Junko Tabei, Wanita Pertama yang Menjejak 7 Puncak Tertinggi Dunia

By PorosBumi 19 Nov 2024, 10:05:08 WIB Inspiring
Junko Tabei, Wanita Pertama yang Menjejak 7 Puncak Tertinggi Dunia

KECINTAANNYA pada dunia pendakian membuat Junko Tabei berhasil menjejakkan kaki di puncak-puncak tertinggi dunia. Tak hanya menjadi wanita pertama yang mencapai puncak Everest, Tabei juga menjadi wanita pertama yang bergabung dengan klub Seven Summits yang telah mendaki puncak gunung-gunung tertinggi di tujuh benua.

Pendaki Jepang ini mencapai tujuannya pada tahun 1992, mendahului penemuan berbagai alat pendakian modern seperti GPS dan ponsel darurat.

Junko Tabei lahir tahun 1939 di Prefektur Fukushima, semacam kota kabupaten di Jepang. Suatu hari, saat berumur 10 tahun ia diajak mendaki gunung oleh guru di sekolahnya. Karena postur tubuhnya yang tak seberapa, gadis mungil itu dianggap rapuh oleh teman sebayanya.

Baca Lainnya :

Namun perjalanan hari itu ke Gunung Asahi dan Chausu kemudian mengubah hidupnya. Siapa sangka 26 tahun kemudian ia menjadi wanita pertama yang mencapai puncak dunia, Gunung Everest.

Ia belajar sastra Inggris di Showa Women's University. Saat kuliah ia aktif dalam kelompok pendaki gunung. Kemudian, setelah lulus di tahun 1969, ia mendirikan klub pendaki wanita, Ladies Climbing Club (LCC) Japan. Bersama 14 anggota klubnya, ia melakukan ekspedisi ke Himalaya.

Tabei sangat mencintai keindahan alam pegunungan. Lagipula mendaki bukanlah olah raga kompetisi, sehingga ia dapat menekuni perjalanan selangkah demi selangkah menurut kemampuannya sendiri. Mendaki juga bukan pacuan, baik dengan orang lain, dengan waktu atau alam. Ia adalah proses menikmati alam itu sendiri. Itulah yang mebuatnya mencintai olahraga ini.

Kecintaannya pada dunia pendakian membuat perempuan kelahiran 22 September 1939 ini menginjakkan kaki di puncak-puncak tertinggi dunia dan mendaki berbagai gunung lainnya, seperti di antaranya Gunung Kilimanjaro di Afrika, Gunung Denali di Amerika Utara, Pegunungan Elbrus di Eropa, Gunung Aconcagua di Afrika Selatan, Pegunungan Carstensz di Australia, puncak McKinley di Amerika Serikat, Pegunungan Vinson di Antartika, dan Gunung Everest di Asia.

Tahun 1970-an ada anggapan luas bahwa laki-laki bekerja di luar ruangan, dan perempuan harus tinggal di rumah di Jepang. Namun pandangan umum itu tak menghentikan langkahnya untuk tetap mendaki. Ia menjalani hidupnya dengan mendaki dan mempromosikan pendakian. Ia juga merupakan perempuan pertama yang berhasil mencapai titik tertinggi dari tiap benua, yang dikenal sebagai “Seven Summits”.

Setelah sukses dengan pendakian Seven Summits, ia merancang target baru yaitu mendaki gunung tertinggi di tiap-tiap negara. Keinginan mendakinya tak pernah berhenti. Bahkan ketika ia melihat orang-orang tewas dalam kecelakaan gunung.

Pada 16 Mei 1975, Junko Tabei berhasil berdiri di puncak tertinggi dunia. Dengan kegigihan dan bantuan sherpa (pemandu) Ang Thsering, dia sukses menorehkan catatan sejarah pendakian dunia sebagai pendaki wanita pertama yang mencapai Puncak Everest.

Pendakian Gunung Everest tak main-main. Tanpa peralatan memadai dan persiapan yang matang, sama saja orang mendaki untuk mengantarkan nyawa. Junko Tabei dan Sherpa Ang Thsering mendaki melalui jalur Selatan. Pada ketinggian 8.763 mdpl, mereka memutuskan untuk berhenti sebelum melanjutkan menuju puncak di ketinggian 8.848 mdpl.

Kendala yang dihadapi Junko Tabei ialah harus melewati perbukitan es licin sepanjang 14 – 15 meter. Salah menapaki bukit sedikit saja, dia bisa tergelincir jatuh 5.000 meter ke arah China atau 6.400 meter ke arah Nepal. Sebuah pertaruhan yang mengerikan.

Perbukitan licin yang membuatnya hampir mundur. Dia merasa takut, ngeri, dan marah. Dia kecewa dengan para pendaki terdahulu yang tak pernah mengingatkan akan adanya perbukitan es licin sepanjang 14-15 meter.

Menurutnya, dia sudah membaca semua ekspedisi Everest terdahulu, namun tak pernah ada yang menuliskan tentang bukit licin itu. Namun ia sadar, kemarahan, kekecewaan, dan ketakutan tak akan membawa dia kemana-mana.

Pilihannya hanyalah maju terus ke depan. Tak ada waktu lagi untuk menoleh ke belakang. Perlahan dan sangat berhati-hati, dia merangkak menyeberangi bukit es licin itu. Sebuah pengalaman yang tak akan dia lupakan seumur hidupnya. Karena menurut dia, itulah pengalaman paling menegangkan selama dia hidup.

Usaha kerasnya tak mengkhianati. Akhirnya Junko Tabei berhasil melewati bukit es maut. Dia menuturkan semua rambutnya seakan berdiri tegak saat ia berhasil melewati perbukitan es maut dan berhasil menggapai puncak tertinggi dunia.

Sebuah prestasi yang menakjubkan yang telah ditorehkan pendaki wanita jika mengingat pada zaman itu peralatan pendakian tak secanggih sekarang. Ransel zaman dahulu misalnya, belum dibuat dengan teknologi untuk kenyamanan punggung. Sleeping bag juga masih belum light seperti sekarang. Dan Junko Tabei berhasil melakukannya, berdua bersama Sherpa Ang Thsering.

Sekitar 40 tahun sejak pendakiannya, banyak perempuan yang telah mengikuti jejaknya. Saat ini, lebih dari 400 wanita berhasil mencapai puncak Everest, termasuk pendaki perempuan termuda, Malavath Poorna, yang berusia 13 tahun ketika ia menggapai puncak, dan Lapka Sherpa, perempuan yang paling banyak mencapai puncak Everest.

Puncak Gunung Everest pertama kali dijajaki pada tahun 1953. Sejak saat itu, lebih dari 7000 orang yang berhasil mencapai puncaknya, tetapi hanya 200 orang yang berhasil sampai puncak tanpa oksigen tambahan. Sebagian besar pendaki dibantu oleh orang-orang Sherpa, yang telah menjadi pemandu di Himalaya selama ratusan tahun.

Meskipun tak banyak yang mengetahui namanya, langkah mungil Junko Tabei, memberi makna bagi tekad dan kekuatan kaum wanita. Sebagaimana layaknya wanita Asia ia juga sangat mencintai keluarganya. Dalam berbagai kesempatan Junko mendaki gunung Fuji dan beberapa gunung lain di jepang bersama suaminya.

Di usia tuanya, ia melanjutkan kecintaannya pada alam dengan aktif dalam Himalayan Adventure Trust of Japan, sebuah organisasi global untuk kelestarian gunung. Dirinya mengaku prihatin tentang kondisi lingkungan yang buruk di Everest.

Tabei menyelesaikan studi pascasarjana pada tahun 2000 di Universitas Kyushu di selatan Jepang dengan meneliti masalah sampah di pegunungan. Tabei ingin membuka mata lebih banyak pendaki. Tahun 2003 lalu ia mengatakan Everest sudah terlalu ramai. Gunung itu butuh istirahat.

Meski didiagnosis kanker, Tabei terus mendaki gunung. Cita-citanya adalah mendaki gunung tertinggi dunia yang ada di lebih dari 190 negara. Tabei tetap menjadi seorang pendaki aktif di sepanjang hidupnya. Pendakian terakhirnya terjadi di tahun 2011. Ketika itu ia mendaki Gunung Fuji dengan sekelompok siswa SMA.

Junko Tabei meninggal pada usia 77 tahun di negara asalnya, Jepang, 20 Oktober 2016 . Ia tutup usia akibat kanker peritoneum, yang menyerang jaringan pelapis dinding perut dan menyelubungi organ dalam perut.

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment