Emas 2045 akan lebih ringan dan optimis. Seoptimis kisah Yadi dalam melanjutkan hidup setelah JKP-nya tertunaikan. (Wahyono)

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment