- Revisi UU 41 Tahun 1999 Angin Segar Bagi Tata Kelola Kehutanan Indonesia
- Kepala BP Taskin: Desa Membantu Pengentasan Kemiskinan Lebih Kontekstual Berbasis Budaya
- Mudik Gratis PLN Bersama BUMN Dibuka, Begini Cara Daftarnya di Aplikasi PLN Mobile!
- FAST Tel-U Dukung Astacita Pendidikan Tinggi
- PB POSSI Kirim 4 Wasit ke Thailand, Tingkatkan Kualitas Freediving Indonesia
- AHY: Pengembangan Rempang Eco-City Harus Inklusif dan Berorientasi Pada Kesejahteraan Masyarakat
- NFA Dorong Keanekaragaman Konsumsi Pangan Lokal untuk Ketahanan Gizi Nasional
- Presiden Prabowo Resmikan 17 Stadion Berstandar FIFA di Berbagai Daerah Indonesia
- AHY: Infrastruktur Berkelanjutan, Kunci Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan
- Fishipol Universitas Negeri Yogyakarta Luncurkan Buku Eulogi untuk Prof Supardi
Edukasi Budaya dan Norma Sosial Cegah Kekerasan Seksual di Lokasi Bencana

JAKARTA - FK Tagana Provinsi DKI Jakarta berkolaborasi dengan STIE Dharma Bumiputera menyelenggarakan Seminar Penanganan Kekerasan Seksual, pada Sabtu, 8 Februari 2025. Mengusung tema "Pendekatan Penanganan Kekerasan Seksual Berbasis Gender Dalam Kondisi Bencana Melalui Edukasi Budaya", seminar ini diikuti oleh Anggota Tagana Provinsi DKI Jakarta dan mahasiswa.
Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta, Dr Premi Lasari AP MSi saat membuka acara seminar menekankan dampak kekerasan seksual dalam kondisi bencana serta pentingnya menanamkan edukasi budaya yang berfungsi meningkatkan kesadaran individu, mengubah norma sosial, memberdayakan komunitas dan edukasi tentang dampak kekerasan seksual.
"Peran Pemerintah dan LSM sangat penting dalam perlindungan kaum perempuan untuk bisa berkolaborasi terkait bantuan hukum, program edukasi dan pelatihan serta membangun kebijakan perlindungan," kata Premi.
"Tantangan ke depan sangat berat dalam mengimplementasikan edukasi budaya kedalam penanganan kekerasan seksual, sehingga kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan," sambungnya.
Sebagai pemantik seminar, Ahmad Fauzan Fadlan SE MM selaku Ketua Program S1 Manajemen Bencana STIE Dharma Bumiputera memaparkan berbagai permasalahan yang terjadi di berbagai daerah pada saat tanggap darurat, yakni berupa human trafficking, percobaan perkosaan, penyerangan seksual, pelecehan seksual, perkosaan, penelantaran, diskriminasi, pernikahan dini dan pengintipan saat mandi.
Munculnya berbagai permasalahan tersebut, kata dia, diakibatkan karena konstruksi wc dan hunian yang kurang baik, tidak ada ruang priviasi bagi pasangan suami istri, sertavsarana yang tidak memadai terutama pada malam hari berupa penerangan
"Tidak adanya pemisahan gender di tenda pengungsian, mata pencarian menghilang, dan lama waktu pengungsi juga mengakibatkan pada kondisi psikologis serta tidak adanya tindakan hukum bagi para pelaku kekerasan seksual," ujarnya.
Sementara itu, Elisabeth A Sidabutar SPI MMD (UNFPA) yang tampil sebagai nara sumber, menekankan perlu adanya pemahaman petugas penanggulangan bencana dalam konteks gender, kekerasan berbasis gender, serta penyebab kekerasan berbasis gender. Ia menyarankan agar sub kluster kekerasan berbasis gender di tingkat Provinsi DKI Jakarta bisa dibentuk dengan dipelopori oleh Dinas Sosial, karena koordinasi antar lembaga pemerintah dalam penanganan kekerasan seksual kunci keberhasilan dalam masa tanggap darurat.
"Rekomendasi yang dibutuhkan ntuk meningkatkan sub-kluster penanganan kekerasan seksual yaitu penguatan kapasitas yang berkesinambungan, koordinasi lintas sektor, kolaborasi dengan berbagai lembaga pemerintah, membangung system monitoring dan evaluasi, pengakuan dan penghargaan serta pertemuan nasional untuk menyampaikan praktik baik," tutur dia.
Ia juga menyampaikan kesiapannya untuk bisa memberikan pelatihan kepada anggota Tagana agar mampu dalam penanganan kekerasan seksual pada kondisi bencana.
Nara sumber lainnya Drs Pangarso Suryotomo MMB dari BNPB, mengungkapkan bahwa banyak sekali kasus kekerasan seksual berbagis gender pada kondisi bencana terutama pada kelompok rentan yaitu perempuan dan anak bahkan penyandang disabilitas.
Kelompok rentan ini, kata dia, mengalami ketidakadilan seperti pemenuhan kebutuhan dasar kurang sesuai, mengalami stigma, diskriminasi, kekerasan berbasis gender, keamanan yang terancam dan masih kurang dilibatkan dalam peningkatan kapasitas.
"Peraturan Kepala BNPB Nomor 13 tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender di bidang Penanggulangan Bencana menekankan pada pencapaian kesetaraan pemenuhan hak dan perlindungan perempuan melalui pembangunan yang inklusif dengan rencana aksi/intervensi melalui edukasi layanan Kesehatan bagi kelompok rentan, edukasi pencegahan perkawinan anak, perbaikan layanan kesehatan di daerah rawan bencana serta pelatihan pemberdayaan perempuan bidang ekonomi, sosial dan hukum di daerah rawan bencana," papar dia.
Sementara itu, sebagai tindak lanjut edukasi penanganan kekerasan seksual berbasis gender, Ketua FK Tagana DKI Jakarta, Johhny Marlein Siahaan SH mengatakan akan menerapkan pada Layanan Dasar Psikososial (LDP) dengan pendekatan berbasis seni dan budaya.
"Sehingga para penyintas mendapatkan pengetahuan bagaimana menghindari kekerasan seksual dan cara penanganannya," ujarnya. Tidak hanya itu, ia juga merekomendasikan penerapan ruang ramah pasutri serta agar ada standar prosedur di pengungsian untuk menjadi acuan bagi penyintas dan para petugas penanggulangan bencana. (fadlik al iman)
