- Ukraina Dilaporkan Serang Bunker Putin Pakai Rudal Strom Shadow Inggris
- Manchester City Sodorkan Perpanjangan Kontrak Fantastis untuk Haaland
- Ilmuwan Ungkap Penyebab Pasangan Selingkuh, Begini Penjelasan Ilmiahnya
- Dari Brasil, Presiden Prabowo Ajak Pelaku Usaha Perkuat Sektor Pertanian
- HKTI Bulatkan Tekad Dukung Penuh Program Prioritas Prabowo-Gibran
- Wamen Todo Pasaribu Paparkan 3 Langkah Bangun Ekonomi Berkelanjutan
- KKP Tangani Bangkai Paus Terdampar di Sumba Timur
- Prabowo Ajak KTT G20 Entaskan Kelaparan, Mentan Gerak Cepat Bentuk Brigade Swasembada Pangan
- Duel Lawan Mike Tyson Pecahkan Rekor, Jake Paul Raup Bayaran Rp1,43 Triliun
- Menteri Dody Optimalkan Infrastruktur Irigasi untuk Dukung Ketahanan Pangan
Junko Tabei, Wanita Pertama yang Menjejak 7 Puncak Tertinggi Dunia
KECINTAANNYA pada
dunia pendakian membuat Junko Tabei berhasil menjejakkan kaki di puncak-puncak
tertinggi dunia. Tak hanya menjadi wanita pertama yang mencapai puncak Everest,
Tabei juga menjadi wanita pertama yang bergabung dengan klub Seven Summits yang
telah mendaki puncak gunung-gunung tertinggi di tujuh benua.
Pendaki Jepang ini mencapai tujuannya pada tahun 1992,
mendahului penemuan berbagai alat pendakian modern seperti GPS dan ponsel
darurat.
Junko Tabei lahir tahun 1939 di Prefektur Fukushima, semacam
kota kabupaten di Jepang. Suatu hari, saat berumur 10 tahun ia diajak mendaki
gunung oleh guru di sekolahnya. Karena postur tubuhnya yang tak seberapa, gadis
mungil itu dianggap rapuh oleh teman sebayanya.
Baca Lainnya :
- Sejarah Rempah dan Minyak Atsiri dalam Bidang Kesehatan0
- Healing sambil Bertualang, Ini Aktivitas Seru dan Lokasinya0
- Stranas PK: Potensi Kerugian Negara Rp1,2 Triliun Per Bulan Dari Subsidi Listrik Tak Tepat Sasaran0
- Pangkas 145 Regulasi, Kebijakan Distribusi Pupuk Langsung Ke Petani Dinilai Tepat0
- Ilmuwan Peringatkan Kelemahan Penggunaan AI di Dunia Nyata0
Namun perjalanan hari itu ke Gunung Asahi dan Chausu
kemudian mengubah hidupnya. Siapa sangka 26 tahun kemudian ia menjadi wanita
pertama yang mencapai puncak dunia, Gunung Everest.
Ia belajar sastra Inggris di Showa Women's University. Saat
kuliah ia aktif dalam kelompok pendaki gunung. Kemudian, setelah lulus di tahun
1969, ia mendirikan klub pendaki wanita, Ladies Climbing Club (LCC) Japan.
Bersama 14 anggota klubnya, ia melakukan ekspedisi ke Himalaya.
Tabei sangat mencintai keindahan alam pegunungan. Lagipula
mendaki bukanlah olah raga kompetisi, sehingga ia dapat menekuni perjalanan
selangkah demi selangkah menurut kemampuannya sendiri. Mendaki juga bukan
pacuan, baik dengan orang lain, dengan waktu atau alam. Ia adalah proses
menikmati alam itu sendiri. Itulah yang mebuatnya mencintai olahraga ini.
Kecintaannya pada dunia pendakian membuat perempuan
kelahiran 22 September 1939 ini menginjakkan kaki di puncak-puncak tertinggi
dunia dan mendaki berbagai gunung lainnya, seperti di antaranya Gunung
Kilimanjaro di Afrika, Gunung Denali di Amerika Utara, Pegunungan Elbrus di
Eropa, Gunung Aconcagua di Afrika Selatan, Pegunungan Carstensz di Australia,
puncak McKinley di Amerika Serikat, Pegunungan Vinson di Antartika, dan Gunung
Everest di Asia.
Tahun 1970-an ada anggapan luas bahwa laki-laki bekerja di
luar ruangan, dan perempuan harus tinggal di rumah di Jepang. Namun pandangan
umum itu tak menghentikan langkahnya untuk tetap mendaki. Ia menjalani hidupnya
dengan mendaki dan mempromosikan pendakian. Ia juga merupakan perempuan pertama
yang berhasil mencapai titik tertinggi dari tiap benua, yang dikenal sebagai
“Seven Summits”.
Setelah sukses dengan pendakian Seven Summits, ia merancang
target baru yaitu mendaki gunung tertinggi di tiap-tiap negara. Keinginan
mendakinya tak pernah berhenti. Bahkan ketika ia melihat orang-orang tewas
dalam kecelakaan gunung.
Pada 16 Mei 1975, Junko Tabei berhasil berdiri di puncak
tertinggi dunia. Dengan kegigihan dan bantuan sherpa (pemandu) Ang Thsering,
dia sukses menorehkan catatan sejarah pendakian dunia sebagai pendaki wanita
pertama yang mencapai Puncak Everest.
Pendakian Gunung Everest tak main-main. Tanpa peralatan
memadai dan persiapan yang matang, sama saja orang mendaki untuk mengantarkan
nyawa. Junko Tabei dan Sherpa Ang Thsering mendaki melalui jalur Selatan. Pada
ketinggian 8.763 mdpl, mereka memutuskan untuk berhenti sebelum melanjutkan
menuju puncak di ketinggian 8.848 mdpl.
Kendala yang dihadapi Junko Tabei ialah harus melewati
perbukitan es licin sepanjang 14 – 15 meter. Salah menapaki bukit sedikit saja,
dia bisa tergelincir jatuh 5.000 meter ke arah China atau 6.400 meter ke arah
Nepal. Sebuah pertaruhan yang mengerikan.
Perbukitan licin yang membuatnya hampir mundur. Dia merasa
takut, ngeri, dan marah. Dia kecewa dengan para pendaki terdahulu yang tak
pernah mengingatkan akan adanya perbukitan es licin sepanjang 14-15 meter.
Menurutnya, dia sudah membaca semua ekspedisi Everest
terdahulu, namun tak pernah ada yang menuliskan tentang bukit licin itu. Namun
ia sadar, kemarahan, kekecewaan, dan ketakutan tak akan membawa dia
kemana-mana.
Pilihannya hanyalah maju terus ke depan. Tak ada waktu lagi
untuk menoleh ke belakang. Perlahan dan sangat berhati-hati, dia merangkak
menyeberangi bukit es licin itu. Sebuah pengalaman yang tak akan dia lupakan
seumur hidupnya. Karena menurut dia, itulah pengalaman paling menegangkan
selama dia hidup.
Usaha kerasnya tak mengkhianati. Akhirnya Junko Tabei
berhasil melewati bukit es maut. Dia menuturkan semua rambutnya seakan berdiri
tegak saat ia berhasil melewati perbukitan es maut dan berhasil menggapai
puncak tertinggi dunia.
Sebuah prestasi yang menakjubkan yang telah ditorehkan
pendaki wanita jika mengingat pada zaman itu peralatan pendakian tak secanggih
sekarang. Ransel zaman dahulu misalnya, belum dibuat dengan teknologi untuk
kenyamanan punggung. Sleeping bag juga masih belum light seperti sekarang. Dan
Junko Tabei berhasil melakukannya, berdua bersama Sherpa Ang Thsering.
Sekitar 40 tahun sejak pendakiannya, banyak perempuan yang
telah mengikuti jejaknya. Saat ini, lebih dari 400 wanita berhasil mencapai
puncak Everest, termasuk pendaki perempuan termuda, Malavath Poorna, yang
berusia 13 tahun ketika ia menggapai puncak, dan Lapka Sherpa, perempuan yang
paling banyak mencapai puncak Everest.
Puncak Gunung Everest pertama kali dijajaki pada tahun 1953.
Sejak saat itu, lebih dari 7000 orang yang berhasil mencapai puncaknya, tetapi
hanya 200 orang yang berhasil sampai puncak tanpa oksigen tambahan. Sebagian
besar pendaki dibantu oleh orang-orang Sherpa, yang telah menjadi pemandu di
Himalaya selama ratusan tahun.
Meskipun tak banyak yang mengetahui namanya, langkah mungil
Junko Tabei, memberi makna bagi tekad dan kekuatan kaum wanita. Sebagaimana
layaknya wanita Asia ia juga sangat mencintai keluarganya. Dalam berbagai
kesempatan Junko mendaki gunung Fuji dan beberapa gunung lain di jepang bersama
suaminya.
Di usia tuanya, ia melanjutkan kecintaannya pada alam dengan
aktif dalam Himalayan Adventure Trust of Japan, sebuah organisasi global untuk
kelestarian gunung. Dirinya mengaku prihatin tentang kondisi lingkungan yang
buruk di Everest.
Tabei menyelesaikan studi pascasarjana pada tahun 2000 di
Universitas Kyushu di selatan Jepang dengan meneliti masalah sampah di
pegunungan. Tabei ingin membuka mata lebih banyak pendaki. Tahun 2003 lalu ia
mengatakan Everest sudah terlalu ramai. Gunung itu butuh istirahat.
Meski didiagnosis kanker, Tabei terus mendaki gunung.
Cita-citanya adalah mendaki gunung tertinggi dunia yang ada di lebih dari 190
negara. Tabei tetap menjadi seorang pendaki aktif di sepanjang hidupnya.
Pendakian terakhirnya terjadi di tahun 2011. Ketika itu ia mendaki Gunung Fuji
dengan sekelompok siswa SMA.
Junko Tabei meninggal pada usia 77 tahun di negara asalnya,
Jepang, 20 Oktober 2016 . Ia tutup usia akibat kanker peritoneum, yang
menyerang jaringan pelapis dinding perut dan menyelubungi organ dalam perut.