- Menkeu, Teori dan Kebijakan Tarif
- Uji Kelayakan Lokasi PLTN, BRIN dan BMKG Lakukan Kajian Potensi Tsunami di Pantai Gosong
- Perjalanan Jatuh Bangun Ali Sarbani, Anak Petani Sukses Berbisnis Properti
- KAI Daop 8 Pelajari Media Percontohan Pembelajaran Pencegahan Krisis Planet
- Pemerintah Perkuat Infrastruktur Pengelolaan Sampah Lewat Teknologi
- Kakek 103 Tahun Sukses Jualan di Tiktok Shop
- Asal-Usul Bubur Ayam Jakarta 46
- Foto Itu...
- Gubernur Pramono Anung Apresiasi Kiprah Muhammadiyah DKI Jakarta
- Huawei Mate XT, Smartphone Lipat Tiga Pertama Hadir di Indonesia
Hentikan Kriminalisasi Pembela Petani dan Masyarakat Adat

JAKARTA - 15 Masyarakat Adat di Desa
Nangahale, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang korban penggusuran Sang Uskup karena memperjuangkan
tanah adatnya kini menjadi target kriminalisasi Keuskupan Maumere dan
Kepolisian Daerah NTT.
Tidak hanya itu, bahkan penasihat hukum para masyarakat adat
juga hendak dipenjarakan. Upaya kriminalisasi ini dilakukan demi memuluskan
perampasan tanah adat yang diklaim oleh Keuskupan Maumere melalui PT Kristus
Raja Maumere (PT Krisrama).
Pada 21 Maret 2025, John Bala selaku Penasihat Hukum para
Masyarakat Adat telah dilaporkan ke Ditkrimum Polda NTT atas dugaan tindak
penyerobotan tanah tanpa izin sebagaimana dalam surat penerimaan laporan Polda
NTT STPL/B/64/III/2025/SPKT/POLDA NTT. Pelaporan ini dilakukan oleh Ephivanus
Markus Nale Rimo – Dosen dan Kuasa Hukum PT Krisrama.
Baca Lainnya :
- Referensi Daftar SNBP 2025, Ini 5 PTN dengan Jurusan Akuntansi Terbaik0
- Banda Aceh Terapkan Qanun Kawasan Tanpa Rokok untuk Ciptakan Masyarakat Sehat0
- Pertumbuhan Ekonomi Sumsel Diapresiasi Presiden Prabowo0
- Geopark Jogja Raih Prestasi Aspiring Geopark Nasional0
- Mengangkat Pamor Kopi Papua0
Laporan oleh Kuasa Hukum PT Krisrama terhadap John Bala
merupakan bentuk nyata kriminalisasi terhadap Pembela Masyarakat Adat dan
Petani sebagai upaya pelemahan perjuangan Masyarakat Adat Suku Soge dan Suku
Goban dan perlawanan hukum terhadap Putusan Pengadilan Negeri Maumere dengan
Nomor Perkara 1/Pid.B/2025/PN.Mme yang menjatuhkan vonis 10 bulan penjara
terhadap 8 (delapan) orang Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut,
dimana John Balla sebagai kuasa hukumnya.
“Dilaporkannya John Bala sebagai Kuasa Hukum Masyarakat Adat
Suku Soge Natarmage – Goban Runut adalah bentuk upaya kriminalisasi kepada
Advokat Pembela Masyarakat Adat. Jika kapolda NTT benar-benar memahami hukum,
harusnya dia tidak memproses laporan dan mengedepankan upaya-upaya persuasif
untuk menyelesaikan masalah tersebut,” kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris
Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
“Kementerian ATR/BPN RI adalah pihak yang harus bertanggung
jawab atas konflik yang terjadi antara Masyararakat Adat Suku Goban dan Suku
Soge dan PT. Krisrama. Sebab, selama konflik ini tidak diselesaikan, selama itu
juga akan banyak Masyarakat Adat yang akan menjadi korban kriminalisasi, bahkan
kekerasan,” imbuh Rukka Sombolinggi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang No.18 Tahun
2003 tentang Advokat, disebutkan bahwa seorang Advokat tidak dapat dituntut
baik secara perdata maupun pidana selama menjalankan tugas profesinya dengan
iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang
pengadilan.
Sebagai informasi, konflik antara Masyarakat Adat dengan PT Krisrama
telah lama terjadi. Kasus ini bermula ketika perusahaan Belanda yaitu Amsterdam
Soenda Compagni memperoleh Hak Erfpacht melalui perampasan tanah, namun
dilegitimasi oleh Surat Keputusan Residen Timor en Onder Hoorigheden tertanggal
11 September 1912 No. 264,
seluas ± 1.483 Ha untuk penanaman kapas dan kelapa, yang
sesuai ketentuan saat itu berlaku hingga 1987 atau berlaku selama 75 tahun.
Perkebunan yang diperoleh dari penggusuran wilayah adat oleh
perusahaan Belanda ini dijual sepihak kepada Aposttholishe Vicariaad van de
Klaine Soenda Ellanden (Perwakilan Gereja Katolik Roma di wilayah misionaris
dan negara yang belum memiliki keuskupan).
Apostolik Vikariat mengembalikan sebagian tanah kepada
pemerintah karena tidak produktif. Lantas Vikariat Apostolik Ende melalui Surat
No. 981/V/56, tertanggal 16 Desember 1956, mengajukan permohonan kepada
Pemerintah Swapraja Sikka untuk mengembalikan sebagian Hak Erpacht di Nangahale
seluas ± 783 Ha. Permohonan tersebut disetujui oleh Pemerintah Swapraja Sikka
dengan Surat Keputusan tanggal 18 Desember 1956, No. 63/DPDS.
Alasan pengembalian ialah karena bagian tersebut
diperuntukan bagi pemukiman masyarakat dan diusahakan oleh masyarakat yakni
dari batas sekarang di sebelah timur sampe dengan Kantor Camat Talibura.
Masyarakat setempat biasa menyebutnya Kampung Baru Watubaing Talibura.
Hal ini selaras dengan kebijakan pemerintah pada saat itu
sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden 32 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok
Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak
Barat. Di mana dalam Pasal 4, diatur bahwa: Tanah- tanah Hak Guna Usaha asal
konversi hak Barat yang sudah diduduki oleh Rakyat dan ditinjau dari sudut tata
guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk
pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada Rakyat
yang mendudukinya.
Dari fakta hukum di atas, sesungguhnya Kementerian ATR/BPN
tidak cermat ketika menerbitkan (Hak Guna Usaha) pada tahun 1989 seluas 879
hektar yang habis masa berlakunya pada Desember 2013 silam. Karena sejak tahun
2011 hingga 2019 Kementerian ATR/BPN sendiri sudah memasukannya ke dalam
database tanah terlantar. Seharusnya segera ditindaklanjuti dengan
menetapkannya sebagai tanah yang akan dikembalikan kepada Masyarakat Adat.
“Bahkan penerbitan HGU pada tahun 2023 lalu pun sengaja
dilakukan dengan melanggar pelanggaran-pelanggaran hukum itu sendiri.
Penguasaan tanah adalah salah satu syarat memperoleh HGU, meski PT Krisrama
tidak menguasai tanah BPN tetap mengeluarkan HGU. Lebih parahnya BPN sendiri
tidak pernah berhasil melakukan pengukuran ulang atas bekas HGU PT. Krisrama.
Sehingga sepuluh bidang HGU PT Krisrama sebenarnya dapat dicabut oleh
Kementerian ATR/BPN,“ kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium
Pembaharuan Agraria (KPA).
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, Kami
Konsorsium Pembaruan Agraria dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mendesak
agar Kapolda NTT untuk tidak menindaklanjuti laporan
No.STPL/B/64/III/2025/SPKT/POLDA NTT yang dilaporkan Ephivanus Markus Nale Rimo
dan Kuasa Hukum PT Krisrama.
Kapolda NTT beserta jajarannya untuk menghentikan segala
bentuk kriminalisasi dan mengedepankan upaya-upaya persuasif untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Kemudian, Bupati Kabupaten Sikka untuk tegas
memimpin penyelesaian konflik agraria dan menjaga keamanan para masyarakat adat
di Desa Nangahale;
Menteri ATR/BPN RI untuk segera membatalkan pemberian HGU PT
Krisrama yang diterbitkan dengan cara-cara yang melanggar hukum sekaligus
mengembalikan tanah kepada Masyararakat Adat Suku Goban dan Suku Soge; dan Menteri
ATR/BPN segera meredistribusikan tanah-tanah terlantar yang mencapai 7 juta
hektar untuk petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan demi mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan. (rel)
