Hutan: Kekuasaan dan Pelajaran

By PorosBumi 11 Des 2025, 08:01:10 WIB Tilikan
Hutan: Kekuasaan dan Pelajaran

Bandung Mawardi
Tukang Kliping, Bapak Rumah Tangga

BENCANA ditanggapi dengan kata-kata. Situasi makin tak keruan di media sosial. Publik mengamati kata-kata disampaikan Prabowo Subianto, menteri, pejabat, dan pihak-pihak terkait. Sumatera mengabarkan duka: banjir. Di Jakarta dan pelbagai tempat, kata-kata disampaikan secara lisan atau tulisan. Kata-kata disampaikan “tergesa” lekas mendapat sambutan publik. Keributan besar dipicu kata-kata. 

Kita lelah berduka dan memikirkan kata-kata. Indonesia sedang ruwet di babak akhir 2025. Kita justru disadarkan penghancuran alam, kerancuan kebijakan penguasa, permainan kaum modal, dan pembahasaan bencana. Hari-hari sulit mendapat terang gara-gara keributan kata-kata belum berakhir. Usaha menangani bencana lambat dilakukan meski Prabowo Subianto sudah turun dan bertemu warga.

Banjir itu mengerikan. Kata-kata mengenai banjir di Sumatera pun mengerikan ditilik secara linguistik, politik, teologi, kultural, dan pendidikan. Kita terus diserbu berita-berita membikin lara. Sumatra menjadi sumber berita. Doa dan bantuan mengalir ke Sumatera meski keributan kata-kata belum mereda.

Kita teringat omongan Prabowo Subianto, 28 November 2025 tentang perubahan iklim, pemanasan global, dan kerusakan lingkungan. Presiden pun lekas mengungkapkan di hadapan para guru: “Ini juga saya kira para guru di seluruh Indonesia yang sudah bisa mulai, saya yakin sudah mulai, tapi mungkin perlu kita tambah dalam silabus mata pelajaran, juga kesadaran akan sangat pentingnya kita menjaga lingkungan alam kita, menjaga hutan-hutan kita.”

Pesan itu jelas mengarah pembenahan dan “pengutamaan” pengajaran lingkungan di sekolah. Kita memastikan itu omongan, belum kebijakan mewujud dalam dokumen berstempel resmi dan bertanda tangan. Omongan Prabowo Subianto terlalu cepat beredar sebagai berita dan berkaitan bencana di Sumatera.

Situasi mutakhir mengajak kita memikirkan lagi berita. Pada 1998, terbit buku berjudul Panduan Pemberitaan Lingkungan Hidup susunan Bernadette West, Peter M Sandman, dan Michael R Greenberg. Buku lama tapi tetap dapat menjadi rujukan saat kita berhadapan dengan berita-berita bertema lingkungan hidup atau bencana.

Pada zaman bergawai, kita mudah dibingungkan oleh berita-berita. Orang-orang pun memilih meragukan berita dan mengikuti segala ruwet di media sosial. Di situ, kita menemukan petunjuk dan penjelasan dalam bahasa dan risiko. Pemberitaan atas lingkungan memerlukan kesadaran bahasa untuk menguak kebenaran.

Bahasa itu menjadi “bermasalah” saat mengetahui (tingkat) risiko: besar atau kecil. Bahasa untuk berita tak boleh sembarangan. Kita lekas teringat bencana di Sumatera menjadi ribuan berita. Omongan dan sikap pejabat dikutip dalam berita-berita.

Pilihan kata para pejabat dianggap “tergesa” dan abai kepekaan terhadap alam dan korban bencana. Berita-berita terus dibuat dan beredar, memuat tanggapan-tanggapan sinis atas omongan pejabat. Di hitungan jam dan hari, ralat bermunculan dari para pejabat.

Di luar berita, kita membaca pengisahan para korban disajikan di media sosial. Pengisahan itu menjadi kesaksian dan pengalaman berbeda dari keterangan-keterangan (resmi) disampaikan pemerintah. Kita merasa lelah dengan kata-kata untuk mengerti bencana di Sumatera.

Keinginan disampaikan Prabowo Subianto agar terselenggara pelajaran lingkungan di sekolah mungkin bisa kita pikirkan sejenak. Murid-murid di sekolah sudah terbebani beragam pelajaran. Mereka disituasikan saat belajar bermisi paham dan menggunakan dalam capaian nilai melalui ujian.

Prabowo Subianto ingin murid-murid di seantero Indonesia melek lingkungan. Kita menduga tak mudah mengadakan mata pelajaran baru. Lingkungan-alam mungkin masuk ke sekian mata pelajaran. Murid-murid mengetahui pelajaran berarti berisiko muncul tuduhan “sulit” dan “menjenuhkan”. Pelajaran tak harus melulu mementingkan ilmu mendasarkan data dan pemahaman ilmiah.

Murid-murid mendingan belajar dengan cerita meski ada selingan berita. Kita beranggapan cerita memampukan murid-murid menginsafi kondisi alam di Indonesia dan dunia. Cerita membuat mereka berimajinasi dan merenung agar sampai pemahaman situasi global. Pada abad XXI, cerita tetap memiliki kekuatan dalam mencipta kepekaan lingkungan hidup.

Kita mengambil dan membuka buku berjudul 366: Alam dan Lingkungan serta Cerita Lainnya (2005) susunan Anne Marie Dalmais. Buku terbit 20 tahun lalu dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia. Album cerita pendek dan ilustrasi memicu murid-murid mengenali dan memahami alam.

Mereka membaca bukan bermaksud membekali jika mengerjakan soal-soal ujian. Cerita condong membuat mereka berimajinasi untuk perolehan hikmah-hikmah. Di situ, terkandung kebenaran tapi berbeda bentuk dan kebahasaan dari buku pelajaran.

Cerita mengenai binatang dan hutan mengajak pembaca merenung: “Subuh datang semakin cepat saja, pikir kelinci kecil. Aku belum menyelesaikan perjalanan keliling di malam hari dan langit mulai terang. Hari ini, kawan-kawan kelinci akan bersenang-senang dan bermain di ladang semanggi. Aku lebih suka pergi dan memeriksa hutan."

"Dalam beberapa lompatan besar, aku sudah sampai di pohon-pohon. Lihat, alangkah besar dan tinggi pohon-pohon itu! Tiba-tiba, aku tidak dapat melihat langit lagi. Dan, alangkah sepinya hutan.” Pembaca berimajinasi hutan itu belum “ternoda” oleh kaum modal dengan slogan keserakahan. Hutan itu subur dan memberi nafas pada dunia. Hutan belum dirusak oleh pamrih-pamrih kekuasaan.

Bermula cerita, kita berimajinasi hutan-hutan di Indonesia. Konon, hutan di Indonesia mengalami kehancuran, dari masa ke masa. Hutan dalam imajinasi kesusastraan lama telah berubah oleh kekuatan modal dan keganasan kekuasaan. Hutan di Indonesia bukan (lagi) latar cerita menebar keindahan, kesuburan, dan kebahagiaan.

Hutan perlahan menjadi tanda seru saat kita membuat daftar bencana di Indonesia. Tanda seru itu makin bertambah jika menengok kebijakan-kebijakan pemerintah. Hutan justru merana. Hutan mengingatkan tangisan dan duka berkepanjangan.

Dulu, kita mendapat seruan dari pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan tentang pelestarian atau kelestarian hutan. Istilah “lestari” itu memberi harapan dan meminta kehendak tulus dari kita. Pada abad XXI, “lestari” berganti tragedi.

Kita lanjutkan dengan membuka Menuju Kelestarian Hutan (1988) dieditori Hansjurg Steinlin. Buku bersampul hijau ikut memberi pesan agar masa depan tetap hijau. Pesan itu tercecer mengakibatkan hijau seperti kemustahilan pada abad XXI. Di buku, Mochtar Lubis urun artikel berjudul “Lampu Merah untuk Hutan Indonesia.” Mochtar Lubis memberi seruan mengenai nasib hutan-hutan di Indonesia.

Ia mengingatkan kehancuran hutan secara sengaja dan Indonesia sulit berperan dalam mencipta masa depan hijau di dunia: “Sejak Indonesia membuka diri pada perekonomian dunia, dan mengundang masuk modal asing untuk berusaha di pelbagai bidang usaha di negeri kita, maka sebuah sasaran modal asing maupun kemudian modal dalam negeri adalah hutan belantara Indonesia.”

Kita tak sekadar membaca kalimat. Mochtar Lubis menguatkan kebenaran tentang kehancuran hutan-hutan di Indonesia berganti uang berlimpah dimiliki kaum modal dan terbagi ke para pejabat. Kita membaca kalimat itu berlatar Orde Baru. Kini, kita bisa membaca kalimat sama atau berbeda setelah kerusakan hutan dan bencana menimbulkan duka tak berujung. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment